blank
Ilustrasi melatih mental health di lingkungan kerja. Foto: indonesiare.co.id

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Banyak diantara kita menghabiskan waktu untuk belajar, bermain, maupun bekerja. Bahkan banyak para pelajar yang harus membagi waktunya untuk belajar dan bekerja.

Waktu kondusif kerja selama sehari setidaknya ada 8 jam kerja. Sebagian besar orang menganggap pekerjaannya sebagai top priority atau bisa disebut prioritas utama. Karena dari pekerjaan itulah mereka mandapat penghasilan untuk kehidupan sehari-hari.

Kata ‘ups dan down’ mungkin saja sudah menjadi hal biasa dalam dunia kerja. Situasi ups pasti akan kita alami, yang akan memberikan kita kepuasan dalam pekerjaaan. Selain itu, juga akan membuat kita bersemangat dalam melakukan semua job disk kita.

Namun, tidak selamanya kita berada di posisi ups, kita juga akan berada di posisi down. Hal itu terjadi karena dimungkinkan ada suatu tekanan dari atasan maupun pengaruh dari partner kerja atau lingkungan kerja yang tidak bersahabat.

Potensi terbesar untuk membentuk pribadi karyawan maupun atasan dalam perusahaan bisa menjadi lebih positif itu disebut dengan ‘Mental Health’.

Hal itulah yang membuat mental health sangatlah penting dalam dunia kerja. Mental yang mempunyai arti perbuatan atau sikap, dan health yang berarti kesehatan memiliki kata dasar ‘sehat’ merujuk pada kondisi fisik yang baik.

Mental health dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, karena mood yang tidak baik maupun orang-orang disekitar yang tidak care atau seenaknya.

Jika kita bicara tentang mental health, bisa jadi akan dibilang gila atau baper, padahal tidak. Orang yang bicara soal mental, karena mereka ingin diskusi dan bertukar pikiran tentang apa yang mereka alami, salah satunya di lingkup kerja.

Berdasarkan pengalaman, dalam dunia kerja pastinya kita akan menemukan kata ‘Toxic Work Environment’, dimana kondisi lingkungan kerja, situasi, maupun rekan kerja yang membuat seseorang merasa terganggu maupun tidak nyaman.

Perubahan perilaku yang nyatapun seringkali terjadi karena sikap seorang atasan yang tidak profesionalisme. Terkadang kita juga akan menemukan seorang pemimpin yang otoriter dan menginginkan bawahan melakukan semua perintah tanpa dia contohkan.

Akhirnya yang terjadi, akan memerintah tanpa adanya langkah maupun contoh, yang pada akhirnya membuat seseorang mempunyai perilaku yang berbeda, misalnya, ‘si A kerjanya rajin, tidak pernah terlambat, lalu tiba-tiba berubah sering datang terlambat dan terlihat tidak bersemangat”.

Itu dikarenakan seorang atasan yang tidak pernah adil dan suka membedakan. Hal itu membuat kita sering merasa cemas sepanjang hari saat bekerja, suka mengeluh, dan membuat kita jadi berubah.

Oleh: Serri Diyah Kusumawiduri, Fakultas Ekonomi, Prodi Manajemen 2018, Universitas Wahid Hasyim Semarang.