Foto: Detik Sport

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

JC Tukiman Tarunasayoga

Akhirnya, kesebelasan negara Argentina juara dan peraih piala dunia 2022 Qatar. Muluskah memerolehnya? Tidak. Sangat berat dan berliku, termasuk keras juga permainannya baik sejak babak penyisihan sampai dengan final.

Apakah semua sorak-sorak bergembira menyambut sang juara? Tidak juga, dan pasti ada saja yang masih marah, bahkan munculnya negara itu menjadi juara, sangatlah mungkin ada saja pihak yang merasa kesebelasan itu ngabangake kuping wae; bikin marah saja.

Mengapa marah, mengapa telinga memerah; dan kepada siapa saja marahnya itu terlontar? Orang marah hampir selalu dalam posisi, pertama,  merasa sebagai pihak benar. Dalam konteks sepakbola piala dunia, pemain merasa dalam kondisi paling benar, dan wasit atau penjaga garislah yang salah sehingga “saya disemprit offside.”

Marahlah dia kepada wasit dan/atau penjaga garis. Kedua, orang marah karena merasa dicurangi atau disakiti oleh entah lawan entah kawan. Karena merasa dicurangi, marahlah. Ketiga, orang merah telingganya manakala merasa tersinggung, entah oleh perbuatan orang lain, perkataan, atau pun bahkan gesture tubuh pun bisa menynggung.

Baca Juga: Ngabang Bironi dalam Piala Dunia

Dan keempat, bisa ngabangake kuping, dapat menjadi marah, manakala apa yang diharap-harapkan tidak tercapai, apalagi ketidaktercapaiannya itu disebabkan oleh pihak lain.

Dalam konteks piala dunia, pemain-pemain kelas dunia memang terhitung jarang marah-marah kepada sesama pemian (sekalipun ia diganjal sedemikian keras). Luapan kemarahannya, seperti di atas sudah disebutkan, kepada wsit, penjaga garis, atau mungkin kepada pelatihnya.

Lain pemain klas dunia, lain pula pemain klas belum/bukan dunia, yang luapan kemarahannya, bahkan cenderung mau berantem antar sesame pemain kesebelasan Abang terhadap pemain kesebelasan Biru.

Bahkan pertandingan belum klas dunia semacam itu, sering melibatkan secara langsung penonton unutk ikut-ikutan marah, seolah-olah penonton menyatu marahnya dengan tim yang didukungnya.

Kecenderungan marah-marah semakin menjadi-jadi Ketika ada saling lempar atau saling kejar; sampai-sampai wasit pun bisa dikejar-kejar entah pemain entah pula penonton karena mereka merasa marah, abang kupinge.

Ngabangke Kuping

Ini sebuah pocapan namun “secara terselubung” dalam cara menyampaikan maksudnya. Kalau secara langsung kan bilang: “Aku nesu lho iki,” tetapi karena secara tidak langsung, maka ungkapan atau pocapannya menjadi: “Mbok aja ngabangke kuping,” tidak perlu bikin telinga merahlah. Jangan bikin marahlah.

Baca Juga: (Dinggo) Abang-abang Lambe

Pertanyaannya sekarang, adakah tindakan sengaja yang dilakukan oleh  seseorang atau sekelompok agar ngabangke kuping “lawan politiknya?”  Jawabannya, amat banyak; dan karena dunia medsos itu tidak sepenuhnya transparan atau masih saja dapat menyelubungi, komentar atau cuitan yang ngabangke kuping sangat sering terjadi. Dan besar kemungkinannya hal itu disengaja.

Nah …. karena besar kemungkinannya ada unsur kesengajaan ngabange kuping, pandai-pandai sajalah menyikapi komen atau cuitan yang disampaikan secara langsung namun tidak bertatap muka semacam itu. Hadapilah dengan tenang dan dingin, karena semakin benar-benar merah kuping Anda, semakin senanglah dia atau mereka yang sengaja ngabangke kuping tadi..

Kembali ke pihak-pihak yang abang kupinge berhubung tidak dapat menjadi juara piala dunia, sebaiknya tidak perlu ngabangke kupinge sang juara. Artinya, orang atau pihak yang marah-marah tetap usahakan jangan justru memancing pihak lain (ngabangke kuping) untuk juga marah.

Estafet marah-marah atau kemarahan harus distop.  Mengapa? Kemarahan sering memancing kemarahan lain; abang kupinge  seseorang, jika tidak dikelola dengan penuh rasa sabar, sering memancing kemarahan pihak lain.  Maka harus distop.

–Selamat sang Juara–

(JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang)