blank
Ketua Umum Jayanusa, Ketua GMPK Wonosobo. (Foto : SB/dok)

Oleh: Idham Cholid

MEMBANGUN koalisi partai memang tak mudah. Ada beragam kepentingan disana. Apalagi menyangkut kepentingan politik Pilkada. Jika tak kokoh landasannya, akan rontok juga seketika.

Saya dkk punya pengalaman ketika mewujudkan itu pada Pilkada di awal reformasi tahun 2000. Gagasannya hampir sama. Bedanya, saat itu kita tak pernah menggunakan istilah koalisi besar, tetapi membangun politik kebersamaan (collectivisme politic).

Baca Juga: Koalisi Ambyar Pilkada Wonosobo (1)

Tentu tak sekadar istilah. Collectivisme politic adalah sebuah gagasan besar, bagaimana mewujudkan tatakelola pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip keseimbangan. Bukan menang-menangan.

Saat itu PKB –dimana saya menjadi Ketuanya– mempunyai pandangan bahwa pemenang Pemilu harus diberi kesempatan untuk memimpin pemerintahan. Pilkada adalah proses politik yang tak terpisahkan dari pemilu itu sendiri.

Maka selayaknya PDIP yang menang Pemilu saat itu tampil sebagai Bupati. Kesepakatan koalisi pun disepakati. Partai-partai memberikan dukungan. Pilkada berlangsung aman dan damai. Bahkan Mardiyanto Gubernur Jateng saat itu memberikan apresiasi khusus sebagai Pilkada terbaik, bebas dari money politics.

blank
Buku hasil refleksi Pilkada Wonosobo tahun 2000 lalu. (Foto : SB/Muharno Zarka)

Ada anggapan, tidaklah sulit mewujudkan itu karena Pilkada hanya ditentukan oleh 45 orang anggota dewan. Namun setiap masa tentu punya tantangan dan persoalan. Money politics saat itu juga menjadi persoalan serius.

Di banyak tempat, Pilkada berlangsung secara “transaksional” hingga partai pemenang juga tak otomatis memenangkan Pemilihan Kepala Daerah.

Kita masih ingat betul, 100 Anggota DPRD Jateng dikarantina di Solo hanya untuk menghindari transaksi itu. Pilgup pun akhirnya berlangsung aman, memenangkan pasangan Mardiyanto dan Ali Mufiz yang diusung PDIP dan PKB.

Tantangan kita di manapun dan sampai kapanpun sebenarnya sama. Secara struktural, kita masih dikungkung oleh sistem dan aturan yang belum menjamin sepenuhnya praktek politik diwujudkan secara adil, demokratis dan bermartabat.

Yang paling sederhana misalnya, adakah aturan kepartaian kita yang mendorong seleksi kepemimpinan itu berlangsung secara demokratis dan terbuka?

Pada sisi lain, ada tantangan yang bersifat kultural, berkaitan dengan sistem nilai yang membentuk sikap dan karakter para politisi kita.

Ini soal mentalitas, kemapanan lebih diutamakan dari pada berikhtiar mewujudkan perubahan! (bersambung)

Idham Cholid, Ketua Umum Jayanusa, Ketua GMPK Wonosobo