blank

Oleh : M. Iskak Wijaya

Sejak hari Sabtu 3 Juli 2021 hingga Selasa 20 Juli 2021 nanti, kembali dilaksanakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Bahkan bukan lagi skala mikro tetapi darurat khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Pandemi ini diperkirakan masih akan terus berlanjut untuk beberapa waktu ke depan.

Karena itu masyarakat diharapkan tetap memenuhi aturan yang telah ditetapkan pemerintah dan secara optimistis harus membangun kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi pandemi virus Covid-19.

Mulai hari ini, akan disajikan rangkuman dan resensi singkat beberapa buku melalui serangkaian “Bijak Menghadapi Pandemi”. Semoga bermanfaat.

Untuk #1 kali ini, akan dirangkum buku yang berjudul “Where Is God in a Coronavirus World” yang ditulis oleh John C Lennox. Buku ini telah diterjemahkan dalam versi Bahasa Indonesia dengan tambahan sub judul: “Di mana Allah Dalam Dunia Dengan Virus Corona?”. Buku ini diulas dan ditanggapi banyak orang, dalam perspektif teologi dan kemanusiaan menurut pengalaman Barat dan Eropa.

John Lennox adalah seorang profesor emeritus untuk bidang matematika di Universitas Oxford Inggris. Dia juga dosen emeritus bidang matematika dan filsafat sains di Green Templeton College serta pengajar di The Oxford Centre for Christian Apologetics.

Dalam praktik diskusi maupun karir akademisnya, Lennox giat membela iman Kristen melalui perdebatan terbuka di depan publik menghadapi para ateis terkenal seperti Richard Dawkins, Christopher Hitchens dan Peter Singer.

blank

Lennox menyampaikan: “Apakah Anda seorang Kristen atau bukan, pandemi akibat virus corona sangatlah membingungkan dan mengguncangkan kita semua. Bagaimana kita mulai memikirkan hal ini dengan saksama dan menghadapinya?”

Tulisan Lennox ini merupakan pandangan renungan pribadinya. Dia seolah-olah mengundang pembacanya di sebuah kafe, dan pembacanya mengajukan pertanyaan: “Di manakah Allah di tengah dunia yang dilanda virus Corona?”

Pandemi ini menjangkau wilayah dunia yang sangat besar. Belum pernah dalam sejarah manusia mengalami karantina; dari kota hingga negara, yang menutup perbatasan sebagai wujud ketakutan dan pengisolasian diri. Dampak utamanya adalah perasaan universal di seluruh dunia bahwa kita sangatlah rapuh.

Banyak dari kita sudah terbiasa dengan dunia yang relatif stabil dan kehidupan yang dapat diprediksi dengan akal sehat. Sekarang, semua itu runtuh: segala sesuatu yang selama ini kita andalkan lenyap dan kita ditelanjangi dengan kekuatan-kekuatan yang berada di luar kendali kita.

Dunia pernah mengalami pandemi seperti Wabah Antonine atau Wabah Galen pada tahun 165-180 M. Penyakitnya diduga sebagai campak atau cacar dan merenggut sekitar 5 juta jiwa. Kemudian Wabah Justinus (541-542 M). Pandemi ini adalah penyakit pes yang ditularkan dari tikus melalui lalat kepada manusia, dan diperkirakan merenggut sebanyak 25 juta jiwa manusia.

Kemudian ada penyakit pes (Black Death) pada abad ke-14 (1346-1353) dengan korban sekitar 70 sampai 100 juta manusia yang tinggal di Eurasia; menurunkan populasi dunia sekitar 20%.

Lalu pandemi kolera di abad ke-19 dan 20 dengan korban lebih dari 1 juta orang. Pandemi flu juga memakan korban sekitar 20-50 juta manusia pada tahun 1918-1920. Pada tahun 1956-1958 sekitar 2 juta manusia meninggal akibat flu Asia dan 1 juta lagi meninggal karena flu Hongkong pada tahun 1968-1969. Pandemi virus HIV/AIDS yang mencapai puncak pada tahun 2005-2012, sudah menelan korban sekitar 32 juta manusia.

Jika demikian: “Apakah Allah Ada?”

Dulu, saat bencana nasional terjadi di Barat, semua orang berbondong-bondong datang ke gereja dan para pemimpin nasional mengajak orang-orang untuk berdoa. Peristiwa seperti ini sudah sangat jarang terjadi di masa kini, meski ada segelintir pemimpin negara yang menyerukan agar doa dinaikkan. Tetapi zaman sekarang, makin sedikit orang yang memiliki dimensi Ilahi dalam kehidupan mereka. Apakah Allah sedang melakukan karantina mandiri sehingga tidak bisa diakses?

Rasa sakit dan penderitaan datang melalui dua sumber. Pertama, kejahatan alamiah (natural evil) berupa bencana alam dan penyakit, yang mana manusia tidak secara langsung bertanggung jawab, seperti: gempa bumi, tsunami, kanker dan virus corona.

Kedua, ada penderitaan yang mana manusia secara langsung bertanggung jawab, yaitu kejahatan moral (moral evil) seperti: tindakan kebencian, teror, kekerasan fisik, penganiayaan dan pembunuhan. Semua ini menuntun kepada masalah kejahatan moral.

Tentu, kejahatan moral dan alamiah ada kalanya saling terkait, seperti perusahaan yang merusak lahan kemudian membuatnya menjadi gundul dan berakibat bencana alam. Virus corona ini tampaknya merupakan masalah kejahatan alamiah (meski kejahatan moral terus terjadi dalam bentuk kepanikan berbelanja yang egois dan penimbunan bahan makanan berlebih).

Pengalaman manusia dan ilmu dasar medis mengajarkan kita bahwa rasa sakit memiliki fungsi penting dalam kehidupan kita. Pertama, rasa sakit memperingatkan kita akan adanya bahaya. Kedua, rasa sakit dalam kadar tertentu akan terlibat dalam proses pertumbuhan fisik, seperti yang terjadi pada olahragawan.

Ketiga, pada level yang lebih mendalam, penderitaan dan rasa sakit dapat memengaruhi pembentukan karakter. Ada kebenaran dalam perkataan Fyodor Dostoevsky: “Rasa sakit dan penderitaan adalah hal yang selalu tak terhindarkan dalam hidup orang-orang dengan intelektualitas tinggi dan hati yang besar.”

Dalam menghadapi kehidupan dalam kesakitan dan penderitaan itu, ada 3 (tiga) wawasan dunia yang mewakili semua manusia: panteistik, ateistik, dan teistik.

Dalam wawasan panteistik, penderitaan yang dialami seseorang, sesungguhnya diakibatkan oleh dosanya di kehidupan sebelumnya, dan penderitaannya di masa sekarang berperan untuk menolongnya melunasi hutang karma.

Oleh karena siklus sebab-akibat itu tidak bisa dipatahkan, maka tidak ada gunanya berupaya untuk meringankan penderitaan tersebut; itu hanya akan memperlambat proses pemurnian mereka. Lennox ingin mematahkan asumsi yang mengatakan bahwa Alkitab juga mengajarkan konsep penderitaan selalu dikaitkan dengan hukuman Allah atas dosa yang serius.

Sulit sekali untuk melihat bagaimana wawasan dunia yang demikian bisa menawarkan harapan bagi mereka yang menderita akibat virus corona atau penyakit lainnya. Sebagai tambahan atas rumitnya masalah ini, beberapa filsafat Timur juga memandang penderitaan sebagai ilusi belaka.

Lennox menyimpulkan bahwa semua penderitaan yang menimpa kita selama hidup di dunia ini, tidak selalu secara langsung disebabkan oleh Allah, walaupun Dia adalah Allah yang berdaulat atas segala sesuatu.

Dalam wawasan ateistik, Allah sama sekali tidak terlibat dalam masalah penderitaan. Semua bencana alam, termasuk wabah virus Corona, memperlihatkan bahwa Allah tidak ada, sehingga manusia hanya perlu menerima kenyataan bahwa alam semesta ini keras, tidak berperasaan, tidak berbelas kasihan dan tidak peduli apakah kita hidup atau mati.

blank

Ada pertanyaan filsuf Yunani Kuno, Epikurus, yang belum terjawab: “Apakah Allah bersedia mencegah kejahatan, tetapi tidak mampu melakukannya? Jika demikian, Ia tidak berkuasa. Apakah Ia mampu tetapi tidak bersedia? Jika demikian, Ia jahat. Apakah Ia mampu dan bersedia? Kalau begitu, mengapa kejahatan itu ada?”

Lennox menjelaskan bagaimana ateisme tidak dapat menolong kita dalam menghadapi masalah penderitaan. Jika tidak ada Allah maka tidak ada alasan yang rasional untuk menerima sistem moral atau etika yang menilai apa yang benar dan salah, apa yang baik dan buruk, karena semuanya itu berasal dari Allah, Sang Sumber Kebenaran.

Karena itu, menurut Lennox, ateisme tidak dapat menolong kita menghadapi masalah penderitaan karena menyingkirkan Allah tidak serta merta menyingkirkan penderitaan, sebaliknya malah menyingkirkan pengharapan.

Jika Allah itu ada dan Dia mahakasih, mengapa di dunia ini ada virus Corona dan semua bencana alam lainnya?

Pertama, Lennox menjelaskan kegunaan dari virus dan beberapa peristiwa yang dianggap bencana, seperti gempa bumi. Virus berperan di dalam mengendalikan pertumbuhan bakteri dan dengan demikian telah menjaga fungsi ekosistem serta siklus daur ulang nutrien.

Kedua, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk bermoral dengan kapasitas kehendak bebas untuk memilih percaya dan mengasihi Allah dan sesama dengan tulus, atau memilih untuk tidak taat kepada Allah dan melakukan yang jahat.

Pada mulanya Allah menciptakan bumi dan seisinya dengan harmonis dan penuh ketaatan kepadaNya. Tetapi manusia melanggarnya sehingga dia masuk ke dunia. Alam tidak lagi bersahabat dengan manusia. Peradaban manusia pun dipenuhi kejahatan.

Manusia  dihadapkan pada kenyataan adanya dunia yang baik dan indah dengan dunia yang penuh virus patogen dan kejahatan. Adakah Allah yang baik yang dapat kita percayai dan andalkan untuk hidup dan masa depan kita?

Bagi Lennox, Allah tidak tinggal diam terhadap penderitaan manusia, melainkan merengkuh dan ikut mengalami rasa sakit itu. Dalam perspektif Kristen, kematian Yesus mengajak manusia untuk melihat kejahatan bukan pada pihak lain tetapi kepada diri manusia sendiri sebagai orang berdosa yang membutuhkan penebusan.

Virus Corona (yang artinya mahkota dalam bahasa Latin) mengingatkan kerapuhan manusia sebagai makhluk yang fana. Namun pengharapan yang sejati hanya ada pada mahkota yang lain, yaitu mahkota duri di atas kepala Kristus.

Lennox memberi nasihat dengan dua hal: Pertama, kita dapat menjaga hati dan pikiran dengan perspektif kekekalan seperti di atas yang memberikan pengharapan sehingga tidak terus-menerus dikuasai ketakutan melainkan dapat tetap menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Kedua, kita dipanggil untuk mengasihi dan melayani orang dengan cara memperhatikan anjuran medis dalam menjaga sanitasi dan kesehatan diri sendiri serta orang-orang lain di sekitar yang berisiko tertular. Kita juga dapat terlibat membantu menyediakan kebutuhan hidup sehari-hari dari mereka yang sakit atau membutuhkan pertolongan.

Lennox memberikan contoh nyata dari sejarah bagaimana gereja mula-mula mulai dari abad ke-2 hingga zaman Reformasi berkontribusi nyata di tengah situasi pandemi dengan menolong siapa saja yang sakit dan membutuhkan bantuan melalui peran mereka masing-masing.

Buku ini diterjemahkan oleh Literatur Perkantas Jawa Timur dan dapat diunduh di tautan http://dimana. literaturperkantas.com.

Seri berikutnya tentang “Tafsir Musibah dan Fiqih Covid-19”.

M Iskak Wijaya, adalah budayawan dan aktivis  perdamaian lintas agama.