blank
Ilustrasi/Riauonline

Oleh : JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Teman-teman di timur sana masih saja ada yang protes terhadap ungkapan “dari barat sampai ke timur, berjajar pulau-pulau…” Bukankah matahari terbit dari timur, bukan dari barat? Seharusnya, mulailah segalanya dari timur ke barat, jangan sebaliknya dari barat ke timur.

Seharusnya dari Merauke sampai ke Sabang, bukan seperti sekarang ini. Dan tentang dari Sabang sampai Merauke ini, dalam hiruk pikuk piala dunia 2022 yang baru usai kemarin, ada yang memelesetkan  “dari Sabang sampai Maroko” berhubung orang itu menjagokan dan kagum terhadap kesebelasan Maroko.

Baca Juga: Bikin Marah, Ngabangke Kuping

Memang cukup beralasan mengapa baik jika “cara pandang” kita dimulai dari timur. Pola hidup menggunakan gelap dan terang, atau malam dan siang sebagaimana masyarakat kita “memisahkannya” hampir pasti ditandai dengan terbitnya matahari di pagi hari, -itulah yang disebut dengan bangbang wetan-, dan tenggelamnya sang surya itu di waktu petang, disebut surup.

Matahari Merekah

Selama dua belas jam di waktu malam dan dua belas jam di waktu siang memola sikap hidup kita yang kemudian cenderung berpikir hitam putih atas segala sesuatu dalam hidup ini.  Misalnya terjadi suatu masalah dalam hidup ini, warga masyarakat kita cenderung memecahkannya secara hitam putih, dan sangat sering kurang melihat aspek lain meski  terjadi ada aspek abu-abunya.

Berpikir hitam putih bukannya jelek, namun menutup pintu kreatifitas padahal pintu ke arah sana seringkali terbuka atau sekurang-kurangnya tidak terkunci. Alam memang sangat kuat pengaruhnya terhadap sikap hidup, dan siklus siang-malam telah banyak mengajarkan kepada kita untuk selalu bersikap “habis gelap, terbitlah terang,” dan berikutnya badai pasti berlalu.

Baca Juga: Ngabang Bironi dalam Piala Dunia

Inilah keunggulan kita dalam bersikap; malahan sering ada yang secara matematis mengotak-atik: Jika gelapnya sebulan, kelak terangnya juga sebulan; karena tidak mungkin hidup ini gelap… terus, pasti akan ada terang… juga.

Matahari merekah di (dari???) timur, ditandai dengan warna merah kejingga-jinggaan, atau jingga kemerah-merahan.  Itulah bangbang wetan, sebuah ungkapan sangat khas menyambut merekahnya sang surya.

Bangbang wetan ialah wayah esuk ngarepke srengenge mlethek, langite katon semburat abang; menjelang matahari terbit (tampak), selalu ditandai dengan pancaran warna kemerah-merahan di ufuk timur sana. Dan dalam hitungan detik, setelah didahului pancaran warna merah itu, muncullah matahari: Di timur matahari, mulai bercahaya.

Karena indahnya semburat merah di timur itu, –sun rise– , sangat banyak wisata pagi dini, dan memang menarik. Orang yang menyambut pagi merekah pasti akan membawa kesegaran seluruh siang harinya.

Itulah ada nasihat nenek moyang kita, bangunlah pagi-pagi, apalagi sebelum ayam jantan berkokok, karena kesegaran pagi akan membawa aura positif nan indah sepanjang harimu. Sayangnya, dewasa ini banyak sekali orang yang menempuh ritme kehidupan secara terbalik: awan dinggo turu, bengi dinggo melek, siang justru dipakai untuk tidur, malam hari dipakai untuk begadang.

Bangbang wetan membawa aura positif dan sehat; dan itulah mengapa, jika masih mungkin untuk memilih, pilihlah rumah sebagai tempat tinggal yang menghadap ke timur. Sambutlah cahaya, panas, dan energi pagi hari; bukalah jendela dan pintu rumahmu, sehingga cahaya, panas, dan energi pagi hari masuk ke dalam rumahmu. Sehat…segar.dan hangat….. Alangkah bahagianya hidup ini manakala setiap saat mengalami hal-hal yang sehat, segar, dan hangat. Inilah surga dunia.

Karena dahsyatnya aura matahari merekah di (dari?) timur, inilah maka ada ungkapan sangat menarik yang akan saya kupas, yakni nyekel bangbang alum-aluming praja. Sabar ya, baru minggu depan!

Merayakan Natal itu maknanya menyambut bangbang wetan sang Emanuel, sang Allah yang menyertai umat-Nya. Selamat Natal 2022.

(JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang)