blank
Lionel Messi dengan trofi Piala Dunia 2022. Foto: fifa.com

blankOleh: Amir Machmud NS

// dia telah merebut takdir/ meraup bintang-bintang/ berkhusyuk dengan bulan/ tak ragu dia keluar dari pintu/ dan semesta menyambut dengan cahaya//
(Sajak “Cahaya Messi”, 2022)

SEKIAN panjang waktu telah melukai Lionel Andres Messi. Dan, cukup pada sepenggal malam sang waktu mencahayai terang hidup Messi.

Kau bayangkankah sekian tahun dia hidup dalam bayangan muram?

Setelah pada 2005 meraih Piala Dunia U20, lalu melengkapinya dengan medali emas Olimpiade 2008, dia tumbuh dan menjalani karier dalam bayang-bayang “Sang Dewa”, Diego Maradona.

Tak henti dia diperbandingkan. Sebagai pewaris sahih kemampuan El Pibe de Oro, apa pun perkembangan dan capaian Leo Messi selalu dikaitkan sebagai “The Next Maradona”.

Psikologi sejarah dan fenomena budaya pop tak mengompromikan dia tumbuh menjadi diri sendiri, independen sebagai Lionel Messi.

Dalam kelengketan dribel, gol solo run berlika-liku, kaki kiri yang bagai punya indera, tendangan bebas, dan visi umpan, Messi adalah fotokopi Maradona.

Dia berbeda dari “New Maradona” lain yang pernah digadang-gadang tetapi akhirnya tak beranjak ke level “dewa”. Bukankah dalam rentang waktu sejak dekade 1990-an kita mengenal Ariel Ortega, Marcello Gallardo, Juan Ramon Riquelme, Pablo Aimar, Carlos Tevez, atau Javier Saviola?

Dalam hal raihan gelar liga, Liga Champions, dan catatan formal individu, Leo Messi bahkan melewati secara telak seniornya itu. Tujuh trofi Ballon d’Or adalah rekor yang tak tersamai, dan hanya bisa didekati oleh Cristiano Ronaldo yang lima kali mendapatkan.

Dibandingkan dengan Maradona, kekurangan Messi hanya satu: Piala Dunia, trofi yang terakhir kali diraih Argentina pada 1986. Copa America yang didapat Messi pada 2021 adalah trofi yang tak pernah diperoleh oleh Maradona, namun psikologi pembandingan hanya menghitung Piala Dunia.

Luka Waktu
Sebelum 2021, Copa America adalah luka waktu bagi Messi. Tiga kali masuk final (2007, 2015, dan 2016), La Albiceleste selalu gagal. Dia bagai menimbun kepedihan.

Dalam kehadiran di Piala Dunia 2006, 2010, 2014, dan 2018, sekali Tim Tango melaju ke final di Brazil 2014, namun di bawah kepemimpinan Messi dikalahkan Jerman 0-1 lewat perpanjangan waktu.

Maradona, yang sukses di Meksiko 1986, empat tahun kemudian di Italia gagal dalam final, juga 0 – 1 dari Jerman. Sejarah kemenangan Maradona 36 tahun silam selalu membayangi Messi.

Maradona secara sarkastis pernah mengatainya, “Dia memang hebat di Barcelona, tetapi bukan untuk tim nasional Argentina”.

Artinya, sehebat apa pun dan membendaharakan prestasi apa pun di level klub, Messi dianggap belum layak disandingkan dengan Maradona jika belum mengangkat Piala Dunia.

Luka waktu tak segera mengering, dan keputusan tampil kembali setelah menyatakan pensiun pada 2016 akhirnya membuncahkan hasil yang “terang benderang”.

Adalah Pablo Aimar, legenda Tango yang menjadi asisten Lionel Scaloni di tim nasional, berhasil membujuknya. Aimar yang juga pernah berkarier di Liga Spanyol adalah idola Leo Messi saat masih remaja.

Andai dia bersikukuh memutuskan pensiun, tentulah cahaya waktu tak akan memihak. Nyatanya, bombardir kemuraman tak menepikan ketekunan La Pulga untuk mencoba, dan terus mencoba.

Sukses di Copa dalam usia 34, menyemangati Messi untuk berani menjemput takdir Piala Dunia-nya di Qatar. Dan, usia 35 jelas bukan waktu yang bersahabat dengan urusan kebugaran dan kecepatan.

Cahaya Waktu
Dan, Messi terbukti mampu menaklukkan barrier keraguan. Waktu telah mencahayai, dan akhirnya menyemburatkan terang.

Kemuraman Messi tersaput tuntas lewat malam final yang sarat drama di Stadion Lusail Iconic. Dia memenangi moralitas nasib dalam titik waktu yang sudah sulit terulang. Dalam usia 35, Qatar 2022 adalah Piala Dunia terakhirnya walaupun ia belum berniat pensiun.

Dia tak sendirian meracik waktu untuk menjadi pahlawan. Leo didukung oleh kekuatan ekosistem timnas Argentina. Dia dikelilingi para pemain yang menjadi penopang mewujudkan impian.

Dia ditemani anak-anak muda yang mencintai dan loyal kepadanya. Dia dijadikan pusat oleh para bintang masa depan yang mengidolai dan terinspirasi oleh kemampuannya.

Anak-anak muda itulah cahaya yang menerangi langit tim Argentina. Dan, bukankah mereka pula yang mencahayai tekad sang kapten istimewa?

Di Qatar 2022 kita tidak melihat lagi gestur introvert Lionel Messi. Tak kita temukan wajah muram, kepala menunduk, pandangan buntu, dan tanpa konfidensi.

Messi bertransformasi menjadi pemimpin karismatis yang berani menengadah, tak ragu menghardik, mengayomi, dan memancarkan keyakinan bahwa dia dikelilingi daya hidup dan elemen-elemen cahaya.

Dengan kekuatan waktu, dalam cercah terang cahaya, Sang Alien menghadirkan diri sebagai “malaikat” yang berkhidmat kepada rakyat Argentina.

Waktu pula yang mempertemukan badan wadagnya dengan jiwa dan rasa yang menyuarakan tekad tak berbeda…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah