blank

Oleh Widiyartono R.

blankSUATU siang, sudah sekian belas tahun lalu, kebetulan saya di rumah, telepon berdering. Suara merdu perempuan menyapa, “Selamat siang Pak. Kami dari koran X, ingin mewawancarai Bapak. Menurut Bapak dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia, bagaimana posisi kota Semarang?”

Ya, di Semarang pernah terbit sebuah koran selalu melakukan poling. Pengambilan sampel tentu secara acak, dan saya menduga si Mbak tadi mendapatkan nomor rumah saya dari buku telepon. Saya bukan pengamat masalah perkotaan, saya bukan bisnisman. Dan, tentunya, si Mbak juga tidak tahu kalau saya seorang wartawan. Dan, pertanyaan itu pun saya jawab, tentunya dengan versi dan pemahaman saya, dan mungkin rada-rada ngawur juga.

“Dibandingkan Surabaya, Semarang sudah terlambat 10 tahun. Dibandingkan dengan Jakarta makin jauh, ketertinggalannya 20 sampai 25 tahun,” jawab saya.

Saya jadi ingat, tahun 1980, bersama teman-teman SMA berwisata ke Jakarta. Sumaedi, teman saya yang sekarang jadi pejabat di Wonosobo terpeleset hampir jatuh ketika menaiki tangga berjalan (eskalator) di Senen. Sedangkan di Semarang, kayaknya, eskalator pertama baru di Mickey Morse Simpanglima tahun 80-an.

Begitu pula hal yang sama di Surabaya sudah ada jauh sebelum Semarang ada. Lihat saja dulu Gedung Siola sudah top bukan main, kemudian berkembang kini, Tunjungan sangat luar biasa.Belum lagi tempat keramaian lainnya. Tugu Pahlawan, amboi….. sejuk sekali, dengan monumen sejarah di dalamnya, dan tanamannya terjaga sekali.

Tentu saja, Semarang sekarang jauh lebih baik dibandingkan 15 tahun lalu. Meskipun banjir nggak hilang-hilang juga. Tetapi kota semakin indah, menarik, dan sejuk karena banyak taman.

Suatu saat, pada tahun April 2006, media tempat awal saya bekerja, koran sore WAWASAN menyerahkan penghargaan sebagai Person of The Year kepada Pak Mardiyanto, Gubernur Jawa Tengah. Setelah penerimaan penghargaan, Pak Mardiyanto tampil dalam dialog interaktif yang ditayangkan langsung TVRI Jawa Tengah, bersama Ir Budi Santoso, Ir Budi Dharmawan, dan bos jamu SidoMuncul Irwan Hidayat.

Yang menarik di sana, Pak Mardiyanto menyebut, Jawa Tengah memang masih tertinggal dibandingkan provinsi lain. Tahun 1998, ketika Mayor Jenderal TNI Mardiyanto menjabat Pangdam IV/Diponegoro, menghadiri peresmian pengoperasian crane di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. “Di Tanjung Perak Surabaya, crane semacam itu sudah dioperasikan 12 tahun sebelumnya,” ujar Pak Mardiyanto.

Lalu Pak Budi Santoso menyebut, Jawa Tengah tertinggal ketika Blok Cepu menjadi topik. Sementara Jawa Timur sudah bergerak, Jateng masih tenang-tenang. Untunglah, semuanya bisa terkejar. Senator (angggota DPD) dari Jateng kala itu, Ir Budi Santoso dan kawan-kawannya menyampaikan aspirasi kepada Presiden, karena Jawa Tengah sepertinya ora dianggep. Setelah itu para gubernur dipertemukan, lalu dicapai kesepakatan soal Blok Cepu.

Mengejar Ketertinggalan

Tahun 2005-2006 merupakan tahapan peningkatan daya saing bagi Jawa Tengah. Dan, pada tahun itu kata Pak Mardiyanto, merupakan saat untuk memforsir percepatan insfrastruktur untuk menangkap peluang investasi. Ada ungkapan yang menarik dari Pak Mardiyanto. “Jawa Tengah harus mengejar ketertinggalan,” katanya.

Nuwun sewu barangkali saya bisa dianggap murang tata. Tetapi ungkapan “mengejar ketertinggalan” itu memang tidak pas. Karena kita suka mengejar ketertinggalan, maka Jawa Tengah selalu tertinggal dari daerah lain. Dan, Indonesia pada umumnya, karena suka mengejar ketertinggalan jadi selalu tertinggal dibandingkan negara lain.

Ibarat Valentino Rossi yang sudah hampir mencapai finis, tiba-tiba dia ingin mengejar ketertinggalan, lalu memutar motor balapnya tidak menuju ke garis finis, tetapi justru ke arah start, karena ingin mengejar ketertinggalan.

Kita memang jangan mengejar ketertinggalan, karena yang ingin kita kejar adalah kemajuan. Penggunaan bahasa yang tidak tepat itu memang kemudian sering nguwalati. Seperti saya pernah tulis sebelumnya, pabrik ekstasi terbesar di dunia ditemukan di Indonesia, kenapa? Karena kita punya BNN (Badan Narkotika Nasional) yang dipimpin seorang Komisaris Jenderal Polisi.

Badan Penanaman Modal, tugasnya adalah mengupayakan bagaimana agar investasi masuk sebanyak-banyaknya. Lha kalau Badan Narkotika Nasional, logikanya, ya mengupayakan agar peredaran narkoba bisa sukses di Indonesia. Mestinya kan bukan Badan Narkotik Nasional, tetapi Badan Anti-Narkotika Nasional atau BANN. Ini cuma othak-athik, tetapi nyatanya gathuk kok.

Jawa Tengah memang jauh tertinggal. DKI, Banten, Jabar sudah punya jaringan jalan tol berpuluh kilometer. Jawa Timur jalan tol sudah merambah ke mana-mana. Sedangkan Jawa Tengah, waktu itu tahun 2006,  baru punya Kaligawe-Srondol-Krapyak di Semarang. Belum genap 30 km. Mau membangun jalan tol Semarang – Solo saja didemo-demo.

Surabaya sudah punya Bandara Internasional sejak lama, Jawa Tengah baru saja, itu pun masih belum paripurna. Saya mimpi pesawat-pesawat berbadan lebar mendarat di Ahmad Yani, seperti MD 11 atau Airbus 300, seperti halnya di Juanda atau bahkan Ngurah Rai. Tetapi maaf, Jateng memang masih harus “mengejar kemajuan” dan harus memforsir diri (istilah Pak Mardiyanto).

Bahasa menunjukkan bangsa. Kalau bahasanya berantakan, juga melambangkan negeri ini sedang berantakan. Apalagi sekali, istilah asing banyak sekali kita temui, terlebih di era pandemi covid-19 ini. Dan, bahasa asing itu serasa sudah kita anggap sebagai milik sendiri. Lock down, rapid test, swab test, suspect, social distancing, physical distancing, work from home, Polymerase Chain Reaction, dan banyak lain. Kita memakai bahasa asing tetapi melupakan bahasa sendiri. Ini namanya mengejar ketertinggalan… ***

Widiyartono R, wartawan SUARABARU.ID, guru jurnalistik.