Oleh : Hadi Priyanto
Setelah mendirikan masjid di Desa Kerso, Idha Gurnadi dan rombongan berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya. Tentu warga sangat bersedih ditinggalkan oleh ulama yang baik hati dan banyak mengajarkan cinta kasih kepada mereka. Bagi warga Kerso Idha Gurnadi adalah guru keutamaan yang mengajarkan kebajikan. Bahkan konon, nama Gurnadi sendiri berasal kependekan dari “guru nadi” yang artinya guru kebajikan.
Karena itu beberapa orang mencoba untuk meminta agar Idha Gurnadi mengurungkan niatnya, atau paling tidak tinggal beberapa saat lagi di Kerso. Sebab banyak ajaran Islam yang ingin mereka dapatkan. Namun Idha Gurnadi dengan penuh kasih sayang menjelaskan, ia masih harus melaksanakan tugas dari Sunan Kalijaga untuk melakukan syiar Islam di sejumlah tempat. Idha Gurnadi berjanji akan datang lagi ke Desa Kerso.
Akhirnya bersama rombongan Idha Gurnadi berjalan menuju padukuhan Troso. Mereka mengunjungi rumah Ki Senu yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Keduanya telah bekenalan cukup lama. Sebab Ki Senu sering mengunjungi Idha Gurnadi di Kerso untuk memperdalam ajaran Islam.
BACA JUGA Jejak Islam di Jepara, Datuk Singorojo Sang Pencerah dari Pulau Dewata (Bag-1)
Tentu saja kedatangan rombongan Idha Gurnandi disambut Ki Senu dan Istrinya serta warga dengan suka cita. Sebab mereka memang telah menanti kedatangan Idha Gurnandi untuk belajar tentang Islam. Bahkan untuk menyambut ulama ini, Ki Senu mengenakan baju khusus, sebagai bentuk penghormatan.
Idha Gurnandi beberapa tahun menyebarkan Islam di desa ini. Di sela-sela mengajarkan ajaran Islam, ia juga mengajarkan ketrampilan menenun kepada Nyi Senu dan sejumlah perempuan hingga mereka pintar menenun. Konon Idha Gurnadi saat meninggalkan Bali, telah mahir menenun.
Setelah cukup lama berada di Troso ia kemudian mengajak warga untuk membangun sebuah masjid. Tentu warga yang telah menerima Islam sangat gembira dan dengan penuh semangat mereka membangun masjid. Oleh Idha Gurnandi pada kubah bagian depan diberi kubah kecil berwarna putih.
Konon masjid ini awalnya hanya berukuran 7 m X 7 m, dengan kubah tumpang seperti ciri bangunan Hindu yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan lantainya dari tanah yang dipadatkan.
BACA JUGA Rumi : Pertanyaan adalah Setengah dari Pengetahuan
Konon empat pilar utama terbuat dari potongan kayu jati yang disusun rapi. Ini serupa dengan soko tatal masjid agung Demak karya Sunan Kalijaga. Untuk mengenang jasa Idha Gurnandi nantinya masjid ini diberi nama oleh warga setempat, Masjid Datuk Ampel yang terletak di padukuhan Ampel Desa Troso. Konon dipadukuhan ini dulu Idha Gurnandi tinggal beberapa tahun. Masjid ini kemudian menjadi tempat bagi Idha Gurnadi untuk mengajarkan ajaran Islam.
Tidak lama kemudian setelah segala sesuatunya teratur, ia memutuskan untuk meninggalkan Desa Troso untuk melanjutkan perjalanan. Ia ingin mencari satu tempat untuk tinggal dihari tuanya nanti. Sekaligus tempat untuk anak-cucunya kelak. Disamping itu ia juga ingin mendirikan pesantren untuk tempat mengajarkan tentang ajaran Islam.
Untuk mengenang dan menghormati jasa besar Idha Gurnadi masyarakat Desa Troso, khususnya yang berada di sekitar Masjid Datuk Ampel Troso secara turun temurun merayakan haul. Waktunya pada hari Jum’at Wage pada bulan Muharrom. Selain haul di Masjid Datuk Ampel, warga juga mendatangi makam Datuk Singorojo di Kecamatan Mayong. Biasanya pada malam hari. Disamping itu pada saat yang sama, haul juga digelar oleh masyarakat Deso Singorojo dan sekitarnya di makam Datuk Singorojo, di Desa Singorojo, Kecamatan Mayong. (Bersambung)
Penulis adalah Wartawan SUARABARU.ID dan Pegiat Budaya di Jepara