blank
Kiai Haji Ahmad Darodji dan buku yang diuncurkan sebagai penanda genap usianya ke-80 tahun. Foto: Dok

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Ketua MUI Jawa Tengah KH Ahmad Darodji, hari Senin esok genap berusia 80 tahun menurut kalender Masehi. Tidak banyak yang tahu, bahwa KH Amhad Darodji senyatanya adalah trah bangsawan dari Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Ayahnya KH Badruddin Honggowongso masih berdarah biru trah Keraton Solo. Namun Kiai Badruddin menanggalkan gelar ‘’Raden’’ dalam penyebutan namanya. Ibu kandungnya Hj Umiyati biasa dipanggil Bu Mi, ibu rumahan biasa yang mendampingi suami dan membesarkan anak-anaknya.

Baca juga  Buku ‘80 Tahun Kiai Darodji, Nguwonge Uwong’ Tandai Ulang Tahun Ketua MUI Jateng

Darodji anak nomor dua dari delapan bersaudara. Berturut-turut dari nomor satu hingga delapan, Ahmadu Hidjan (pensiunan guru tinggal di Solo), Ahmad Darodji, Ahmad Wasi’ (meninggal saat masih kecil), Dra Nurul Jazimiyah (pensiunan PA di Solo), Syahlan (tinggal di Salatiga), Prof Dr Hj Nur Uhbiyati (guru besar PAI UIN Walisongo Semarang), Drs Ahmad Dzulkarom (meninggal usia 35 tahun di Solo) dan Dra Nur Saidah (pensiunan Dinas Sosial Kota Semarang.

Mbah Badruddin, adalah santri alumni Pondok Pesantren Tremas, Pacitan dan Pondok Pesantren Jamsaren Solo. Pada masanya termasuk ulama yang visioner, berpikiran jauh ke depan melewati zamannya. Tahun 1927-1929, dia bersama KH Thoyib Thihari mendirikan Madrasah Al-Khoriyah, Bulu, Kota Semarang. Lembaga pendidikan itu masih berjalan hingga sekarang.

Kiai Badruddin ingin anak-anaknya menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Pada masa penjajahan Jepang di Semarang, Kiai Badruddin hampir tiap pagi dijemput dinaikkan truk. Dia dipaksa melakukan Saikerei, membungkukkan badan menghormat kepada Dewa Matahari. Ini adalah ritual bangsa Jepang dari agama Shinto untuk menyembah Dewa Matahari.

Keselamatan Terancam

Sebagai Kiai yang dilambari keimanan yang kokoh dan semangat cinta Tanah Air yang begitu kuatnya seperti kebanyakan para alim ulama pada saat itu, Kiai Badruddin terang-terangan menolak Saikerei. Sikap bertentangan dengan Jepang tentu sangat membahayakan keselamatan diri dan keluarganya.

Darodji kecil tidak punya pilihan mengikuti bapak-ibunya hijrah untuk menyelamatkan diri dari Kampung Gedong Bobrok (Gedongsari), Kelurahan Rejomulyo, Kota Semarang ke Prambanan, Klaten. Kenapa ke Prambanan? Karena di sana ada saudara dari Bapaknya, namanya Ibrahim.

Dari Semarang menuju Prambanan harus naik Kereta Api dari Stasiun di Kaliwungu, Kendal. Karena tidak ada angkutan disebabkan suasana genting maka dari Gedong Bobrok sampai Kaliwungu terpaksa harus ditempuh dengan jalan kaki.

‘’Sepanjang jalan yang kami lewati banyak ranjau dan granat yang sewaktu-waktu bisa meledak. Alhamdulillah kami sekeluarga bisa selamat dan sampai di Stasiun KA Kaliwungu,’’ tutur Kiai Darodji. Dari Kaliwungu, rute yang dilewati harus masuk ke Tjirebon. Dari Tjirebon berhenti di Stasiun Prupuk dan harus berhenti bermalam di tempat itu karena KA menuju Prambanan baru ada esok pagi hari.

Selama di pengungsian di Prambanan, Kiai Badruddin mengajar Agama Islam di Prambanan maupun di Solo. Bahkan karena pada saat itu di Prambanan tidak ada naib (semacam KUA yang bertugas menikahkan orang), Kiai Badruddin diangkat menjadi Naib.

Kiai Darodji menuturkan, ayahnya sebenarnya bercita-cita mendirikan pondok pesantren mengasuh santri. Namun karena situasi keamanan yang tidak memungkinkan memaksa dia dan keluarganya berpindah-pindah tempat tinggal hingga sebelas kali.

Darodji sendiri sempat mengaji Alquran mondok sebentar di Pondok Pesantren AlMuayyad Solo kepada KH Shofawi (ayah KH Abdurrozaq). Selain itu mengaji dan memperdalam kitab-kitab fiqih kepada ayah kandungnya sendiri, Kiai Badruddin.

‘’Tahun 1951 Bapak (Kiai Badruddin) diangkat KH Zubair Kepala Kantor Jawatan Urusan Agama (Jaura) Provinsi Jawa Tengah menjadi penghulu di Kantor Pengadilan Agama yang kantornya di sebelah utara Masjid Kauman Semarang. Dari Solo kembali ke Semarang lagi. Bersama KH Thoyib Thohari selain mendirikan Madrasah Al-Khoiriyah bapak juga mendirikan PGA NU Pungkuran di Kauman,’’ kata Kiai Darodji.

Di Kauman Kiai Badruddin belum punya rumah. Karena itu dia juga bertempat tinggal di Kantor PA Kauman juga. Kalau malam, meja-meja kerja ditata dirapatkan dipakai untuk tempat tidur. Baju kantor dimasukkan ke dalam laci supaya tidak kusut. Untuk tidur cukup memakai sarung dan kaos oblong.

Keluarganya termasuk Darodji masih tetap di Solo. Beberapa tahun kemudia keluarga Kiai Badruddin diboyong ke Semarang. Karena belum punya rumah, mereka menempati satu kamar penginapan (nama penginapanya lupa) di sebelah selatan Masjid Kauman.

Kecintaan pada Ilmu

Pada tahun 1957, Kiai Badruddin pindah lagi ke Salatiga karena menjadi penghulu di Kota itu. Setelah berpindah-pindah tempat sebelas kali, baru punya rumah di Jalan Taman Pahlawan 20 Salatiga, dekat Pasar Kota. Beliau juga diamanati menjadi Rais Syuriah NU Salatiga juga Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah. Di Kota Salatiga, Kiai Badruddin mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) NU Salatiga. Kecintaan beliau terhadap ilmu memang luar biasa. Pada rintisan awal karena sekolah belum mempunyai kelas, lima kamar rumah Kiai Badruddin difungsikan sebagai kelas. Hingga sekarang lembaga pendidikan itu berkembang dengan baik dengan adanya tanah wakaf di Jalan Kartini 2 Kota Salatiga. Bahkan sekarang berkembang dengan membuka SMK Diponegoro.

Agar pendidikan Darodji tidak terbengkalai, ketika Kiai Badruddin pindah ke Solo, Darodji kecil dititipkan adik Kiai Badruddin. ‘’Kalau pagi di rumah Pak Iskandar, kalau malam di rumah Pak Abdullah Utsman,’’ kata Kiai Darodji.

Dia masuk Sekolah Rakyat (SR) Al-Islam Solo. Mungkin karena sebelumnya sudah dididik oleh Kiai Badruddin, di kelas Darodji melompat dari kelas I tidak naik kelas II tapi langsung melompat ke kelas III. Dari kelas III kemudian tidak ke kelas IV tapi langsung kelas V dan akhirnya lulus SR tahun 1956. Selanjutnya masuk SMP Tjokroaminoto, Komples Masjid Kauman. 1959 masuk Sekolah Persiapan (SP) IAIN Yogyakarta (SLTA) dan melanjutkan ke IAIN Yogyakarta hingga meraih sarjana 1965.

Di buku ini H Saliyun Moh Amir menuliskan catatanya, Kiai Darodji tergolong menjadi PNS istimewa. Karena begitu lulus tanpa melalui proses pra-jabatan, magang atau apa istilahnya, dia langsung diangkat PNS, istimewanya lagi jadi Direktur Sekolah Persiapan IAIN Sunan Kalijaga di Semarang.

‘’Ijazah Sarjana Syariah IAIN, terhitung per 1 November 1966 Ahmad Darodji diangkat sabagai PNS dengan pangkat/golongan gaji F/II. Berdasarkan SK Menteri Agama yang sama dia juga diangkat sebagai Direktur SP IAIN “Sunan Kalijaga” Semarang. Nasib baik yang diraih Ahmad Darodji itu menjadikan dia sebagai PNS istimewa’’, demikian catatan H Saliyun Moh Amir.

Kiai Darodji mengakui dua orang yang membantunya di awal-awal menjabat, mulai mengonsep surat, membuat kwitansi hingga tanda tangan, yaitu H Saliyun Moh Amir dan H Thohari. ‘’Alhamdulillah silaturahimnya terbangun sampai sekarang,’’ kata Kiai Darodji.

Pada tahun 1969, pemuda Darodji menyunting Musbandiyah binti Masyhuri. Gadis asli Cepiring Kendal, anak Kepala Desa Podosari. Menariknya, yang menikahkan Darodji bukan ayah Musbandiyah atau wali yang dipasrahi menikahkan, melainkan ayah kandung Darodji sendiri, Kiai Badruddin Honggowongso.

Ceritanya, ayah Musbandiyah, H Masyhuri sudah ‘’pasrah bongkokan’’ kepada KH Ahmad Abdul Chamid untuk menikahkan Musbandiyah dengan Darodji.

Tetapi ketika Kiai Badruddin rawuh ke tempat upacara pernikahan, begitu tawadhuknya Kiai Ahmad kepada kiai yang lebih sepuh sehingga akhirnya tugas menikahkan diserahkan kepada Kiai Badruddin yang tidak lain ayah Ahmad Darodji.

Dari pernikahan itu, Kiai Ahmad Darodji dan Bu Nyai Musbandiyah dikaruniai 5 anak dan enam cucu. Lima anak itu yakni Mohammad Anis Ariyanto, Mohammad Suni Arifianto, Mohammad Fikri Triyanto, Afina Murtiningrum dan Mohammad Fatoni Adiyanto. Sedang enam cucunya yaitu Putri Adara Yasmin, Naura Ra’fah, Najwa, Khalitsa, Mohammad Rafi Ardiyanto dan Mohammad Rafa.

Bersama keluarga Kiai Darodji tinggal di Jalan Wismasari Utara 02, RT 007 RW 003, Kelurahan Ngalian, Kecamatan Ngalian Kota Semarang.

Hingga kini kariernya begitu mulus tidak pernah ada hambatan. Dimulai dari Direktur Sekolah Persiapan (SP) Intsitut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga di Semarang 1966-1973. Inspektur SP IAIN merangkap Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo 1973. Wakil Rektor III IAIN Walisongo danDekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2 periode berturut-turut. Wakil Rektor II, kemudian Wakil Rektor I IAIN Walisongo Semarang.

Karier berikutnya yaitu Wakil Koordinator Kopertais Wilayah X. Anggota DPRD I Provinsi Jawa Tengah 1997-1999. Anggota DPRD I Provinsi Jawa Tengah 1999-2004. Anggota DPR RI 2004-2009.

Selanjutnya Kiai Darodji menjadi Wakil Ketua MUI Provinsi Jawa Tengah dan Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Tengah hingga sekarang. Selain itu  menjadi Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Ketua Umum Yayasan Pusat Kajian Pengembangan Islam (YPKPI) Masjid Raya Baiturrahman Jawa Tengah, Simpanglima Semarang.

Ketua Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Jateng. Kiai Darodji juga aktif di Komda Lansia Provinsi Jawa Tengah, Dewan Pembina Yayasan Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang. Dewan Pengawas Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung (YBWSA) Semarang dan sekitar 15 organisasi yayasan lainnya. Selamat ulang tahun kiai. Panjang umur Happy Birthday.

Agus Fathuddin Yusuf-TRS