blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

Menurut Kompas,  Sabtu, 6 Februari 2021 halaman 2 (berjudul “Budaya Politik Indonesia Memburuk”), Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2020 ada pada angka terendah (baca: mengalami penurunan terus)  dalam kurun 14 tahun terakhir ini.

Berdasarkan laporan hasil analisis The Economist Intelligence Unit (EIU), 3 Februari lalu, dalam skala 1-10, Indeks Demokrasi Indonesia ada pada angka 6.30 (empat belas tahun lalu 6.41) dan padatahun 2015 kita pernah mencapai angka 7.03.

Pengukuran Indeks Demokrasi dicapai lewat analisis atas lima variabelnya, yakni (a) penyelenggaraan Pemilu dan pluralisme, (b) fungsi pemerintah, (c) partisipasi politik, (d) budaya politik, dan (e) kebebasan sipil. Dalam konteks Negara kita, di antara lima variable itu budaya politik terus anjlok, variable (a) dan (b) naik; variable lainnya landai.

Menurut Kapus Penelitian Politik LIPI, menurunnya budaya politik disebabkan antara lain oleh (i) kurang terpeliharanya kultur yang kompatibel dengan demokrasi, (ii) tidak cukup banyak ada teladan baik yang ditunjukkan oleh elit politik, dan (iii) kurang tampak usaha serius mengatasi kultur yang tidak sejalan dengan demokrasi karena cenderung lebih mengutamakan primordialisme, permisif terhadap korupsi,  masih kuatnya pola patron-klien,  serta pembatasan kebebasan berbicara.

Terkait dengan nomor (ii) di atas, yakni “tidak cukup banyak ada teladan baik yang ditunjukkan oleh elit politik” judul tulisan di atas menjadi sangat relevan; karena di antara budaya politik para elit politik, aspek etika sangat-sangat memrihatinkan.

Para elit politik kita sering sangat tidak etis, contohnya, kalau ada orang “jatuh,” para elit politik justru “menimpa tangga’’. Sekali pun yang sedang jatuh itu “lawan politik,” namun etikanya, – siapa pun itu – , janganlah lalu memanfaatkan ‘’kejatuhan”  itu untuk “menimpakan tangga” kepadanya.

Yen Wis Waleh, Aja Diweleh-welehake  

Bacalah waleh sebagaimana Anda mengucapkan saleh atau cap go meh; sedangkan weleh bacalah seperti Anda mengucapkan: “Ia suka minum legen dari nira;” atau “Pekerjaan sebagai kernet bus mengharuskan Tony ramah.”

Waleh artinya wis ngakoni kanthi blaka, yakni secara terbuka orang sudah mengakui kesalahan atau perbuatannya. Blaka  (apalagi blakasuta) itu artinya kandha sing sabenere, mengatakan (mengakui) apa yang sebenarnya terjadi.

Baca Juga: Cancut Taliwanda

Dan kalau ada orang/pihak sudah mengatakan secara terbuka seperti itu, etikanya ialah janganlah kesalahannya itu diewer-ewer, diceriterakan di mana-mana, diungkit-ungkit di setiap pembicaraan. Itulah makna  “sadis” dari diweleh-welehake, yakni ditunjuk-tunjukan kesalahan atau kebohongannya di muka umum.

Mengapa melehake semacam itu tidak etis? Analoginya bezoek orang sakit, sangatlah tidak etis ketika (setiap orang?) selalu bertanya kepada si pasien: “Gerah punapa, sampun pinten dinten; punapa ingkang dipun raosaken?”

Bertanya seperti itu saja sebenarnya sudah memasuki ranah tidak etis, apalagi lalu nanti di mana-mana diceriterakan bahwa: “Bu Kasno itu jebule lara jantung, kudu pasang ring, lsp.”

Sakit atau penyakit itu bukan sebuah kesalahan atau kebohongan; itu pun sebaiknya jangan diewer-ewer dicritakake di mana-mana. Nah…betapa etisnya kalau kesalahan atau kebohongan orang/pihak lain itu juga tidak diweleh-welehake.

Apakah para elit politik (politisi) Indonesia memegang erat etika seperti itu? Rasanya sangat berat untuk memberi jawaban “Ya,” karena dalam kenyataan sehari-hari“ siapa menimpakan tangga kepada siapa,” adalah tontonan yang tidak dapat menjadi tuntunan (teladan) bagi khalayak.

Ambil saja contoh yang sedang terjadi saat ini, sebutlah “isu kudeta;”  siapa berusaha “menimpakan tangga kepada siapa”  lewat meleh-melehake sedang sangat gaduh dan sebenarnya jelehi.

Mereka atau pihak yang melehake “Si D” berkontribusi lurus dengan mereka/pihak yang melehake “Si I”  dan sebaliknya.  Maksudnya ,semakin kubu D gencar melehake kubu I; sebaliknya juga itu semua umpan manis bagi kubu I untuk melehake kubu D.

Ini semua tontonan sangat tidak etis, dan lebih tidak etisnya lagi, hal ini justru diperagakan oleh para elit politik. Rak jelehi ta? Dan jangan lupa masalah etika seperti ini sangat berkontribusi kepada semakin memburuknya budaya politik sebagaimana Indeks Demokrasi merangkumnya.

Bagaimana mengatasi degradasi etis semacam itu? Kiranya perlu ada politik pertobatan bagi para elit politik lewat mengutamakan kesantunan, menjauhi “balas dendam.” Serta selalu ingat bahwa: “Anda batuk pun akan menjadi cerita dan tontonan tidak etis” manakala Anda sedang “dadi lakon” saat ini. Etikanya, “wis ta menenga dhisik.”

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)