blank
Suemeleh, berserah. Foto: Ilustrasi
blank
JC Tukiman Tarunasayoga

JC Tukiman Tarunasayoga

JUDUL ini sedikit banyak menjelaskan secara sederhana bagaimana caranya mendidik atau pun mengajarkan  jiwa kesatria kepada siapa pun, yaitu: Yen ora trima, ya apike trima ora wae. Apa itu maksudnya? Jika tidak katakan tidak, jika ya, katakanlah ya.

Sikap semacam itu menunjukkan jujur; sebaliknya jika tidak dikatakan ya, dan ya dikatakan tidak, di situlah berawal ketidakjujuran dalam segala hal. Tidaklah salah jika merajalelanya korupsi berawal atau berlatih dari sini: Seharusnya mengatakan tidak, tetapi justru mengatakan ya; sebaliknya seharusnya mengatakan ya, namun demi keuntungan dan keamanan diri, lalu mengatakan tidak. Analoginya adalah baik dikatakan jelek, sebaliknya jelek dikatakan baik.

 Ora Trima

Kehidupan sehari-hari  setiap insan, sebenarnya telah mengajarkan bagaimana orang hidup itu  (seharusnya) semakin pintar menerima diri, tahu diri, dan ugahari. Itulah yang disebut semakin bisa sumeleh, semakin dapat berserah diri. Bacalah sumeleh seperti Anda mengucapkan weleh-weleh si Komo lewat, atau mama Dedeh.

Namun, dalam kenyataannya, sangat banyak orang-orang yang selalu bersikap ora trima, selalu merasa tidak adil, atau rejeki seret terus sehingga “protes” tidak mau menerima keadaan itu. Padahal, jika orang selalu menunjukkan sikap ora trima, tidak dapat menerima secara tulus, ia akan beranjak menjadi insan yang emosional. Rugi sendiri sebetulnya jika hidup didomonasi oleh perasaan serba ora trima.

Trima, bacalah seperti Anda mengucapkan (Bahasa Jawa) singa lima lunga; atau dalam Bahasa Indonesia, seperti Anda mengucapkan Bapak Soekarno sang proklamator, sebagai presiden RI digantikan oleh Bapak Soeharto.

Baca juga Kemadol Ora? 

Trima itu sama arti dengan trimah; mengandung dua makna/arti, yaitu (a) nampa kalawan panuwun, menerima secara penuh syukur; dan (b) wis sumeleh atine, sudah tenang hatinya. Dengan dua makna itu, Kalau kemudian ada nasihat, misalnya: “Wis dik, ditrima wae!”, itu artinya Anda disarankan untuk (1) nampa kalawan matur nuwun, menerima penuh terima kasih; (2) wis marem, atine wis sumeleh, sudah puas, sudah tenang; dan (3) dililani, diizinkan, direstui.

Nah, hati-hati kalau mendengar kata ditrimani, karena dengan kata itu akan diberitakan bahwa seseorang diganjar pinaringan bojo, Anda diberi/dikasih calon istri. Mau gak? Mengapa artinya seperti itu?

Ditrimani berakar pada kata triman, yaitu wong wadon kang diparingake dadi bojone wong, seorang perempuan yang diberikan kepada seseorang untuk diperistri.

Zaman dulu, konon ketika ada raja memiliki selir banyak; sering dua atau tiga selirnya itu dihadihkan kepada orang yang dianggapnya berjasa kepada raja. Itulah triman, itulah paringan (pemberian)

Trima ora    

Di awal tadi telah disebutkan, yen ora trima, ya luwih becik trima ora wae. Itu maksudnya, jika sikap hidup seseorang selalu dipenuhi dengan sikap dan perasaan ora trima, tidak mau menerima (apa pun), ya seharusnya secara kesatria dia bersikap trima ora, artinya “mundur saja.” Trima ora itu maknanya adalah: “Ya sudah, kalau memang tidak senang misalnya, ya mundur saja.”

Baca juga Berkuasa: Nyekel Bangbang Alum-aluming Praja

Ada contoh, betapa sudah jelas bersikap ora seneng dengan/terhadap  pimpinan,   ya sebaiknya secara kesatria bersikap trima ora wae dalam arti mundur baik-baik.

Namun yang ada ialah, memerlihatkan “berseberangan” namun jabatan tetap digandhuli, dipertahankan. Yen ora trima, kudune ya trima ora; kalau memang sudah merasa tidak nyaman, ya idealnya bilang saja.

Memang sangat tidak mudah bersikap yen ora trima, ya trima ora wae meski dalam hal kecil apa pun; apalagi dalam hal besar/strategis. Dalam ungkapan lain, banyak orang senang dan ikut makan nangkanya, namun tidak mau kena getahnya; mau enaknya, tetapi tidak mau ikut menanggung risikonya (kena getah).

Tegasnya, tidaklah gampang bersikap kesatria,  karena pada umumnya orang menjadi gamang.

Pesan moralnya sangat jelas, mari terus belajar bersikap “Ya, jika memang ya;” dan “tidak, jika memang tidak.” Jangan suam-suam kuku, hanya obor blarak, atau juga sekedar hangat-hangat tinja ayam.

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang