Oleh : Hadi Priyanto
Walaupun ia dicatat sejarah sebagai salah satu tokoh utama organisasi Budi Utomo yang momentum kelahiran organisasi ini dijadikan penanda Kebangkitan Nasional dan diperingati setiap tanggal 20 Mei, namun di kota kelahirannya Jepara, dr Gunawan Mangunkusumo nyaris tidak dikenal. Padahal putra kelahiran Pecangaan ini dikenal sebagai penggerak dan motivator organisasi Budi Utomo.
Di dalam organisasi Budi Utomo, Gunawan Mangunkusumo adalah salah satu sekretaris. Namun ia dikenal sebagai “dalang” organisasi ini. Sebab pemikiran-pemikiran kritisnya sejak awal mewarnai garis perjuangan Budi Utomo yang diketuai dr Sutomo.
Sementara di kota kelahirannya Jepara belum ada sedikitpun pengakuan dan penghargaan, walaupun hanya untuk nama sebuah jalan. Namanya juga nyaris tidak pernah disebut para pejabat dan juga guru sebagai salah satu tokoh yang layak yang menjadi panutan dan kebanggaan masyarakat Jepara.
Padahal dr Gunawan, adalah putra kelahiran Pecangaan Jepara. Ayahnya bernama Mangunkusumo, keturunan priyayi dari Kasultanan Yogyakarta. Ia adalah anak Mangunsastro, seorang guru agama di desa Pancarosa, Ambarawa yang kini menjadi Desa Kupang tempat persemayaman terakhir dr Cipto Mangunkusumo.
Sedangkan kakeknya adalah Mangundiwiryo seorang Demang yang dengan arif bijaksana memimpin Kademangan Pancarosa. Beliau adalah keturunan priyayi berpangkat bupati bernama R. Mangundipuro yang kemudian memilih meninggalkan Yogyakarta, mengikuti perjuangan Pangeran Diponegoro.
Mangunsastro kemudian menyekolahkan Mangunkusumo ke Sekolah Kelas Dua untuk Bangsa Bumiputera. Setelah lulus Mangunkusumo melanjutkan sekolah guru di Ambarawa dan setelah itu diangkat menjadi guru di 2de Inlandsche School (Sekolah Kelas Dua untuk Bangsa Bumiputera) di Ambarawa. Pada sekitar akhir tahun 1884 Mangunkusumo diangkat menjadi mantri guru atau kepala sekolah di Pecangaan yang masuk wilayah Karesidenan Jepara.
Ditempat inilah ia berkenalan dengan Raden Ayu Suratmi, putri seorang kasir pabrik gula Mayong bernama R.M. Sutodijoyo yang dikenal sebagai tuan tanah yang kaya. Bahkan tanahnya disewakan kepada pabrik gula Mayong untuk perkebunan tebu. Mereka kemudian menikah.
Dari pernikahan ini Mangunkusumo dikarunia delapan orang anak, diantaranya adalah Cipto yang lahir tahun 1886, Budiharjo tahun 1887 dan Gunawan pada tahun 1889. Ketiganya sama-sama dokter lulusan School Tot Opleiding Van Illandsche Artsen (STOVIA).
Anak Mangunkusumo yang lain adalah Badariyah 1895, dr Samsul Maarif 1897, Murtinah 1899, Ir. Darmawan 1901, Kartini 1905, Kartono 1907, Kartini 1908 dan Mr. Suyitno 1909.
Gunawan masuk sekolah kedokteran STOVIA pada 10 Januari 1903 setelah lulus dari Europeesche Lagere School di Ambarawa. Saat itu usia Gunawan 14 tahun. Saat sekolah di STOVIA ia kerap kali menyuarakan pemikiran-pemikiran kritisnya terhadap berbagai persoalan kebangsaan.
Bahkan saat usianya belum genap 17 tahun, Gunawan Mangunkusumo lewat tulisannya di koran Java Bode, mengkritik pengangkatan bupati karena garis keturunan. Bukan karena kualifikasi pendidikan atau kemampuannya. Kritik ini bukan saja ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga kalangan bangsawan, bangsanya sendiri.
Mendirikan Budi Utomo
Budi Utomo adalah organisasi yang dibentuk oleh para mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA. Organisasi ini dibentuk karena gagasan dr Wahidin Sudirohusodo, alumni STOVIA yang memiliki ide untuk mencerdaskan bangsa melalui dana pendidikan. Tujuannya agar tidak mudah diadu domba oleh penjajah.
Akhirnya 9 mahasiswa STOVIA mendirikan organisasi Budi Utomo. Mereka terdiri dari R. Sutomo, Gunawan Mangunkusumo, Suraji Tirto Negoro, Gondo Suwarno, Sulaiman, Angka Projo Sudirjo, M. Suwarno, Muhamad Saleh dan RM Gumbrek. Mereka kebanyakan mahasiswa STOVIA yang diterima tahun 1903 dan lulus tahun 1911.
