Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
KUPER-lah jika hari gini tidak tahu atau pun tidak membicarakan tentang banjir. Bukan saja karena banjir telah atau sedang terjadi di banyak tempat, tetapi juga karena intensitas curah hujan memang disebut-sebut ekstrem.
Sesuatu atau seseorang disebut ekstrem, apabila ada gejala nganeh-anehi, ora kaya adat sabene. Dan dalam hal cuaca ekstremitas itu, ditunjukkan misalnya udan angin, dan di beberapa tempat bahkan terjadi puting beliung, serta durasi hujan terhitung lama.
Misal lebih dari satu jam terus menerus. Cuaca ekstrem semacam itulah yang saat ini sedang terjadi di sejumlah tempat, sehingga di tempat-tempat itu terjadi banjir bandang.
BACA JUGA: Nyirik
Kalau disebut-sebut terjadi banjir bandang, itu artinya terjadi banjir di banyak tempat, di berbagai wilayah. Malahan melanda wilayah yang biasanya tidak pernah kebanjiran kok saiki banjir. Nah itulah banjir bandhang, dan lebih memrihatinkan lagi kalau air yang menggenangi wilayah-wilayah itu tidak segera surut. Wah…sengsara tenan.
Kondisi semacam itulah yang sudah dan sedang melanda sebagian dari Tangerang, Jakarta, Bekasi, Karawang, Pekalongan, Semarang, Kudus, Pati, dan pasti masih banyak wilayah lainnya. Piye jal…?
Dalam ungkapan bahasa Jawa, kondisi seperti itu dapatlah disebut banjir bandhang in banjar dawa. Banjar itu artinya deretan atau semacam barisan. Dunia bertani padi menggunakan kata banjar, misalnya dibanjari, ialah ketika ibu-ibu segera siap tandur, karena terlebih dahulu bapak-bapak sudah banjari benih padi itu berderet-deret di seluruh lahan siap tanam itu.
BACA JUGA: Etikanya: Wis Waleh Aja Diwelehake
Cara banjari pun asyik, yakni setelah benih padi itu dicabuti dari persemaiannya (didaud-Jawa), seikat rumpun benih padi itu dilemparkan sedemikian rupa, namun tampak seolah-olah berderet-deret dengan jarak tertentu. Hal itu dilakukan untuk memudahkan ibu-ibu tandur (njengking berjalan mundur).
Ada pun banjar dawa bermakna satuan tempat tinggal yang sudah gandheng dengan satuan tempat tinggal lainnya. Kalau satuan tempat tinggal itu disebut kampung atau dusun atau grumbul atau bahkan desa, nah disebutlah banjar dawa ketika antar dusun itu sudah tepung atau gandheng satu dusun dengan dusun lainnya.
Harap kita ingat, ‘sosiologi perdesaan’ permukiman di negeri agraris seperti negara kita ini. Antara satu entitas dusun dengan entitas dusun lainnya, dulu-dulunya selalu dipisahkan oleh entah persawahan, perladangan, atau bahkan boleh jadi hutan. Kalau pada saat ini jarak antara satu dusun dengan dusun lainnya semakin dekat, misalnya karena dulunya sawah telah berubah menjadi bangunan rumah, itulah yang disebut dengan banjar dawa tadi.
BACA JUGA: Cancut Taliwanda
Banjir bandang yang terjadi di wilayah perkotaan, besar kemungkinannya karena faktor semakin hilangnya “jarak” antar kampung satu dengan lainnya, bahkan nyaris sudah tidak ada lagi lahan kosong.
Ketika air melimpah karena hujan deras atau sungai meluap, kemana lagi kalau tidak ke permukiman, karena memang tidak ada lahan lain lagi. Pertanyaannya, apakah seperti itu alasan mengapa banjir bandang terjadi juga di perdesaan? Karena notabene di desa-desa relatif masih “berjarak” antara satu rumah dengan rumah lainnya, atau satu dusun dengan dusun lainnya?
Jawaban atas pertanyaan mengapa banjir bandang melanda perdesaan, banyak kajian mengatakan, karena tingkat kerusakan lingkungan di desa-desa sudah sedemikian rupa, sehingga ekosistim desa sudah tidak mampu lagi menyerap atau menyimpan air.
Kompletlah, di perkotaan hunian penduduk tidak berjarak lagi, di perdesaan ekosistim desa telah berubah (drastis). Apalagi kalau bukan banir bandhang ing banjar dawa yang terjadi (dan mungkin akan berulang dan berulang).
Apa yang minimal dapat kita lakukan untuk ikut serta mengurangi banjir bandhang ing banjar dawa ini? Kata kuncinya satu, yakni Cintailah, tegasnya cintailah alam lingkungan ini seperti Anda mencintai dirimu sendiri. Dijaga (tidak dirusak) serta dirawat (tidak dikotori).
-JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan-