blank
Jalaluddin Rumi

Pertanyaan muncul sebab kita menyadari bahwa kita percaya ada kekeliruan pada pemikiran kita, atau kita menyadari ada hikmah yang lebih baik dari miliknya. Itulah, menurut Jalaluddin Rumi, maksud dari “bertanya adalah setengah dari pengetahuan yang kita miliki.”

Buku Fihi Ma Fihi oleh Jalaluddin Rumi mengajak pembaca berkelana mencari jawaban atas segala permasalahan hidup. Laksana orang tersesat di padang pasir yang sedang mencari sumber air untuk melepaskan dahaga.

Setiap orang pernah terjerumus dalam permasalahannya masing-masing. Ia pernah merasakan seolah tenggelam ke dalam air. Bukan karena dia menenggelamkan diri, namun airlah yang menenggalamkannya. Air ibarat lingkungan. Jika ia tidak bisa berenang, maka ia akan tenggelam. Jika ia bisa berenang, maka ia bisa mengontrol air agar tidak sampai menenggelamkannya. Kontrol ini merupakan gerakan yang berasal dari tangan Tuhan, yakni Allah Azza Wa Jalla.

BACA JUGA Mudah Menyatakan Cinta, Tetapi Pernyataan itu Butuh Bukti dan Fakta

Saat kita melaksanakan ibadah shalat dan puasa, esensi apa yang kita dapatkan? Prinsip rahasianya adalah pada diri kita sendiri melalui ucapan dan kata-kata, bak buah dari pohon tindakan.

Kita meyakini dalam hati (iman). Lalu kita menyatakannya dalam tindakan, yaitu salat dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an.

Kata-kata adalah hal yang harus dipertimbangkan. Bagaimana kita bisa mendengar dan mengetahui pernyataan tanpa ada kata-kata? Kita semuanya pasti memiliki harapan atas tidakan yang kita lakukan. “Iman itu sendiri terdiri atas rasa takut dan harapan,” kata Rumi.

Takut dan harapan tidak pernah bisa dipisahkan. Seorang nelayan memiliki harapan dalam semalam memperoleh banyak ikan yang memenuhi perahunya. Namun, ia juga takut ada badai dan ikan buas yang menerkamnya. Bagaimana kita bisa membayangkan ada harapan tanpa rasa takut? Jika kita memupuk harapan, bukan tidak mungkin kita akan lebih giat dan rajin bekerja. Bak sayap, kita berharap bisa terbang tinggi. Untuk menggapainya, kita harus mempertahankan sayap terus terbang walau lelah dan letih. Bukan sebaliknya berputus asa sehingga menjadi malas.

Hasil buah harapan akan kita temukan asalkan kita bersabar hingga tiba waktunya. Sebab kita adalah sebuah cermin. Ketika kita merasa sakit hati karena ucapan mereka, kita ditinggalkan seraya kita mendengar kritikan dari mulut mereka. Ibarat kita adalah kompor dan mereka adalah api. Bukan api yang pergi, melainkan komporlah yang harus pergi jika kita tak menginginkan api itu terus menyala.

Sebuah pertanyaan muncul, bagaimana itu bisa terjadi? Ada maksud tersembunyi yang mungkin kita rasakan kenikmatannya, namun justru kita berada dalam jurang kenistaan. Sebaliknya, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu” (QS. Al-Baqarah: 216). Bisa jadi kita merasakan kenikmatan berjudi menghabiskan harta. Namun, ingatlah “dunia ini adalah mimpi orang yang sedang tidur,” kata Rumi. Hamba-hamba Allah yang sejati memiliki pengetahuan dengan tidak akan menunggu hingga akhir apa yang akan terjadi, seperti menanam biji jeruk tanpa harus melihat apakah hasil buah yang tergantung di dahan pohon benar-benar buah jeruk.