blank

Oleh: Wahyu Endang Seyowati

blankPADA hari ini satu tahun yang lalu, tepatnya 11 Zulhijjah 1440 H dalam perjalanan mudik ke kampung halaman untuk berlibur. Kenangan perayaan Idul Adha yang penuh cerita. Dan izinkan kembali saya tulis perjalanan cinta yang sarat makna. Tentang Perempuan dan pengabdiannya, Tentang Idul Adha dan pengorbanan seorang perempuan Jawa.

Melintas siang ini di seputar Malang kota, tepatnya area lapas kelas 1 yang tak jauh dari situ ada depot Kopi Lay yang legendaris. Laju kendaraan sedikit melambat karena ada kerumunan massal di depan lapas. Ada sekitar ratusan lautan manusia yg berjejal di halaman lapas. Kulambatkan laju mobil, dan bertanya ke abang parkir, untuk mencari tahu ada apa gerangan.

“Kunjungan warga binaan Mbak, niki riyoyo tah, antrian panjang” kata abang parkir dengan logat khas malang nya yg ramah.

Lanjut deh ke warung kopi Cak Su yg tiap tetesnya mendorong nurani untuk berbisik syukur dan syukur saking nikmatnya. Yang tiap tegukan kecilnya selalu mengingatkan pada orang orang yang dirindu. Allah Maha Hebat Menciptakan butir kopi dan peraciknya yang pintar.

Fine, minum kopi siang ini terasa beda. Karena saat nyruput tetesan demi tetesan biasanya disertai perasaan cinta. Kali ini lain, karena pikiranku masih dikuasai perasaan kepo dengan pemandangan depan lapas kelas 1 kota Malang. Baiklah, kayaknya perlu turun untuk ikut berjubel bersama lautan manusia tadi. Than, selesai ngopi, kukalungkan kamera digital dan tentu smartphone untuk merekam suara dan suasana.

Ternyata berjubel manusia masih setia di sana, menunggu antrean masuk. Dengan pakaian rapinya, pakaian khas untuk kunjungan lebaran. Siapa yg dikunjungi, tak lain adalah keluarga tercinta. Perempuan mendominasi lautan manusia tsb. Kudekati seorang ibu muda. Ya kira2 30 tahunan. Berdiri di sebelahnya seorang lelaki kecil usia belasan tahun yg ternyata putranya.

Ada perasaan bergetar menyapa hati, ada semacam iba tarasa, beberapa saat bahkan tak mampu berkata kata, hanya mencoba memberikan senyum terbaik yg kupunya.

Tuwi sinten mbak,” sapaku. “Tuwi bapake arek arek, Bu,” jawabnya. Kok mbrungkut bawaannya mbak, tanyaku. “Njih, mumpung riyaya haji, bapake biasane remen opor kalih sambel goreng. Niki kula damelke mendhol, remenane. Kersane dimaem kalih rencang rencang sak sel. Sekalian ajeng sungkem, nyuwun sepura (Mengunjungi siapa mbak, sapa saya. Mengunjungi bapaknya anak anak bu, jawabnya. Kok bawaannya banyak sekali mbak. Ya, ini kan lebaran haji, biasanya suami suka dibuatkan lontong opor dan sambal goreng serta mendhol, makanan khas Malang yang menjadi kesukaan suaminya. Biar dimakan bersama teman temannya satu sel, sekalian saya mau bertemu dan meminta maaf).

“Sudah lama mbak suaminya di sini,” tanyaku. “Sudah tiga tahun mbak, Juli 2035 insya Allah bebas. Didoakan ya Bu biar diampuni Pak Presiden. Biar gak sampai tahun 2035.

Kualihkan pandangan kepada lelaki kecil di samping ibunya. Seneng ya Nang mau ketemu bapak. Dijawab dengan senyum kecil dan anggukan kepala. Sayang ya sama bapak? Banget, jawabnya.

Ada kerisauan yang tergambar di paras polosnya. Ada air bening yg menumpuk di sana untuk dia pertahankan agar tak sampai jatuh mengalir. Cara khas laki laki menjaga wibawa, walau masih belia. Sungguh keren sekaligus macho juga lelaki kecil ini.

Seketika kami duduk dalam diam hingga hampir sepuluh menit. Aku kehabisan kata kata. Kamera yang sudah kusiapkan untuk mengambil gambar suasana, tak mampu kuhidupkan. Tidak tega rasanya mengambil gambar keluarga para tahanan yg tentunya memiliki kisah yg sangat berbeda dengan kita.

Setelah ngobrol kecil tak bermakna untuk mencairkan suasana, lalu aku pamitan.

Pindah ke kerumunan lain. Ketemu perempuan lain dan mendapatkan kisah yg tak jauh beda. Kisah yg mengandung mendung kelabu.

Berat rasa langkah kaki menuju mobil lagi. Suasana lebaran haji di rumah tahanan yang jarang kujumpai. Suasana suka cita di dalam sebuah status mendung yang kelabu.

Duhai…..Keceriaan Idul Adha tak pernah pilih kasih. Menyapa semua insan. Baik yg dalam suasana cerah maupun mendung. Yang dalam kebebasan dan kekangan.

Bahkan kutemukan kesimpulan kecil tentang makna cinta sejati dari keluarga yg baru saja kutemui. Aku belajar pada lelaki kecil bahwa apapun yg terjadi pada bapaknya yang seorang narapidana, yang mungkin seorang pembunuh, penipu, pecandu narkoba atau kasus lainnya, tak menyurutkan cinta anak pada orang tuanya. Ada rindu yang tetap dipupuk. Ada bangga yang tetap menggayut. Apapun status bapaknya, tetaplah seorang bapak yang selalu dia ingin hormati.

Aku juga takjub dengan seorang perempuan muda, sosok perempuan jawa yang begitu bersahaja, yang dengan kesetiaannya, kesabarannya, bakti dan kesungguhan serta naluri kasih sayang yang kuat tetap merasa rindu dan gigih mengabdi semampu yg dia bisa. Kerinduan yang tanpa pamrih. Ketangguhan di masa yang begitu sulit. Masakan kesukaan suami hadir sebagai bukti kecil bakti seorang istri. Bisa jadi suaminya pernah menjadi orang yang kurang baik di mata masyarakat, namun tetaplah suami yang merupakan sosok utama untuk berbakti.

Masih begitu jauh waktu untuk mereka bersama. Sungguh suatu pengorbanan yang indah dalam perayaan Idul qurban yang istimewa. Optimisme juga tergambar jelas dalam harapan perempuan ini. Dia tidak peduli dan tidak berfokus pada waktu yang masih cukup lama untuk ditempuh demi mendampingi menuju kebebasan suami tercinta, namun sebaliknya, inilah perempuan yang fokus pada proses, perjalanan yang tidak mudah namun tetap dijalani dengan indah.

Dan kunjungan indah di lapas sore itu bolehlah kuberi nama Kunjungan Rindu Tanpa Pamrih. Boleh jadi mereka berada dalam mendung kelabu, namun tetap dirasa indah. Dalam balutan I’edul Adha yang penuh berkah. Dari jauh terdengar suara takbir yang berkumandang dengan syahdu. Memberikan ketenangan jiwa bagi siapapun tak pilih kasih, memberikan rahmat bagi seluruh alam raya.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallah wallahu akbar
Allahu Akbar Walillahil hamd

Wahyu Endang Seyowati, Dosen Departemen Keperawatan Jiwa FIK Unissula, Pemerhati Kesehatan Jiwa Perempuan