blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

Apa bedanya puasa dan sesirik (nyirik)? Secara umum diketahui, puasa itu berarti lagi ora mangan dalam kurun waktu tertentu. Kalau besok pagi akan cek kesehatan di sebuah laboratorium, maka malam ini kita diminta puasa, yaitu tidak boleh makan apa pun.

Baru besok pagi setelah darah diambil, bolehlah minum dan makan. Puasa bahkan menjadi bagian penting dari ibadat dan kehidupan beragama; dan masing-masing agama memiliki kekhasan tersendiri dalam menjalankan ritual puasa (Jawa: pasa) itu.

Di agama Katolik misalnya, kata pasa selalu dibarengi dengan kata sesirik (nyirik) untuk member ruang pemaknaan hidup bagi yang akan puasa, dan juga bagi mereka yang akan berpantang (sesirik).

Ketika menulis sesirik atau pun nyirik, hendaknya jangan keliru menulis menjadi sesirig atau nyirig. Bahkan mengucapkannya pun sebaiknya tepat bedanya antara k dan g. (Nyirig itu artinya mlaku kanthi linceg-linceg, seperti orang joged).

Sesirik (nyirik) ituartinya berpantang, seperti misalnya nyirik makanan kesukaan selama kurun waktu 40 hari misalnya. Sesirik pasti bukan terbatas pada makanan, dapat juga kebiasaan ataupun perilaku.

Berpantang rokok (bagi perokok tentunya) pasti bukan hal yang begitu saja mudah dilakukan. Jangankan pantang merokok. Saya ini sangat hobi makan krupuk, dan kalau harus sesirik krupuk selama 40 hari misalnya; saya harus siap mental.

Bagi yang berpantang (sesuatu), boleh saja makan nasi seperti biasa, artinya tidak harus puasa; namun lagi-lagi sesirik bukan perkara gampang khususnya bagi mereka yang benar-benar telah nggathok dengan rokok misalnya, atau pantang kopi bagi mereka yang benar-benar sudah tidak bias dipisahkan dari minum kopi.

Intinya, pasa lan sesirik, bukanlah perkara mudah untuk dijalankan; oleh karena itu salut betul bagi siapa pun yang berusaha apalagi berhasil melakukannya.

Nyirik menjadi sangat bermakna karena ora nglakoni (maneh), syukur bukan terbatas hanya pada kurun waktu tertentu seperti 40 hari tadi. Sapa ngerti dapat berhasil nyirik sateruse karena keberhasilan seperti itu pasti akan sangat berdampak positif bagi kehidupan selanjutnya.

Baca Juga: Etikanya: Wis Waleh Aja Diwelehake

Bagaimana halnya dengan nyirik omong? Saat-saat ini sedang ramai dibahas banyak orang tentang omong dalam konotasi kritik; dan pada intinya: Ada penegasan bahwa siapa pun boleh menyampaikan kritik, akan tetapi jangan sebuah provokasi.

Lalu, ada mantan pejabat teras negeri ini menyampaikan pandangannya (cenderung bermakna kritik) sekitar bagaimana cara menyampaikan kritik agar tidak membawanya ke pelaporan ke polisi.

Nyirik omong sebaiknya menjadi sikap juga hari dewasa ini. Mengapa? Jika orang tidak bersikap (bahasa kerennya empan papan) godaan untuk omong dan omong sangatlah “menggila” saat ini; sehingga ada bahaya orang lepas kontrol dan tidak mampu mengendalikan diri lagi, apalagi nyirik omong.

Maksud hati, – sebutlah awalnya – , sekedar mau omong saja, namun karena terpancing ini – itu, omongan itu dapat berubah menjadi kritik, dan jika tidak terkontrol akan membawa serta omongan yang provokatif, atau sekurang-kurangnya menjelek-jelekan; lalu dapat lupa di mana serta kepada siapa saja hal itu dilakukan.

Inilah mengapa nyirik omong akan mengajarkan sikap empan papan; dan sekali pun nantinya terpanggil untuk harus menyampaikan kritik kepada seseorang atau kepada suatu lembaga; ia akan menyampaikannya secara empan papan. Orang semacam inilah disebut cakep dan sukses nyirik-nya.

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)