Oleh: Amir Machmud NS
// tahukah kalian/ ada kecantikan di balik sepak bola/ tak hanya kisah tentang kalah – menang/ tahukah kalian/ ada untai elok umpan-umpan/ lentukan pinggul mengalir tarian/ dia sampaikan pesan / : untuk apa aku menang/ tanpa jejak dikenang?//
(Sajak “Jalan Pep Guardiola”, 2021)
DINIHARI tadi, ketika Pep Guardiola membawa Mancheter City bermain di level tertinggi sepak bola Eropa melawan Chelsea, tahukah Anda bahwa dia sedang mengejawantahkan “iman sepak bola”-nya?
“Iman” membawanya ke pertarungan puncak di Stadion do Dragao Porto. Bukankah dengan sikap yang sama dia memberikan trofi Eropa untuk Barcelona pada 2009 dan 2011? Keyakinannya tak goyah oleh ideologi-ideologi yang mencoba menjadi antitesis untuk mendekonstruksi apa yang telah dia jalani sebagai “missi”.
Suatu ketika, kepada para pemain Manchester City, dia menyampaikan doktrin, “Untuk menjadi juara, kalian membutuhkan penguasaan bola”.
Ya, penguasaan bola menjadi kunci untuk mem-pressure lawan, mengangkangi panggung. Ball possession, possesion football, pergerakan tiki-taka adalah filosofi yang dia kukuhi sebagai jalan sepak bola.
Ideologi yang sukses menjadi jiwa permainan Barcelona itu tak sepenuhnya berhasil diterapkan di Bayern Muenchen pada 2013-2016. Para petinggi dan legenda Die Roten mengkritik taktiknya, “Apa artinya sukses menguasai bola namun tidak efektif mencetak gol?”.
Namun Pep bergeming, “Kalian bisa kalah dengan mementingkan penguasaan bola, namun kalian akan lebih banyak kalah apabila kehilangan penguasaan bola,” kilahnya.
Dan Anda tahu, dengan “iman” itu Pep Guardiola memberikan gelar untuk The Citizens pada 2018, 2019, dan 2021. Dia juga menembus rekor mengantar Pasukan Etihad ke laga puncak Liga Champions, posisi yang belum bisa dicapai oleh baik Sven-Goran Eriksson, Roberto Mancini, maupun Manuel Pellegrini.
* * *
BAGAIMANA seorang Pep Guardiola membangun fondasi “iman sepak bola” menjadi sebuah “katedral” dengan kitab suci berisi ayat-ayat permainan menyerang nan indah?
Jawabnya, pelatih asal Spanyol itu berguru kepada Johan Cruyff.
Ketika “mahaguru spiritual” itu membangun filosofi Barcelona melalui Akademi La Masia pada era 1980-an, sejatinya dia menghadirkan sebuah embrio sistem dan corak yang kelak disebut dengan penuh kekaguman: tiki-taka.
Jauh sebelumnya, sang maestro mengoperatori total football anggitan Rinus Michels di Ajax Amsterdam dan tim nasional Belanda yang memukau dunia pada 1974. Gaya menyerang Der Oranye dan kepemimpinan Cruyff mengguncang dunia. Fondasi ideologi yang dia susun di Barcelona akhirnya disempurnakan oleh pemain kesayangannya, Pep Guardiola.
Pep merekonstruksi total football dan mengembangkannya menjadi tiki-taka yang berbasis ball possession. Di era 2008-2012 Barca meraja sebagai kiblat sepak bola indah. Pep tak hanya mengoptimalkannya di Camp Nou. Saat menukangi Bayern Muenchen pada 2013-2016, dia menyulap FC Hollywood dari tim berkarakter speed and power game menjadi racikan dengan pergerakan dinamis dan umpan-umpan pendek rancak. Namun bersama Bayern, Pep gagal menghadirkan gelar Eropa.
Ekspresi permainan Pep yang beraksen ideologis kemudian dituntaskan bersama Manchester City. Tiga kali membawa The Citizens juara Liga Primer pada 2018, 2019 dan 2021, kini dia tengah berjuang mengantar Pasukan Etihad meraih trofi Liga Champions, capaian yang dua kali dibukukan bersama Barca pada 2009 dan 2011.
Manchester United boleh berjaya di bawah Alex Ferguson dalam kurun waktu 1990 hingga 2013, namun City-nya Pep lebih menghadirkan “identitas permainan”. Karakter Setan Merah tampak dari kekuatan individu-individu yang melebur dalam kolektivitas ala Fergie, namun dalam hal ideologi keindahan, Manchester Biru terasa lebih menonjol.
Dalam sejarah sepak bola, keyakinan filosofis yang menjadi “iman” itu, misalnya, tampak dari taktik defensif ala Helenio Herrera, ketika mengarsiteki Internazionale Milan pada 1960-an. Taktik negatif itu dimodifikasi oleh Enzo Bearzot dengan serangan balik efektif yang mengantar Italia juara dunia 1982.
Dari Brazil, Tele Santana dikenang sebagai seniman sepak bola indah yang tidak peduli pada hasil. Selecao bertabur seniman yang menyajikan petualangan artistic football di Piala Dunia 1982 dan 1986. Zico dkk yang sedemikian merak ati akhirnya terlempar di perempatfinal karena berasyik masyuk dengan jogo bonito ketimbang berpikir pragmatis. Santana lebih meng-“imani” sepak bola indah dengan “rukun-rukun” artistik.
Dalam rentang panjang setelah pertunjukan ideologis Tele Santana, lahirlah Pep Guardiola yang merentangkan konsistensi sikap terhadap keindahan sepak bola. Dari Barcelona, Bayern Muenchen, dan kini dia tuangkan total doktrin itu di kanvas permainan Manchester City.
Bagaimanapun, dia sukses menjadikan City sebagai kiblat baru percaturan sepak bola indah. Permainan ofensif tertransformasi sebagai “iman”. Di bawah payung ambisi Syekh Mansour, Pep menuntaskannya sebagai ideologi yang menjadi sejarah di Liga Primer dan dunia.
Corak dan filosofi inilah yang secara ekstrem membedakan antara Pep dari Juergen Klopp, Jose Mourinho, Zinedine Zidane, Diego Simone, Ronald Koeman, Brendan Rodgers, Ole Gunnar Solskjaer, atau Carlo Ancelotti.
Bagi Pep, sepak bola terposisikan sebagai “sikap hidup”. Seperti Cruyff pada masanya, inilah agaknya “jalan sorga Pep Guardiola”.
– Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis olahraga, Ketua PWI Provinsi Jateng –