Oleh: Amir Machmud NS
// sebagian dari sepak bola adalah kegembiraan/ ekspresi jiwa-jiwa yang nyaman/ sepak bola bukan pembawa beban/ ruang yang menyuntuki kehidupan…//
(Sajak “Kegembiraan Sepak Bola”, 2022)
BEGITULAH ketika seorang seniman sepak bola merasa sudah menemukan habitatnya. Ia hidup, dan bermain dalam atmosfer kenyamanan, kegembiraan; dan ujungnya: penikmatan.
Anda tentu menandai untuk siapa narasi itu. Lionel Andres Messi.
Ya, semula banyak yang menganalisis, Messi hanya bisa “tune in” di klub abadinya, Barcelona.
Pada musim pertama di Paris St Germain, Messi terlihat “kagok”, kurang nyetel dengan dua jagoan yang sudah terlebih dahulu berumah di sana: Kylian Mbappe dan Neymar Junior. Jarang terlihat aksi-aksi sirkusnya, minim kontribusi gol, dan mampat produktivitas tendangan bebas yang menjadi salah satu trade mark-nya.
Hanya beberapa umpan kunci untuk melayani Mbappe dan Neymar, yang menandai statusnya sebagai mahahintang dengan tujuh trofi Ballon d’Or. Tak sedikit yang menyebut, masa emas La Pulga sudah berlalu, dan ia hanya mampu memperlihatkan sisa-sisa seperti halnya Cristiano Ronaldo.
Waktu bergulir, realitas yang ditunggu pun hadir: ketika para bintang sudah berancang-ancang tampil di Piala Dunia Qatar, November nanti, Leo Messi bergerak dalam tren naik yang signifikan.
Gol-gol penting mulai dibendaharakan. Umpan-umpan kunci mengalir. Performanya makin menonjol sebagai dirigen PSG yang “nyeni”, matang, dan karismatis.
Sentuhan Galtier
Rupanya, pelatih Christope Galtier mampu menyentuh dan mengeksplorasi urat kegembiraan Messi.
Di era Mauricio Pochettino, ketika Si Kutu masih beradaptasi dengan kondisi yang serbabaru di Les Parisiens, elemen-elemen kehebatannya terasa belum tuntas terungkap. Bahkan nyaris tak terlihat.
Kini, cobalah simak kembali performa kapten tim nasional Argentina itu ketika PSG berhadapan dengan Lyon, akhir pekan lalu. Anda tentu melihat Leo Messi yang “semeriah” pada puncak kejayaannya di Barcelona. Dia betul-betul kembali “gacor”.
Dribel ajaibnya muncul lagi, mengacak-acak pertahanan Lyon. Visi positioning-nya menonjol. Umpan-umpannya cerdik “membaca ruang”. Pun tembakan-tembakan placing ke gawang lawan. Bahkan free kick-nya yang bagai punya mata juga muncul.
Inilah Messi yang sesungguhnya. Sang “alien”, yang seperti catatan legenda Belanda Marco van Basten, hanya “dianugerahkan” untuk hadir kepada kita dalam 50 atau 100 tahun sekali.
Performa brilian itu dilalui Messi dalam beberapa laga terakhir PSG, baik di Ligue 1 maupun Liga Champions ketika menundukkan Juventus dan Maccabi Haifa.
Faktor pelatih Galtier-kah? Karena chemistry yang kini makin terasa bersama Mbappe dan Neymar? Lantaran telah betul-betul “move on” dari Barcelona? Atau termotivasi Piala Dunia 2022 yang semakin dekat?
Saya ingat bagaimana analisis legenda Manchester United, Eric Cantona kira-kira 15 tahun lalu tentang Messi, “Biarkan dia bersenang-senang, seperti anak-anak yang bermain, maka semua kehebatannya akan muncul”.
Frank Rijkaard dan Pep Guardiola merupakan sosok yang paham bagaimana memberi atmosfer kegembiraan kepada Messi. Demikian pula Luis Enrique. Dan, di antara deret pelatih lainnya di Barca hingga Pochettino di PSG, aura “happy football” Messi itu baru muncul lagi di penggal awal kepemimpinan Galtier.
Yang kini menonjol dari permainannya adalah kematangan dan penikmatan bermain. PSG pun benar-benar menemukan sosok yang mereka semati predikat GOAT, Greatest of All Times.
Qatar 2022
Hal terfokus yang kini ditunggu sepak bola dunia adalah penampilan Messi bersama Albiceleste di Qatar 2022. Sihir apa yang bakal dia berikan?
Dunia menanti kegembiraan Leo Messi dalam ekspresi orkestrasi Tim Tango yang diracik Lionel Scolani.
Ketika rival abadinya, Cristiano Ronaldo mulai memperlihatkan tren pemudaran bersama MU, dan Messi justru mengalami buncah ekspresionalnya yang luar biasa, apa yang kira-kira bakal dia sajikan di ajang yang disebut-sebut sebagai Piala Dunia terakhirnya?
Dan, sekadar saran dari saya untuk para pembaca: cobalah Anda meluangkan waktu untuk menyimak performa PSG dengan jenderal yang tampak makin matang: nikmati show dribel atraktif, umpan-umpan presisi, keanggunan kepemimpinan sang jenderal, pun free kick yang bagai di-remote control.
Satu sisi lainnya, kematangan Messi dilengkapi dengan sikap dewasa “ngemong” egoisitas Kylian Mbappe yang tak jarang mengecewakan rekan duetnya yang lebih senior, Neymar Junior.
Leo, Leo, Leo! Messi, Messi, Messi…
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —