Oleh: Amir Machmud NS
// sudah selesaikah turbulensi?/ lalu saatnya kembali ke performa/ ada saat-saat tak terhindarkan/ berada di pusaran roda/ di atas/ di bawah/ digulirkan oleh kehidupan…//
(Sajak “Meraih Stabilitas”, 2025)
SUDAH terlalu sering, performa tim-tim sepak bola bergulir mengikuti dinamika kehidupan.
Ada saat-saat di atas, ada saatnya di bawah. Roda berputar dalam kecepatan pusaran yang memaparkan realitas: ada saatnya di atas, ada saatnya di bawah.
Pergulatan untuk kembali ke stabilitas performa mengetengahkan dinamika yang tidak sama. Setiap tim dan pelatih punya persoalan masing-masing.
Lihatlah apa yang terjadi dengan Barcelona dan dua Manchester: The Red Devils United dan The Citizens Manchester City. Ketiga klub itu, pada musim 2024-2025 ini mengalami naik-turun penampilan yang ekstrem.
Di La Liga, Barcelona dengan taktikus baru Hansi Flick awalnya tak terkalahkan dalam tujuh pertandingan, dengan terus memetik kemenangan; namun setelah itu Lamine Yamal dkk mengalami menang-kalah-seri dengan grafik ekstrem.
Walaupun bisa mengalahkan rival abadi Real Madrid 5-2 dalam El Clasico di final Piala Super Spanyol di Jeddah, lalu mengalahkan Real Betis 5-0 di lanjutan liga, kini Barca harus bersaing ketat dengan duo Madrid: Atletico dan Real.
Menderita lima kekalahan, Raphinha dkk kini berada di peringkat ketiga klasemen. Hingga laga berikut ketika bertandang ke markas Getafe, pekan lalu, mereka terhinggapi lagi penyakit instabilitas. Blaugrana hanya memetik hasil seri 1-1. Tapi kemenangan 5-4 dalam Liga Champions atas Benfica, pada sisi tertentu memperlihatkan kekuatan mental mereka.
Di Liga Primer, Manchester United yang jeblok sehingga memecat Erik Ten Hag dan menggantikannya dengan Ruben Amorim, masih dalam situasi tak menentu. Kini berada di peringkat ke-13, mendekat ke zona degradasi. Mampu menahan imbang Liverpool 2-2 di liga, dan mengalahkan Arsenal lewat adu penanti di babak ketiga Piala FA, tetapi kemudian tampil buruk, kalah 1-3 dari Brighton Hove and Albion di Old Trafford.
Diakui oleh Ruben Amorim, Bruno Fernandes dkk masih seperti roller coaster, naik turun bagai ombak. Ditambah kekalahan 1-3 dari Brighton, pekan lalu, dia tak sungkan menilai, itulah MU yang terburuk dalam sejarah klub. Dia masih merasa butuh intensitas untuk membesut Manchester Merah.
Sementara Manchester City yang tujuh kali kalah, dua kali seri dan sekali menang, kini menggeliat dengan memetik angka-angka penuh. City terlihat memulih, meskipun pelatih Pep Guardiola merasa performa Erling Haaland cs belum seperti sediakala. City butuh ikhtiar menyalakan kembali stabilitas mental juaranya.
Kekalahan 2-4 dari Paris St Germain di Liga Champions setelah unggul 2-0, beberapa hari lalu, menegaskan City mengalami problem serius dalam stabilitas mental.
Dinamika
Ada kekuatan lain di luar tiga tim besar itu yang juga berjuang untuk bisa konsisten. Arsenal, di bawah Mikael Arteta, dengan segala atraktivitasnya, membutuhkan mental juara, yang dalam tiga tahun terakhir gagal bersaing dengan Manchester City dan Liverpool pada menjelang berakhirnya musim.
Saat ini mereka berada di peringkat kedua dengan 44 angka, tertinggal enam poin dari pemuncak klasemen Liverpool yang masih punya satu tabungan pertandingan. Arsenal menguntit Nottingham Forest di posisi ketiga.
Arteta membutuhkan solusi untuk melengkapi jawaban “kurang apa sebenarnya Arsenal”?
Banyak pundit yang berkesimpulan, sebagai sebuah tim, Meriam London tak punya kekurangan. Arsenal hanya sering menemui kebuntuan menghadapi tim-tim papan atas.
Rotasi pemain juga rancak, dan hanya ada sedikit kelemahan untuk stok penyerang. Bagi sejumlah pengamat, dengan mengandalkan Bukayo Saka, Gabriel Jesus, Kai Havertz, dan Leandro Trossard, jika mereka berhadapan dengan badai cedera, Arteta akan mengalami situasi sulit, seperti hari-hari ini.
Proses Pemulihan
Tak banyak yang bisa secara tepat menerapkan terapi dalam proses pemulihan konsistensi penampilan.
Barcelona misalnya, kini sedang memercayai Hansi Flick yang menggantikan Xavi Hernandez. Ruben Amorim masih mencari bentuk transformasi menggantikan Erik Ten Hag dalam proses penjang tujuh manajer pasca-era Alex Ferguson. Enzo Maresca yang meneruskan Mauricio Pochettino juga meracik Chelsea menjadi penantang seperti sekarang.
Hanya Arne Slot yang mulus menyuksesi Juergen Klopp. Di Arsenal, jejak Arteta mulai dirasakan walaupun belum berbuah trofi. Arteta-ball yang elok dan impresif, membentuk Kai Havertz dkk sebagai kekuatan menakutkan, namun dalam tiga musim belum menghasilkan gelar.
Baru Pep Guardiola yang dalam tujuh musim bisa mengukuhkan The Citizens sebagai ikon baru tim elite Liga Primer, dan sekarang disibukkan untuk melawan penurunan performa secara luar biasa. Dia harus berjuang meraih kembali stabilitas tim.
Musim ini City tak lagi memikirkan gelar juara. Bisa bertahan di klasemen elite saja sudah bagus. Kesegaran tim-tim seperti Nottingham Forest, Newcastle United, Chelsea, dan Brighton memaparkan atmosfer persebaran kekuatan yang menarik.
Para peracik tim itu memberi pelajaran yang memperkuat realitas kompetisi: betapa tidak mudah merawat stabilitas. Ketika kemapanan dicapai, upaya mempertahankannya menjadi sebuah perjuangan dengan syarat “ke-empu-an” tersendiri…
— Amir Machmud NS; wartawan Suarabaru.Id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —