blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

Menggunakan analogi tali-temali, banyak pihak berasumsi bahwa di dunia perpolitikan, – dunia partai politik utamanya – , berkembanglah “ikatan batin” sangat kuat antar-pengurus parpol dengan para kadernya; antar pengurus sendiri di arah mana pun; demikian juga antar-kader di mana pun mereka berada.

Buktinya, ketika sedang terjadi gawe parigawe apalagi gonjang-ganjing di partainya, sejumlah orang melakukan ritual cap jempol darah, ada juga yang gundhul massal, atau bahkan ngruwat pusaka, dan lain sebagainya.

Tampak seolah-olah “talipatinaleni ubed pindho, disindhet, angel ucule, yakni ketoke begitu kuat ikatan pertaliannya, bagaikan orang menali sesuatu yang sangat sulit lepas kecuali digunting atau dipotong menggunakan pisau. Itulah talipati, yang gradasi kekencangannya mirip-mirip dengan cara taliwareg, yaitu naleni kenceng lan sindhete dipuntir.

Talipatil sangat berkebalikan dengan tali wangsul. Karena ketika orang menali sesuatu dengan cara tali wangsul, dengan sangat gampang ikatan itu dilepas hanya dengan cara menarik salah satu ujung tali itu saja. Ikatan di grup WA adalah contoh sangat jelas tali wangsul ini. Ketoke menggebu-gebu, eh…dengan mudahnya besok pagi left.

Tali Monce

Benarkah “ikatan batin” di dunia partai politik sangat tepat jika dianalogikan dengan tali pati atau tali mati? Saya merasakannya tidaklah begitu. Mengapa? Fakta lapangan yang terjadi di berbagai parpol, membuktikan betapa yang lebih banyak dikejar oleh siapa pun di dalam parpol itu ialah tali monce.

Bacalah monce seperti Anda mengucapkan oke atau pun sate, dan tali monce itu maknanya ialah jambul palsu ing endhase jaran, Kalau Anda suatu ketika menjumpai andong/dokar atau apalah moda yang ditarik oleh kuda; di atas kepala kuda itu umumnya dipasang hiasan serupa rambut.

Ketika kuda itu berlari-lari, hiasan itu bergerak kanan-kiri muka-belakang bagaikan rambut cewek yang berkibar-kibar diterpa angin. Itulah jambul kuda, monce, yang cara memasangnya pasti dengan tali tertentu; nah…jadilah tali monce.

Siapa pun yang bergelut di dunia praktis partai politik, mereka itu mengejar, mencari, bahkan berebut tali monce itu. Dengan cara apa mengejar dan berebutnya? Bermacam-macam cara, asalkan, – sebutlah -, sesuai AD/ART parpol yang bersangkutan.

Baca Juga: Wingka Katon Kencana, atau Sebaliknya?

Contoh terbaru di sebuah parpol ialah lewat KLB. Namanya saja luar biasa, maka segala sesuatunya serba luar biasa. Mengapa yang serba luar biasa itu dapat terjadi? Lagi-lagi, ikatan yang ada di dunia parpol itu bukan tali mati/pati, pun bukan tali wareg melainkan yang lebih dominan adalah tali monce; karena semua pihak (kader?) beranggapan betapa dengan tali monce itulah “aku akan moncer.”

Pasti semua pihak tahu persis apa artinya moncer. Orang disebut moncer kalau  ia punya jabatan, punya banyak harta, punya kekuasaan, relasinya serba orang berpangkat, dan seterusnya. Bersenandungnya orang moncer minimal ini:

“Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota. Naik delman istimewa ku duduk di muka. Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja, mengendali kuda supaya ..moncerrrrrrrr.”

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)

 

 

 

.