blank
(Foto Ilustrasi)

Oleh: Aliva Rosdiana, S.S., M.Pd.

Setiap orang menggunakan lebih dari satu ragam bahasa dalam aktivitas komunikasinya. Konteks sosial yang berbeda berpengaruh pada penggunaan ragam bahasa kepada lawan bicaranya dengan topik pembicaraan yang berbeda, setting yang berbeda, medium komunikasi yang berbeda, juga tujuan dan alasan yang berbeda, serta dalam suasana formalitas yang berbeda.

Keragaman bahasa komunikasi secara verbal terjadi dikarenakan penggunaan dua perangkat kaidah kebahasaan, yakni kaidah linguistik dan kaidah sosial. Dari segi linguistik, keberterimaan ujaran terletak pada keselarasan kalimat-kalimat yang digunakan terhadap aturan fonologi, aturan morfo-sintaksis, dan aturan pilihan kata. Namun dari segi aturan sosialnya, sebuah ujaran tidak sekadar dianggap layak meskipun sudah dapat dikatakan gramatikal.

Berdasarkan kaidah sosial penggunaan bahasa, atau keragaman bahasa, meliputi pelaku bahasa yaitu penutur dan pendengar, topik, setting, tujuan tuturan, medium yang digunakan, dan suasana. Keragaman ini dari segi ragam bahasa dapat dilakukan analisa berupa critical language analysis dengan tambahan pertanyaan alasan pelaku bahasa menggunakan ragam bahasa tertentu dalam berkomunikasi.

BACA JUGA Aktivitas Menulis Menumbuhkan Manusia Kreatif

Penggunaan ragam bahasa biasanya dapat ditengarai jejak identitas si penutur dari asal tempat tinggalnya dan status pendidikannya. Bahkan dalam masyarakat Jawa, status seseorang bisa terlihat dari cara ia berbicara apakah seorang priyayi atau wong cilik.

Keragaman bahasa berdasarkan tingkat tutur kultural (cultural levels) memberikan nuansa martabat secara vertikal dan ragam fungsional (functional varieties) menganggap kelayakan (appropriateness) penggunaan bahasa secara horisontal, bukan lebih bermartabat. Ragam bahasa berdasarkan tutur kultural dan fungsinya secara konteks sosial dapat beralih ragam ketika berbicara dengan orang yang berbeda sesuai dengan topiknya, waktu serta tempat yang berbeda, dan suasana yang berbeda.

Hasil penelitian Labov menunjukkan bahwa buruh (blue-collar workers) memiliki ragam berbeda dengan pekerja eksekutif (white-collar executives). Para buruh cenderung tidak melafalkan post-vocalic ­­­–r pada car, bar, core. Sedangkan para pekerja eksekutif melakukan hal yang sebaliknya.

Secara strata sosial (cultural level), menurut Geertz dalam Linguistic Etiquette, dapat diambil contoh pembagian ragam bahasa Jawa orang Pare, yang mayoritas lingkungannya pesantren, menjadi tiga, yakni abangan, santri, dan priyayi. Dengan kata lain, penguasaan unda-usuk bahasa Jawa mulai dari ngoko sampai kromo inggil.

Berdasarkan ragam fungsional (functional varieties) dapat dibagi menjadi lima berdasarkan suasana formalitasnya, meliputi ragam beku (frozen style), ragam formal (formal style), ragam bisnis (consultative style), ragam santai (casual style), dan ragam akrab (intimate style).

BACA JUGA Eko Widianto, Dosen Asli Jepara yang Sukses Mengajar BIPA di 3 Negara Asing

Ragam beku dapat diamati melalui tuturan seorang penghulu dalam upacara akad nikah. Ragam formal dapat digunakan dalam pidato atau ceramah ilmiah. Ragam bisnis terlihat pada ungkapan seorang resepsionis hotel dan pramuniaga saat melayani tamu atau pelanggan. Ragam santai digunakan saat dua orang atau lebih melakukan perbincangan santai. Ragam akrab cenderung dalam suasana intim oleh dua orang dalam suatu perbincangan.

Perbedaan penggunaan bahasa Jawa dalam ragam bahasa juga tampak pada dialeknya. Hal ini mengacu pada dialek geografis, misalnya bahasa Jawa dialek Surabaya dan dialek Jepara ditemukan perbedaan. Begitu juga dalam ilmu Sosiolinguistik, penanda kelompok sosial juga terlihat pada dialek profesi (register). Sementara, dalam istilah genderlek penutur ditandai pada masing-masing kelompok menjadi laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, secara fonologi terbagi menjadi ragam perempuan dan ragam laki-laki.

Pengetahuan ragam bahasa sangat penting ketika seseorang harus menerapkannya dalam konteks sosial secara verbal untuk menunjukkan kesantunan dan status sosial. Bahkan dalam status sosial, seseorang menerapkan atau mengakui kekuasaan sehingga ragam tinggi digunakan. Sebaliknya dalam suasana santai atau akrab dengan kesantunan yang longgar penuh solidaritas, ragam rendah lebih digunakan. Apalagi dalam era komunikasi global, masyarakat cenderung menggunakan dua bahasa bahkan lebih. Konteks interaksi sosial pun juga berbeda berdasarkan suasana formalitasnya.

Penulis adalah Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, Unisnu