Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Jika seorang cewek dikatakan ayu, itu dapat mengandung dua maksud, yakni mengatakan fakta bahwa si Diah itu memang cantik, diakui banyak orang misalnya; tetapi juga mungkin sebuah pujian penuh tatakrama agar si Betty tetap Betty yang energik penuh semangat.
Akan tetapi akan menjadi berbeda kalau si Betty itu lalu disebut-sebut kemayu oleh banyak orang, mengapa? Seseorang (cewek) disebut kemayu umumnya karena (a) dia sok bergaya ayu, seolah-olah dirinya paling ayu sedunia; (b) tindakannya, yaitu solah bawane, bahasa tubuhnya, atau omongannya dibuat sedemikian rupa biar tampak cantik; dan (c) meniru-tirukan apa saja yang terjadi/dilakukan oleh orang cantik. Apakah si cewek kemayu itu memang benar-benar cantik, nah pasti Anda punya jawabannya tersendiri berhubung yang disebut cantik atau tidak cantik itu konon relatif.
Kemadol utawa Kemedol
Ketika naskah ini sedang saya persiapkan (Kamis, 5 Jan, hari pemakaman alm Paus emeritus Benediktus XVI) sedang terjadi gonjang-ganjing antar partai politik di tanah air Indonesia. Satu pihak partai-partai bertahan usul bahkan mendesak kepada MK agar pemilu legislatif tetap menggunakan sistem coblos orang (tanda gambar orang/calon); di sisi lainnya ada parpol yang mengusulkan dilakukan secara tertutup, yakni cukup coblos tanda gambar partainya saja.
Lupakan soal kemayu di atas, karena saya ingin mengajak Anda membahas tentang terbuka atau tertutup ini dari satu sisi paling penting (menurutku lho ya), yakni: Apakah parpol atau calegnya kemadol apa ora; laku “dijual” atau tidak?
Baca Juga:Berkuasa: Nyekel Bangbang Alum-aluming Praja
Itu saja persoalan (besar) yang sedang dihadapi oleh parpol apa pun. Parpol yang menghendaki tertutup, mungkin merasa sangat percaya diri betapa partainya kemadol; sedang parpol yang menghendaki tetap dengan system terbuka karena sangat yakin dan PD betapa para calegnya adalah pribadi-pribadi yang kemadol.
Kemadol, -ada juga yang mengucapkan kemedol– , memiliki akar kata adol, yakni berarti (i) nawakake barang/dagangane, menawarkan barang, dan (ii) ngaton-atonake, mamerake, yaitu memamerkan atau pun menunjuk-tunjukkan. Diawali dan ditambah ke(m)- adol, lalu terbentuklah kata kemadol yang artinya pantes didol, payu didol, pantas atau laku dijual.
Kalau Anda bermaksud menjual pisang hasil kebun, maka pertimbangan pertamanya tentu apakah pisang ini pantas tidak dijual (jangan-jangan pisang belum tua misalnya karena pohonnya roboh). Jika merasa tidak pantas, ya dengan sendirinya (harusnya) merasa ora bakal payu didol, tidak akan laku dijual.
Pertimbangan yang sama tentu tertuju kepada parpol dan/atau calegnya: Bagaimana cara terbaik agar partaiku dan calon-calonku kemadol, payu didol? Sistem tertutup mengajak semua pihak dalam partai itu semata-mata hanya fokus menjual, menawarkan partainya mulai dari pusat sana sampai ke individu-individu anggota masyarakat.
Baca Juga: Bangbang Wetan: Di Timur Matahari
Jualannya jelas dan hanya satu, yakni partai; sementara jika sistem terbuka, jualannya setidak-tidaknya dua, yakni nawakake partai dan juga harus dan harus “menjual dirinya” agar kelak dapat terpilih sebagai (calon jadi) legislatif. Lagi-lagi pertanyaannya, baik bagi parpol maupun caleg: Kemadol ora dirimu; mana yang lebih kemadol?
Putusan MK
Ketika tulisan ini Anda baca, semoga putusan MK telah ada; dan itu berarti telah sangat jelas tantangannya bagi setiap parpol. Intinya apa lan sapa sing kemadol? Semata-mata menggantungkan kepada laku jualnya partai (tanda gambar) pastilah tidak gampang lebih-lebih bagi partai-partai baru dengan nomer urutnya yang juga mungkin baru.
Sebaliknya, semata-mata menggantungkan kepada para calegnya agar merekalah yang berjibaku “adol dirinya” dan mau tidak mau juga mernawarkan partainya, juga belum sangat menjamin mengingat berseliwerannya para caleg dari berbagai partai di tengah masyarakat yang relatif sama.
Pada saatnya kelak, parpol ini juga akan “menjual” capres dan cawapresnya, dan lagi-lagi pertanyaan sama muncul: Kemadol ora capres/cawapresmu? Tentang “jualan” capres/cawapres ini, ada satu kiat dagang: Yen pancen ora payu, ora diambus wong; gakusah dipaksakan; janganlah dipaksakan dijual kalau memang jelas tidak laku. Itu namanya ora kemadol.
(JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang)