blank
Khabib Aminuddin

Oleh: Khabib Aminuddin

Konsep metaverse baru-baru ini banyak diperbincangkan oleh khalayak umum di media sosial, setelah Facebook, Microsoft dan platform sosial media lain  mengubah nama perusahaannya menjadi “Meta”. Seperti yang diumumkan oleh Mark Zuckerberg CEO Facebook, perusahaannya akan beralih dari perusahaan media menjadi “Perusahaan Metaverse” yang berfungsi memadukan dunia nyata + virtual lebih dari sebelumnya.

Sebelum kita mengenal istilah metaverse, secara etimologis metaverse berasal dari kata “meta” yang berarti ‘melampaui’ dan “verse” yang berarti ‘alam semesta’. Sehingga dapat digambarkan bahwa manusia bisa pergi dan menikmati  dunia virtual sehingga manusia merasakan sensasi baru seperti di kehiduan nyata. Dalam dunia virtual tersebut kita juga bisa bekerja, berbelanja, bermain dan melakukan banyak hal yang belum pernah kita lakukan sebelumnya.

Pengembangkan teknologi telah banyak dilakukan oleh manusia mulai dari mengelabui indera kita, speaker audio dan televisi hingga video game interaktif dan realitas virtual. Tentu di masa depan kita dapat mengembangkan alat untuk mengelabui indera kita yang lain seperti sentuhan dan penciuman. Kita memiliki banyak kata untuk teknologi ini. Namun sudah siapkah manusia terutama generasi milenial untuk menyikapi datangnya peradaban baru metaverse.

“Augmented reality atau metaverse adalah teknologi media yang berusaha menampilkan konten dengan cara yang paling alami, menggabungkan pemandangan simulasi, suara, bahkan sensasi kedalam pandangan yang seolah nyata” ujar Louis Rosenberg, CEO Perusahaan Kecerdasan buatan Unanimous. AI.

Keuntungkan dari Metaverse untuk Siapa?

Tanpa kita sadari yang biasa kita lakukan berselancar di platform sosial media,  seperti perusahaan teknologi besar Apple, Facebook, Google, dan Microsoft, mungkin anda telah merasakan bahwa kemajuan teknologi (adanya kebangkitan metaverse) tidak bisa dihindari. Sulit untuk tidak memulai  dan berpikir tentang bagaimana teknologi baru ini akan membentuk peradaban baru dalam masyarakat, politik, dan budaya kita. Tinggal bagaimana kita dapat menyesuaikan diri dengan masa depan itu.

Dalam beradaptasi dan mengaplikasikan teknologi-teknologi baru yang muncul di masyarakat yang memang diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia. Akan terjadi pergeseran-pergeseran nilai-nilai, kebiasaan, cara berinteraksi, cara berkomunikasi, serta sistem-sistem yang ada di masyarakat.  Tentu akan membawa dampak yang paling jelas seperti perubahan sosial yang mencakup perubahan secara keseluruhan. Gagasan ini disebut “determinisme teknologi”

Peluang dan Ancaman

Dalam dunia pendidikan berkembangnya teknologi tidak bisa kita cegah. Kita hanya perlu bijak dalam menggunakan teknologi tersebut sehingga membawa manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia, khususnya dalam bidang pendidikan.

Kalau kita bisa flasback pada awal tahun 2000-an  rasa cemas dan takut ada pada dunia pendidikan jika internet akan merusak, bahkan pada tahun-tahun tersebut, handphone merupakan barang yang dilarang dibawa untuk peserta didik, dan  siap-siap untuk disita.

Sekarang, semua teknologi yang dulunya tampak mengerikan, justru berbanding terbalik sekarang teknologi bisa dimanfaatkan dalam dunia pendidikan. Contoh kecil ialah saat pandemi Covid-19 semua kegiatan yang dilakukan berbasis teknologi, seperti Zoom ataupun yang lainyya.

Bisa jadi seorang guru nanti tidak akan pernah mengenal secara langsung peserta didik yang telah dia ajar selama berbulan-bulan. Bisa jadi pembelajaran hanya sekadar formalitas saja tanpa menjadikan manusia menjadi manusia yang sesungguhnya.

Dalam dunia bisnis tentu menjadi hal yang istimewa dimana semua bisa diiklankan melalui internet dan teknologi. Sekarang adanya metaverse bisa saja membeli sebuah tanah didalamnya dan membuat sebuah iklan yang nantinya bisa di lihat oleh semua khalayak manusia yang menggunakannya. Tentu ini sangat postif untuk kemajuan bisnis berbasis teknologi metaverse.

Jika semua kegiatan dalam dunia pendidikan dilakukan secara virtual, dampak negatif yang dapat dirasakan secara langsung tentu saja dari segi kesehatan. Seorang perempuan bernama Joanna Stren yang melakukan uji coba menggunakan virtual reality dan masuk dalam metaverse selama 24 jam, mengaku bahwa dia mengalami gejala kepala pusing dan mata sakit.

Menurut Jak Wilmot yang pernah satu minggu merasakan hidup di dunia virtual mengatakan bahwa metaverse membuat kita kehilangan ”energi alam” yang sebenarnya adalah bagian dari hidup kita. Jadi, bisa dibayangkan jika kita berhari-hari menggunakan alat tersebut. (dikutip tulisan Ramilury Kurniawan).

Selain dampak dari segi kesehatan, yang sangat terasa untuk masyarakat Indonesia kehilangkan kehangatan sosial masyarakat yang seharusnya bisa dirasakan ketika manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya secara langsung. Bagaimanapun juga,  tidak ada yang bisa lari dari kenyataan, dunia virtual bukanlah dunia nyata seutuhnya.

Sebetulnya masih banyak dampak negatif dari metaverse yang nantinya bisa menciptakan kecanduan dan mengalihkan perhatian orang dari tugas-tugas di kehidupan nyata, membuat orang lupa waktu, merangsang indera manusia secara berlebihan, memisahkan manusia dari dunia nyata dan alam nyata, sangat mengerikan.

Sebuah Refleksi

Perkembangan teknologi, termasuk metaverse, hakikatnya hanyalah sebuah cara, tidak bisa dijadikan esensi kehidupan. Dalam pandangan penulis, masih sama memakai istilah guru besar sekaligus Presiden RI yang keempat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”.

Sebagai insan di Bumi perihal penting mengetahui konsep kehidupan selain harus memperhatikan hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal ‘alam. Memanusiakan manusia yang paling penting, bukan malah memvirtualkan manusia.

Penulis adalah anggota Marka Bangsa yang bertempat tinggal di Desa Bugel, Kedung, Jepara