Ringkasan Sebelumnya:
Pertemuan Arya Pandan dan Jayeng, membawa mereka ke Padepokan Gelagah Abang. Arya Pandan perlahan-lahan membuka jatidirinya, termasuk nama Bhre Maharsha yang disandangnya. Tujuan mereka kini menemui Ki Damarjati Wasesa, pimpinan Padepokan Gelagah bang. – red.
NAMUN sejak peperangan terjadi dalam beberapa hari ini, ketika sepasukan Kerajaan Timur telah kembali, Bhre Maharsha tidak terlihat di antara mereka lagi. Bhre yang dipastikan menjadi bagian dari pasukan Kerajaan Timur ikut berperang. Namun di tengah-tengah peperangan, tiba-tiba ia menghilang. Kerajaan Barat memenangi pertempuran melawan pasukannya Raja Wirabhumi. Banyak bala tentara Kerajaan Timur yang terbunuh, namun Bhre Maharsha sebagai senapati muda, tak ditemukan jasadnya jika ia gugur. Tidak juga ditemukan jejaknya jika keluar dari arena peperangan.
Di manakah Bhre Maharsha kini? Di dalam istana, Raja Bhre Wirabhumi mempertanyakan langsung kepada sang panglima.
“Tolong cari sampai ketemu. Jika ia gugur akan kupersembahkan upacara yang memuliakannya di halaman istana. Dan ini yang berbahaya, jika ia masih hidup namun dibawa oleh pasukan Wikramawardhana ke Kerajaan Barat. Ini titah, cari dia sampai ketemu !”
Demikian ucap Raja Bhre Wirabhumi dengan suara bergetar. Panglima perang kerajaan pun tak berani berbuat apa-apa, kecuali menyembah dan beringsut diri membantuk pasukan.
“Kapankah pasukanmu akan mencari?” sambung Wirabhumi sebelum Panglima melangkah pergi. Panglima kembali menghadap dan melaporkan, “Malam ini pasukan Kerajaan Timur akan berangkat. Kami akan menyisiri tengah padang dan hutan sekitar.”
Wirabhumi mengangguk, Panglima pun dengan cepat keluar dari ruang utama istana. Ia langsung meniupkan terompet untuk menyiagakan pasukan. Tidak lama sesudahnya, kelompok pasukan khusus yang telah dipersipkan, sudah membentuk diri di alun-alun kerajaan. Pasukan ini berbeda dengan pasukan ketika tempo hari berperang. Setelah melakukan berbagai arahan, Panglima mempersiapkan diri memimpin langsung pencarian.
Suara langkah sepasukan kuda kembali bergemuruh di malam hari. Meninggalkan kerajaan, menyususi jalan bersawah lantas masuk ke hutan. Mereka berderak dengan suaranya yang mengerikan. Sesekali suara kuda meringkik, sesekali lenguh nafasnya terdengar memburu di tengah larinya. Siapakah yang hendak dicari? Senapati Muda yang tidak kembali.
“Marabahaya belum berhenti, durjana sedang mengintai
Lanjutkan perangan demi menjaga marwah negeri
Nyawa dipertaruhkan, darah dan jiwa didermakan
Malam ke lima belas kuda berlari, entah kapan berhenti
Tiada letih, tiada keluh mengabdi, kibarkan panji-panji
Pedang di tangan, tombak di punggung, berlari …!!”
Di tengah-tengah itu, seorang senapati sesekali meneriakkan yel-yel sebagai penyemangat. Dia adalah Senapati Bandang Segara, sudah berumur namun masih terlihat gagah perkasa. Kemudian seluruh pasukan menyahut yel-yel-nya berbareng dan sangat keras. Sepanjang perjalanan tak pernah berpapasan dengan siapapun. Hingga pada sebuah lereng bukit, Senapati mengarahkan agar mengentikan langkah. Setelah sepasukan kuda berhenti, sambil masih tetap di tunggangannya, Senapati membalikkan arah kudanya menghadap para pasukannya.
“Hey, prajurit Kerajaan Timur Majapahit !!”
“Dalem, Senapati !!”
“Tahukah kalian apa artinya perang bagi sebuah negeri? Peperangan tidak selalu harus bermusuhan melawan kerajaan lain yang berbeda paham. Kita sedang menjunjung harga diri Sinuhun Prabu Bhre Wirabhumi yang jelas-jelas darah daging keturunan Sinuhun Raja Prabu Hayamwuruk. Lawan yang dihadapi adalah raja menantu Prabu Hayamwuruk sendiri, yaitu Sinuhun Prabu Wikramawardhana…”
Sesekali, tangan Senapati menjentikkan tali kudanya, sehingga kuda yang ia tumpangi menggerakkan kakinya agar menggeser setapak letak berdirinya. “Bhre Maharsha adalah Senapati ing Ngalaga. Ia digadhang-gadhang Sinuhun Wirabhumi dalam peperangan sebelumnya. Ia meninggalkan gelanggang peperangan di saat Kerajaan Timur membutuhkannya. Saatnya kita cari sampai ketemu, nyawa atau jasadnya. Mari kita lanjutkan perjalanan !!”
“Siaaaaap !!”
Dan puluhan prajurit melanjutkan langkahnya, dengan melantunkan nyanyian perang sebelumnya:
Malam ke lima belas kuda berlari, entah kapan berhenti
Tiada letih, tiada keluh mengabdi, kibarkan panji-panji
Pedang di tangan, tombak di punggung, berlari …!”
Serasa rumput-remput mengaduh dalam diam, kaki-kaki kuda menginjaknya tak beraturan. Burung cabak beterbangan ke sana – kemari begitu kegaduh pasukan berkuda menebas jalanan kelam. Tujuan utama pasukan yang dipimpin Senapati Bandang Segara hanya satu, mencari mayat Bhre Maharsha. Jika tidak ditemukan, pasukan mendatangi padepokan terdekat dari terjadinya peperangan.
Mereka bukan prajurit biasa. Mereka adalah sepasukan prajurit terlatih tanpa tanding. Sebelum meninggalkan kerajaan, para prajurit terlebih dahulu harus mandi bersih di Sungai Selapakis yang terletak di belakang kerajaan. Tujuannya agar para prajurit bersih dari segala pikiran jahat dan memiliki keberanian saat berhadapan dengan lawan. Sesudah itu, berduyun-duyun mereka menepi di tepi sungai, di sana telah tersedia beberapa gentong besar berisi air pahit yang telah dicampur jami-jampi. Demikianlah ritual menjelang pemberangkatan pasukan sebelum perang. \
Secara berkala, pasukan yang telah dipilih pada barisan harus melakukan gladhi perang di tempat rahasia. Beberapa pelatih dipersiapkan kerajaan agar pasukannya menjadi barisan digdaya di medan laga.
Peperangan tidak sederhana sebagaimana yang terlihat. Bekal mereka selain kekuatan raga, juga olah jiwa.
* * *
Jayeng memang kuda tunggangan yang sangat kuat. Menjelang senja, Arya Pandan telah bersamanya menempuh jarak dua kali lipat dari malam sebelumnya. Ketika kuda memasuki gapura sebuah padepokan di lereng bukit, seorang pengawal mencegatnya dengan ramah.
“Sebentar, Kisanak, apakah Kisanak sedang tersesat jalan?” Berkata begitu sambil pengawal itu menggiring langkah Jayeng agar berhenti.
Sebagai anak muda yang sangat paham sopan-santun, Arya Pandan menghentikan kudanya dan turun. Pengawal tadi mengikuti langkah Pandan dengan turun dari punggung kuda. Keduanya saling menelangkupkan telapak tangan setinggi dada.
“Pasti saya tidak tersesat, Kakanda. Saya memang ingin singgah beberapa malam di padepokan ini. Oh iya, boleh tahu siapakah nama Kakanda?”
Keduanya saling bersalaman.
“Panggil saya Lindhujati, mungkin usia kita tak terpaut jauh. Padepokan ini bernama Gelagah Abang, sedangkan Guru kami bernama Ki Dhamarjati Wasesa.”
“Ki Dhamarjati Wasesa? Oh, bolehkah saya dipertemukannya sekarang?”
Lindhujati tersenyum. Dengan bahasa mata yang tanpa sakwasangka, seketika ia mengangguk. Keduanya menaiki kudanya kembali menuju padepokan utama yang berjarak masih cukup jauh dari gapura pertama.
Sepanjang perjalanan, Lindhujati tidak berkata-kata. Padahal Arya Pandan ingin mengetahui banyak hal. Karena dirasa suasana tidak sehangat tadi, Arya Pandan memberanikan diri bertanya.
“Kakang Lindhu…Saya ingin menanyakan sesuatu.”
“Katakanlah.”
“Mungkin saya ingin berguru di sini untuk beberapa lama.”
“Kenapa kau butuh lama di tempat ini,” jawab Lindhujati tanpa memandang Arya Pandan.
“Saya ingin berguru, selain ingin juga mencari ketentraman.”
Lindhujati sedikit tersenyum, bahkan mempercepat larinya seolah tak menghiraukan tamunya.
“Kakang Lindhu, tungguu …!”
Lindhu tidak peduli, semakin kencang kudanya berlari. Tak urung Arya Pandan pun ikut menarik tali kudanya untuk mengejar kuda di depannya.
“Kakang Lindhuuuu !!!”
“Nanti akan kujelaskan. Sebaiknya kau bertemu Guru dulu. Hyaaah !!!” Kuda dipacu sampai akhirnya tiba di padepokan utama Gelagah Abang.
Sambil turun dari punggung Jayeng, Arya Pandan terkagum-kagum memandangi bangunan luas Padepokan Gelagah Abang. Bangunan menyerupai joglo besar yang di depannya diterangi berpuluh oncor dan blencong. Suasana ramai, karena banyak murid dari berbagai pelosok menuntut ilmu jiwa dan kanuragan di sini. Semakin terperangah, karena setiap murid Padepokan Gelagah Abang yng berpapasan dengan Arya Pandan, mereka berlaku takzim. Menautkan kedua telapak tangannya setinggi dada, serta membungkuk sambil senyum.
Lindhujati menuntun Arya Pandan pada bangunan lebih ke tengah. Terdapat rumah panggung berlantai kayu yang telah diperluas. Dari sudut ke sudut ia menemui sekumpulan anak perempuan yang sedang berlatih laga. Hampir setengahnya memperagakan permainan senjata pedagng, sebagian yang lain belajar menyerang dan menghindar dari lawan dengan ayunan tubuh yang elok dipandang.
Saya ingin sekali, Kakang Lindhu…” desis Arya Pandan.
“Ingin sekali apa?!” hardik Lindhujati.
“Ingin menjadi murid Ki Dhamarjati Wasesa. Saya ingin belajar lama di Gelagah Abang.”
“Hush !” Lindhu menyergah.
Hingga keduanya tiba di semacam paseban. Di tempat itulah Ki Dhamarjati terlihat duduk bersila sambil mulutnya membacakan mantera-mantera. “Oh, inikah Guru yang dimaksud Lindhujati tadi?” ucap batin Arya Pandan. Tatapan matanya laki-laki tua terkesan dalam. Berselempang selendang dengan ikat kepala berwarna putih. penuh wibawa.
Ketika Arya Pandan menatap Lindhujati, yang ditatap memberi tanda agar sejenak bersabar. “Guru sedang bermantra,” bisiknya.
Arya Pandan mulai paham dan terdiam. Ketika Lindhujati mengajaknya maju bersila, Arya Pandan pun mengikuti.
Agak lama menunggu Ki Dhamarjati Wasesa bersamadi dan bermantra. Begitu membuka mata, Ki Damarjati menyapu ke sekeliling paseban, kini hanya ada dua anak muda yang dilihatnya. Terlihat sedikit heran terhadap siapa anak muda yang dibawa Lindhujati di paseban ini. Sebelum bertanya, Lindhujati sudah berlutut maju.
“Seorang anak muda ingin berguru di padepokan ini, ia ingin bertemu Guru.”
Kata-kata Lindhujati yang penuh sopan-santun ditanggapi orang tua itu dengan anggukan kecil. Ki Damarjati berdiam, baru kemudian menyuruh murid kepercayaannya itu meninggalkan tempat ini.
“Saya ingin mendengar cerita Kisanak ini. Kembalilah ke regol gapura padepokan, siapa tahu ada tamu yang hendak kemari.”
“Iya, Ki.” Lindhujati berlutur mundur, setelah jauh dari tempat duduk Ki Dhamarjati ia berdiri menuju keluar.
Kini hanya mereka berdua. Ki Dhamarjari sekilas menatapnya, seperti berpikir ia menatap ke arah lain sambil mengelus jenggotnya yang putih.
“Kisanak dari mana? Apa perlunya menghampiri gubug tua yang hampir roboh ini,” tanyanya.
Di luar dugaan, senyum Ki Dhamarjati terulas saat berkata-kata. Matanya terduh, seperti danau lembah yang terlindung beberapa pohon besar.
“Saya Arya Pandan, Ki. Sebenarnya saya orang tersesat jalan yang tidak mengerti hendak ke mana. Karena seekor kuda bernama Jayenglah sehingga saya terbawa kemari. Mohon diizinkan, Ki. Juga mohon ampun jika sikap ini membuat Ki Dhamar kurang berkenan.”
“Oh, he he he he he …..Ha ha ha ha ….!!!” Ki Dhamar malah terkekeh panjang. Arya hampir bingung harus bersikap apa, akhirnya ia ikut tertawa. Keduanya kini terbahak sejadi-jadinya. Sampai akhirnya Ki Dhamar menghentikan tawanya sendiri.
“Kau berbohong, Kisanak ! Pada selaput mataku sangat terlihat bahwa kau sebenarnya seorang senapati muda dari Kerajaan Majapahit Timur. Mengapa kau tinggalkan barisan??”
Seperti disambar petir, dada Arya Pandan tiba-tiba bergetar turun naik. Sungguh sakti orang tua yang tidak dikenal ini. Dari selaput matanya, Ki Dhamar bisa mendapatkan petunjuk siapa dirinya.
“Maaf, Ki. Saya bukan senapati,” Arya Pandan berbohong lagi.
“Senapati bernama Bhre Maharsha, kerabat dekat Raja Bhre Wirabhumi, tiba-tiba meninggalkan gelanggang setelah kalah perang di Desa Banjar, perbatasan wilayah Kerajaan Timur dan Kerajaan Barat.”
“Sungguh, bukan saya, Ki Dhamar.”
“Bersama kuda pilihan dari pihak lawan, yang jiwanya sudah melekat pada sang Senapati, kau melarikan diri ke sebuah hutan semalaman. Kini, di bawah pimpinan Senapati Bandang Segara, ratusan prajurit dari Kerajaan Timur sedang menuju ke padepokan ini mencarimu. Masihkah kau mengelak di depan orang tua tak berdaya ini, Bhre Maharsha alias Arya Pandan?”
“Oh, Ki. Ampun, ampun. Ampuuun, Ki… Baiklah saya akan bercerita mengapa meninggalkan rombongan kerajaan …”
“He he he he ….Tidak usah bercerita sekarang. Kini bersembunyilah untuk menyelamatkan diri. Seseorang bernama Kembang Manggis akan membawamu ke sebuah tempat rahasia, agar kau tak tertangkap oleh pasukannya Bandang Segara.”
(Siapakah Kembang Manggis yang disebut Ki Dhamarjati itu? Mampukah ia menyelamatkan diri dari kejaran prajurit Kerajaan Timur Majapahit? – BERSAMBUNG )
Cerber, Pedang Bermata Naga (Seri 001)