blank
Teknologi dalam sepak bola tak terhindarkan. Foto: bolaskor.com

blank

Oleh: Amir Machmud NS

// absolut, kau bilang tentang rasa keadilan/ mutlakkah putusan sang pengadil?/ sepak bola butuh kepastian/ : gol atau bukan/ hukuman atau sekadar peringatan/ tak selamanya orang bisa berdalih/ wasit juga manusia/ tapi yakinlah, kemenangan adalah kemenangan…//

(Sajak “Wasit dan Teknologi”, 2022)

 SATU lagi, sepak bola menghantarkan sebuah “keajaiban”. Stadion Lusail Iconic menjadi saksi kekalahan 1-2 Argentina dari Arab Saudi dalam laga Grup C Piala Dunia 2022. Itulah kejutan besar, baik bagi Albiceleste maupun bagi The Green Falcons.

Bagian dari keindahan sepak bola adalah “misteri”-nya, namun kalkulasi teknik menjadi logika mengapa sebuah “keajaiban” terjadi. Nyatanya, Lionel Messi dkk kalah, mengulang sejarah Diego Maradona cs yang takluk dari Kamerun dalam laga pembuka Piala Dunia 1990.

Fans Argentina boleh jadi berjustifikasi, faktor gol Leo Messi dan dua gol Lautaro Martinez yang dibatalkan wasit setelah melihat Video Assistant Referee (VAR) menjadi penyebab kahancuran ritme bermain mereka; namun justru Arab Saudi, lewat Salem Al Dawsari dan Saleh Al Shehri mampu membobol gawang Martinez secara bersih.

Lantaran faktor VAR atau bukan, Arab Saudi telah menciptakan sensasi pada babak-babak awal Qatar 2022 ini. Jadi misteri pertandingan itu bukan lagi mengangkat isu tentang “gol hantu”.

Mari kita mengembara ke rentang 22 tahun silam di Afrika Selatan. Ingatkah Anda: tendangan keras Frank Lampard membentur bagian dalam mistar gawang Manuel Neuer di babak gugur Piala Dunia 2010, pada 27 Juni?

Ya, itulah momentum yang mendorong otoritas sepak bola memobilisasi sikap menoleh kepada teknologi pertandingan.

Dari rekaman yang diulang-ulang, jelas terlihat bola sudah memantul “dalam” melewati garis gawang Jerman. Artinya, itu gol yang sah; namun wasit Jorge Larrionda memutuskan lain. Keyakinannya sebagai pengadil memastikan sebuah putusan yang terbukti merugikan Inggris. Der Panzer lolos, dan The Three Lions dipastikan tersisih dari turnamen.

Andai gol itu disahkan, Inggris akan menyamakan skor 2-2. Keputusan wasit membuat Wayne Rooney dkk kehilangan kontrol pertandingan, dan akhirnya menyerah telak 1-4.

Peristiwa 12 tahun silam itu mempercepat penggunaan teknologi baru, Video Assistant Referee (VAR). Langkah revolusioner itu kemudian mewarnai sejumlah kompetisi liga. Tentu dengan segala komplikasinya.

“Karma” 1966?

Tragedi Inggris di Afrika Selatan itu memicu orang bicara soal “karma”. Pada 56 tahun silam, dalam final Piala Dunia 1966, Inggris diuntungkan oleh “gol hantu” Geoff Hurst pada menit ke-101 extra time.

Tendangan Hurst membentur mistar Jerman. Tidak jelas bola sudah melewati garis atau belum. Wasit Gottfried Dients mengesahkannya. Inggris pun menang 4-2 dan menjadi juara dunia.

Memastikan momen yang meragukan dengan solusi bantuan teknologi rekaman akhirnya digunakan, setelah terjadi berbagai kontroversi keputusan wasit yang menerbitkan luka tak tersembuhkan.

Misteri yang menyelimuti suatu kontroversi akhirnya diputuskan dari kajian seketika terhadap hasil rekaman. Konsekuensinya, nilai ketegangan pun menjadi berkurang. Dan, suka atau tidak suka, orang tak lagi tercekam oleh kemisteriusan sebuah momen, seperti gol Hurst atau tidak disahkannya gol Lampard.

Bukankah skandal abadi “Gol Tangan Tuhan” Diego Maradona ke gawang Inggris di perempatfinal Piala Dunia 1986, menjadi bagian dari sejarah yang akan terus dikenang?

Di satu sisi, kejadian itu menciptakan ketidakadilan, dan pada sisi lain memuat eksotika rasa penasaran manusia dengan aneka tafsirnya. Justru ketika itu belum ada intervensi teknologi untuk mencari keputusan yang berbeda.

Karena Ketidakpastiannya

Bagian dari keindahan permainan sepak bola adalah sifat ketidakpastiannya. Ada sejarah, tafsir abadi, dan perdebatan sengit tentang momen tertentu, kontroversi, dan segala warnanya.

Apakah VAR mengurangi keindahan atas nama misteri bola? Atau ia adalah elemen eksakta yang memang dibutuhkan untuk membangun kepastian?

Memang tak ada lagi beda pendapat tentang keabsahan sebuah gol, kartu kuning atau merah. VAR akan mengecek, memberi pertimbangan, dan membantu perspektif keputusan sang pengadil.

Kesalahan manusiawi seorang wasit bisa “dikoreksi” ketika dia pun merasa ragu atas keputusannya. Dan, setelah itu tidak ada lagi perdebatan tentang misalnya keputusan wasit Gootfried Dienst 1966, Ali Bennaceur 1986, atau Jorge Larrionda 2010.

Pada satu sisi, teknologi membantu memastikan. Pada sisi lain, ia menghilangkan elemen ketegangan berupa kemisteriusan abadi sebuah momen pertandingan.

Atau inikah ekspresi kepastian tentang sifat manusia: tak pernah puas terhadap apa pun yang memuaskan, dan apalagi yang tidak memuaskan?

— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah