blank
Th. Dewi Setyorini

Oleh : Th. Dewi Setyorini

 PANDEMI  covid-19 telah mengubah banyak wajah dalam berbagai aspek kehidupan ini. Salah satunya dalam gaya hidup dan bagaimana konsumsi orang terhadap internet dan media sosial. Hampir semua kalangan terpengaruh dan memanfaatkan dengan berbagai tujuan.

Hal ini tentu juga tidak terlepas dari Work from Home (WFH) dan  Study from Home (SFH). Whatsapp menjadi salah satu media sosial yang mengalami peningkatan paling tajam diikuti instagram dan facebook dengan peningkatan sebanyak 40% (CNBC Indonesia, Juli 2020). Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kebutuhan untuk saling berhubungan satu dengan yang lain.

Meningkatnya penggunaan gadget ini terjadi dalam banyak kalangan salah satunya pada kaum muda. Tercatat 40% orang muda berdasar survey yang dilakukan oleh WEF Youth Survey 2020 yang diselenggarakan oleh World Economic Forum dan IDN Timer (23/7/2020) memanfaatkan media sosial untuk berbagai keperluan.

Besarnya persentase ini menunjukkan betapa anak muda aktif memanfaatkan media sosial sebagai cara untuk tetap menjalin relasi dengan seusianya seintensnya dalam dunia yang tanpa batas.

Media sosial menyajikan berbagai kesempatan, ruang informasi yang bisa dieksplorasi sesukanya, memberikan banyak peluang untuk menelusuri ruang-ruang privat seseorang bahkan sebagai media untuk mengekspresikan diri sepuasnya.

Batas dan ukurannya boleh dikata absurd meski tersedia peraturan dan undang-undangnya. Dalam hal ini kedewasaan seseorang dalam menampilkan dirinya diuji bahkan dalam beberapa hal dipertaruhkan.

Tak semua orang mampu menyikapi media sosial secara bijak. Kadang justru menjadi sebuah malapetaka atau pemicu banyak persoalan. Bahkan karena media sosial pula tak sedikit orang mengalami gangguan psikologis seperti insomnia, kecemasan, agresi, atau bahkan schizophrenia.

Sedihnya, orang baru menyadari setelah kehidupannya porak poranda dan kehilangan segala yang berarti dalam hidupnya. Ini yang sering kali orang tak menyadari bahwa secara perlahan ia diperbudak oleh media sosial dan menjadikannya candu dalam hidup.

Ancaman atau Tantangan

Media sosial adalah produk kekinian dari sebuah teknologi informasi yang berkembang sangat pesat. Ia diciptakan untuk memudahkan manusia dan menjembatani segala hambatan yang dibatasi oleh ruang dan waktu.

Dalam batas-batas tertentu media sosial bagai pisau bermata dua. Di satu sisi ia memiliki fungsi yang luar biasa, namun di sisi lain ia bisa menjadi senjata tajam yang melukai. Mana yang kita pilih, tergantung pada bagaimana kita memandang  dan menyikapinya.

Pada dasarnya kita membutuhkan media untuk menjalin relasi dengan banyak orang, kita membutuhkannya karena kita memerlukan ruang tempat kita mengekspresikan diri.

Segala yang tidak pernah kita bayangkan, sekarang difasilitasi oleh media, boleh dikata, media sosial memberikan ruang bagi kita untuk tak semata menjadi diri sendiri, bahkan bisa menjadi orang lain, atau figur ideal yang selama ini kita bayangkan atau bahkan kita inginkan.

Karena begitu tanpa batas eksplorasi yang bisa dilakukan dan disediakan oleh media sosial, sering orang terlena dan menjadi lupa diri. Dalam hal ini media sosial tak lagi diperlakukan menurut fungsi namun lebih sebagai alat untuk memuaskan diri dalam batas artificialnya saja.Hal inilah yang kemudian membuat seseorang terjebak dan makin terperangkap jauh di kedalaman hiper realitas yang begitu absurd.

Pada saat itu, media sosial tidak lagi menjadi sebuah tantangan yang dapat kita manfaatkan secara fungsi dan kemaslahatannya tapi unsur mudaratnya yang membuat manusia lengah dan terperdaya hingga pada akhirnya menjadi ancaman yang pada saatnya melukai tanpa ampun.

Hidup tergerus hanya untuk memuaskan kebutuhan akan pengakuan dan eksistensi yang sebenarnya semu dan tak akan pernah ada habisnya.

Pinter atau Keblinger

Dua pilihan itu memiliki makna filosofis yang berbeda karena muatannya berbeda. Pinter memiliki arti kecerdasan sebagai makhluk yang berakal budi, dianugerahi otak untuk berpikir kritis, mengolah menjadi sebuah keputusan yang sudah ditimbang baik dan buruk.

Namun sebaliknya, keblinger memiliki makna keterlibatan aspek emosi yang dominan yang mengarah pada terjebak tanpa batasan yang rasional semata mengikuti mood atau emosi.

Pinter dalam memanfaatkan media sosial diartikan sebagai kemampuan untuk memilah dan memilih medsos sebagai satu alat untuk menjadi lebih produktif. Arti produktif tidak semata berarti uang, namun menambah pengetahuan atau membangun jejaring untuk tujuan yang lebih bermakna dan bermanfaat.

Dalam hal ini unsur intelektualitas dan kecerdasan sebagai makhluk berpikir yang rasionalitasnya dikedepankan. Seseorang mampu menentukan pada saat kapan ia akan berhenti dan mengeksplorasinya demi satu tujuan yang positif.  Memberikan ruang bagi pribadi untuk bertumbuh dan berkembang sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk yang cerdas.

Sedangkan keblinger terjadi ketika orang memanfaatkan medsos sebagai media untuk mengikuti aspek emosi semata. Saat demikian, maka seseorang menjadi sulit untuk memutuskan pada batas mana ia akan berhenti.

Eksplorasi yang dilakukannya menggerus diri dan menjadikannya budak yang harus mengikuti tuntutan sosial yang semu dan tak pernah ada habisnya.

Indikatornya jelas, saat orang keblinger adalah saat emosi menjadi begitu dominan hingga mengganggu kenyamanan psikologis dan ketergantungan yang tinggi untuk selalu mengikuti tuntutan medsos yang tak ada habisnya. Ia menjadi sulit untuk memisahkan antara realitas yang sesungguhnya dan hiper realitas yang semu.

Berani Mengakhiri

Ketika hidup menjadi begitu tergantung dengan media sosial, mengikuti tanpa banyak melibatkan aspek rasionalitas dan mengedepankan objektivitas, dan kebahagiaan kita tergantung pada berapa like yang kita dapatkan, atau berapa jumlah follower yang kita miliki, mudah timbul kecemburuan atau iri hati terhadap postingan orang lain, waktu dihabiskan hanya untuk mengintip status orang lain, maka itu menjadi warning untuk  berhenti dari semua medsos yang ada.

Baca Juga: Pemenang atau Pecundang di saat Pandemi

Pada saat itu emosi menjadi lebih dominan dibanding rasionalitas kita, maka kita perlu menyadari dan menghentikannya demi kesehatan psikologis kita

Tentu saja, keberanian untuk mengakhiri ini tidak mudah terlebih saat kita sudah terasuki medsos begitu dalam. Namun yang tidak mudah bukan berarti tidak bisa. Yang diperlukan hanya keberanian untuk mengakhiri ketergantungan itu.

Ada kalanya menutup medsos kita untuk sementara waktu akan memberikan dampak psikologis yang lebih positif. Kembali pada kesadaran bahwa medsos semata media bukan tujuan. Akhirnya, kitalah yang memilih: apakah kita mau pinter atau malah keblinger, emosi atau rasionalitas. Selamat memilih.

(Th. Dewi Setyorini, Psikolog Founder of Rumah Pemberdayaan, Tembalang)