Hanya dalam waktu 5 bulan organisasi ini telah memiliki anggota 1.200 orang dan kemudian menggelar konggres pertama bulan Oktober 1908 di Yogyakarta. Dalam konggres ini ditetapkan tujuan Budi Utomo adalah untuk menjami kehidupan bangsa yang terhormat melalui bidang sosial, pendidikan, pengajaran dan kebudayaan. Sedangkan keanggotaannya tidak hanya di Jawa tetapi juga Madura dan Bali dengan tidak melihat suku agama dan jenis kelamin.
Kelahiran Budi Utomo ini menjadi sebuah momentum mendasar dari gerakan untuk mencapai kemerdekaan yang semula bersifat kedaerahan menjadi nasional. Disamping itu terjadi perubahan fundamental yang semula menggunakan senjata berubah menggunakan kekuatan pemikiran.
Tanpa mengabaikan peran tokoh yang lain, dr Sutomo dan dr Gunawan disebut sebagai tokoh utama organisasi ini. Mereka memiliki hubungan yang sangat dekat. Bahkan kemudian dr Gunawan menikah dengan salah satu adik kandung dr Sutomo bernama RA Srijati.
Dalam buku Soembangsih yang ditulis untuk memperingati 10 tahun kelahiran Budi Utomo, dr Sutomo menilai Gunawan memiliki peran yang sama besar seperti dirinya. Tanpa Gunawan organisasi Budi Utomo akan timpang.
Sementara saat menuliskan catatan pribadinya ketika dr Gunawan meninggal dunia, dr Sutomo menilai almarhum sebagai sebagai seorang pribadi yang sangat setia pada organisasi. Juga konsisten pada pendiriannya
Bahkan dr Gunawan dinilai menjadi motor pengerak dan motivator organisasi Budi Utomo. Menurut dr Sutomo, dr Gunawan telah mengorbankan dirinya demi organisasi mereka dan jasanya terhadap nusa dan bangsa tidak tertandingi oleh siapapun.
Gunawan menurut dr Sutomo sangat mengedepankan prinsip– prinsip persatuan. Prinsip ini harus dicapai dengan segala daya upaya. Karena itu menurut Gunawan, perbedaan pendapat harus dihormati. Sebab dengan persatuan itu menjadi modal dalam perjuangan. Persatuan ini sangat penting sebab bangsa yang dicita-citakan adalah bangsa yang berbeda.
Sementara dr Cipto Mangunkusumo menuliskan, dr Sutomo tokoh sentral Budi Utomo kehilangan kekuatannya setelah dr Gunawan meninggal. “Sutomo telah kehilangan dalangnya,” tulis dr Cipto Mangunkusumo yang juga kakak kandung dr Gunawan.
Peran saat di Belanda
Dr Gunawan pada tahun 1919 berangkat bersama dr Sutomo ke Belanda untuk melanjutkan sekolah kedokteran. Saat itulah mereka berkenalan dengan Drs Sosrokartono. Mereka menyelesaikan pendidikan tahun 1921 dan kemudian kembali ke tanah air. Kemudian tahun 1927-1928 , dr Gunawan kembali ke Belanda untuk memperdalam pengetahuan tentang penyakit paru-paru.
Saat berada di Belanda Gunawan mendapatkan kepercayaan sebagai wakil ketua dan kemudian ketua dari organisasi Perhimpunan Indonesia yang semula bernama Indische Vereeniging. Organisasi ini menjadikan pokok-pokok pikiran dan perjuangan RA Kartini sebagai pedoman resmi perjuangannya.
Saat itulah terjadi perubahan radikal arah perjuangan organisasi ini kearah politik mendukung kebebasan Hindia Balanda. Tokoh lain yang merubah orientasi gerakan ini adalah Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.
Namun setelah kembali dari studinya yang kedua ke Belanda pada tahun 1928 dan di tempatkan di Semarang, kondisi kesehatan dr Gunawan semakin menurun. Ia meninggal tahun 1929 oleh penyakit yang ingin dilawannya, penyakit paru-paru. Ia kemudian dimakam di Ambarawa bersama para leluhurnya.
Pengakuan atas peran besar dr Gunawan Mangunkusumo dalam panggung perjuangan bangsa ini justru didapatkan dari Kabupaten Semarang tahun 2020 lalu. Namanya diabadikan untuk nama rumah sakit milik daerah, RSUD dr Gunawan Mangunkusumo Semarang. Sementara di kota kelahirannya ia benar-benar dilupakan.
Penulis adalah Ketua Yayasan Kartini Indonesia, pegiat budaya Jepara dan penulis buku.