blank
Idham Cholid. Foto: muharno zarka

Oleh: Idham Cholid

SEKALI lagi saya katakan, membangun koalisi partai tidaklah mudah. Saya cukup sering menggunakan Pilkada 2000 sebagai contoh. Tentu, selain karena saya mengalaminya secara langsung, Pilkada saat itu juga hampir sama setting agenda dan isunya dengan yang terjadi saat ini, terutama dalam hal koalisi.

Nasionalis-Religius

Kita tahu, koalisi partai yang mengusung Paslon Afif-Albar telah mendaftar ke KPU (6/9/2020). Koalisi ini dianggap merepresentasikan harapan masyarakat Wonosobo.

Mereka dengan optimisme tinggi mengusung jargon Harapan Baru Wonosobo Maju. Apalagi juga, Paslon Afif-Albar juga mencerminkan realitas politik nasionalis-relegius di Wonosobo.

Afif Nurhidayat Ketua PDI Perjuangan, sedang Muhammad Albar adalah Ketua PKB. Komposisi ini persis sama dengan fakta Pilkada 2000. Saat itu Trimawan Nugrohadi adalah Ketua PDI Perjuangan dan Kholiq Arif meski bukan Ketua PKB tapi mempunyai background NU yang sangat kental.

BACA JUGA : Koalisi Ambyar Pilkada Wonosobo (2)

Intinya, saat ini dua partai besar bertemu dalam satu “kepentingan” politik yang sama, yakni PDI Perjuangan dan PKB, yang didukung hampir semua partai yang ada. Inilah juga yang terjadi pada Pilkada 2000. Bahkan tak sedikit yang menilai Pilkada saat ini adalah copy paste. Tentu tak sesederhana itu juga sebenarnya.

Namun tak dapat dipungkiri jika Pilkada 20 tahun silam memang telah menjadi “yurisprudensi” bagaimana praktik politik demokratis bisa diwujudkan di tingkat lokal.

Apalagi saat itu, dimana konflik elit di Jakarta telah membuat gaduh di seantero Nusantara, dan dampaknya di bawah sangat terasa.

Praktik politik demokratis dimaksud, tentu tidak sekadar diukur dari adanya kebebasan, namun sejauhmana partai-partai khususnya merumuskan langkah politik yang bisa dipertanggungjawabkan. Inilah sebenarnya kepentingan yang paling utama.

Koalisi Ambyar

blank
Paslon Afif-Albar yang diusung koalisi besar 7 partai di Wonosobo. Foto : SB/dok

Namun dalam konteks koalisi partai, bagi saya, “koalisi ambyar” adalah istilah yang tepat kita gunakan saat ini. Kenapa?

Pertama, koalisi besar dari semua partai yang digagas dari awal jelas tak berjalan mulus. Awalnya, semua partai –minus Golkar, PPP dan Perindo– bersepakat untuk membangun komitmen, dimulai dari penataan legislatif hingga pada perhelatan Pilkada.

Ketiga partai tersebut sengaja ditinggal karena ketika mereka berkoalisi sekalipun, tidak akan memenuhi syarat untuk mengajukan Paslon. Golkar dengan 4 kursi, PPP 3 kursi dan Perindo 1 kursi, belumlah cukup menjadi tiket pencalonan, yang mensyaratkan 9 kursi.

Namun dinamika politik berkata lain. Terjadi pergesaran posisi antara Golkar dan Gerindra. Kini, Golkar berada di lingkaran Afif-Albar.

Kedua, keluarnya Gerindra dari koalisi besar dan menggagas poros koalisi baru, menandai ambyarnya koalisi partai. Bersama NasDem, Gerindra pernah akan menduetkan incumbent Eko Purnomo dengan pengusaha muda Ika Andi.

Namun upaya ini gagal di tengah jalan, dan NasDem segera kembali pada komitmen awal koalisi yang dibangun sejak di legislatif.

Jika kemudian Gerindra dan PPP sepakat untuk berkoalisi, saya menilai kesepakatan itu sangatlah rapuh. Buktinya, sekarang justru porak poranda. Mereka dalam kebuntuan politik, karena tidak ada titik temu dalam penentuan Paslon.

Apalagi kini Gerindra sudah tegaskan tidak akan mengusung calon (Suara Baru, 8/9/2020). Dengan kata lain, inilah koalisi ambyar sesungguhnya.

Sekali lagi, memang tak mudah membangun koalisi. Tak hanya kepentingan yang sama, kedewasaan untuk saling menghargai dan menerima perbedaan juga diperlukan.

Kalisuren, 8 September 2020

Idham Cholid (Ketua GMPK Wonosobo). Foto: Muharno Zarka