SEMARANG (SUARABARU.ID)- Pemberitaan media menjelang Tahun Politik 2024, dengan kulminasi kontestasi Pemilihan Presiden, sudah terasa makin menghangat. Sebagai bagian dari kontribusi membangun kualitas demokrasi, pemberitaan media mesti bernuansa mendidik, mencerahkan, dan berkebangsaan.
Hal itu disampaikan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Jawa Tengah, Amir Machmud NS, dalam Refleksi Akhir Tahun 2022, yang dirilis di Gedung Pers, Sabtu (24/12/2022).
Hari-hari ini, kata Amir, wartawan dan media-media sudah berfokus pada berita-berita menuju tahun politik. Permutasi nama-nama calon presiden dan calon wakil presiden, mulai diapungkan berbagai pihak.
BACA JUGA: Messi, dalam Luka dan Cahaya Waktu
Mulai dari pengamat politik, lembaga survei, para elite partai politik, juga sejumlah kelompok relawan.
Survei-survei ketokohan dan elektabilitas capres-cawapres memenuhi ruang pemberitaan media dalam berbagai platform, termasuk media sosial.
Dari permutasi pasangan calon yang muncul, menurut dia, bisa disimpulkan tentang kecenderungan versi-versi, berdasarkan latar belakang nasionalis, agamis, yang kemudian seolah-olah terdikotomi ke dalam dua sikap, yakni politik kebangsaan dan sikap politik aliran.
BACA JUGA: Hujan Angin Merusak Rumah Warga di Bulukerto Wonogiri
Berpijak pada realitas itu, PWI Jateng mengajak para wartawan dan media, untuk mempertimbangkan pengelolaan sikap berjurnalistik dan bermedia, dengan narasi-narasi yang kritis, edukatif, dan mencerahkan.
Pertama, media jangan larut dalam arus pemberitaan yang lebih beraksen mempertentangkan politik aliran, yang justru berpotensi menyuburkan sekat-sekat kehidupan berbangsa dan bernegara.
Standar jurnalistik dengan fungsi pers sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan moralitas Kode Etik Jurnalistik, jelas bermuatan iktikad kebajikan.
BACA JUGA: Kejati Jateng Bantah Lakukan Penculikan dan Penganiayaan AH
”Jangan memberi ruang pemberitaan yang bertendensi mengusik rasa keberagaman dan kebinekaan. Menuding rival politik dengan stigmatisasi, seperti cebong dan kadrun, misalnya, sejauh mungkin harus dihindari dalam pemberitaam,” katanya.
Kedua, kuatkan edukasi jurnalistik pada masa-masa menjelang pemilu, agar lebih berorientasi pada update pengetahuan tentang kepemiluan dan pendidikan demokrasi. Tentu termasuk dinamika-dinamika dan evaluasi pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu lewat fungsi kontrol sosial.
Ketiga, ciptakan atmosfer kritis pemberitaan dengan penuh tanggung jawab, sehingga dengan agenda-agenda sosialnya, pers berperan mendorong berlangsungnya pemilu, termasuk pilpres yang bening, mencerahkan, dan memaslahatkan.
BACA JUGA: Sambut Pengunjung, Candi Joglo Siapkan Arca Ajisaka dari Temuan dari Kaki Gunung Lawu
Dengan sikap itu, jelasnya, media dapat berperan menjaga bangsa dari akibat-akibat pemberitaan yang hanya mementingkan sensasi kepentingan viralitas. Juga hindari memberi ruang bagi ekspresi-ekspresi politik yang membelakangi nilai-nilai berkebangsaan.
”Pers Indonesia harus kita dorong tumbuh sebagai kekuatan kebangsaan, dalam keniscayaan memahkotakan nilai-nilai keberagaman, sebagai sunnatullah keindonesiaan kita,” ungkapnya.
Riyan