blank
Janur yang dijual para bakul  di pasar-pasar Blora, banyak yang didatangkan dari luar daerah, ada dari Rembang, Pati, Kebumen, Kendal, Tuban dan wilayah Jatim lainnya Foto :  SB/Dok/Wahono

BLORA (SUARABARU.ID) – Lebih dari 12 tahun Blora langka janur. Sulitnya warga mencari daun kelapa warna kuning, lantaran tanaman kelapa di kabupaten penghasil kayu jati kualitas terbaik di dunia ini banyak yang mati diserbu hama kwangwung.

Bagi masyarakat Blora janur indentik dengan Syawalan (bada kupat). Meski dalam situasi pandemi covid-19, tradisi turun temurun dari nenek moyangnya itu, tetap dilestarikan banyak warga dengan prosesi membuat kupat (ketupat) dan kue lepet.

blank
Banyak masyarakat Blora yang masih mempertahankan tradisi Syawalan dengan membuat kupat (berbahan beras) dan lepet (berbahan beras ketan plus kelapa) dibungkus daun kelapa kuning (janur). Foto : SB/Wahono

“Pohon kepala di desa-desa mati berindhil, banyak yang mati, warga disini sulit cari janur,” beber Kartono (56), warga Desa Kedungringin, Kecamatan Tunjungan, Blora, Jumat (29/5/2020).

Untuk bisa menguri-uri tradisi kupatan (Syawalan, Red), lanjut tokoh masyarakat Kedungringin itu, keluarganya dan para tetangga mencari janur dengan cara membeli di Pasar Kecamatan Ngawen atau Pasar Gabus Blora.

“Di desa saya dan desa lainnya, sudah tidak ada pohon kelapa, lantas warga harus ke pasar membeli janur untuk selongong kupat-lepet,” tambah Kartono.

Maskuri (66), warga Kelurahan Jepon, Kecamatan Jepon, Blora, mengaku susah mencari janur untuk prosesi Syawalan di wilayah Jepon. Janur untuk selongsong kupat lepet, didapat dengan membeli di Pasar Rakyat Jepon dan Pasar Gabus.

“Sudah sekitar 12 tahun di Jepon tidak ada janur, jarang ada pohon kelapa, adanya ya beli di pasar,” kata pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) itu.

Tanam Massal

Diperoleh informasi, warga pedesaan di Kecamatan Ngawen, Kunduran, Jiken, Randublatung, Jati, dan kecamatan lainnya di Blora, juga sulit cari janur. Kondisi langka janur sudah terjadi bertahun-tahun.

Sementara itu pengamat pertanian di Blora, Sudarwanto, membenarkan pohon kelapa sudah jarang tumbuh di kabupaten dengan 16 kecamatan dan 295 desa-kelurahan, karena pohon kalapa banyak rusak.

blank
Banyak masyarakat Blora yang masih mempertahankan tradisi Syawalan dengan membuat kupat (berbahan beras) dan lepet (berbahan beras ketan plus kelapa) dibungkus daun kelapa kuning (janur). Foto : SB/Wahono

Jika ada pohon kelapa, lanjutnya, paling jenis kelapa pendek dan daunnya berindhil atau rusak dimakan hama. binatang (hama) Binatang kwangwung adalah hama pembunuh nomor satu pohon kelapa.

Menurut Sudarwanto, serangan hama kwangwung sangat masif di seluruh Blora, terjadi sejak 12 tahun lalu. Dinas Pertanian juga sudah menanam secara massal, memberi bibit gratis di desa-desa, namun hasilnya belum tampak.

“Saat ini desa-desa di Blora masih langka pohon kelapa, setelah serangan hama kwang-wung yang mengganas sejak 12 tahunan lalu,” kata pengamat pertanian yang pernah belajar mekanika pertanian modern di Jepang

Menurut Sudarwanto, hama kwang-wung jarang menyerang tanaman kelapa di daerah pantai seperti Kabumen, Rembang, Pati, Juwana, Tuban, Bayumangi, karena hama itu tidak tahan udara asin atau bau garam air laut.

Pantauan di pasar-pasar wilayah Blora, Syawalan 1441 Hijriyah, janur-janur membanjiri pasar di Blora datang dari luar daerah, perikat sekitar 50 lembar dijual 30.000.000 sampai Rp 40.000 dan satu selongsong ketupat seharga Rp 1.000.

Sebelumnya Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupatern Blora, Reni Miharti, membenarkan populasi pohon kelapa di daerahnya berjalan lamban, hasil penanaman massal yang baru belum tampak hasil.

“Untuk populasi tanaman kelapa, Blora kalah jauh dibanding Rembang, Pati, Tuban, dan daerah pantura yang aman dari hama kwangwung,” kata Reni.

Pemkab melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, sejak enam tahun lalu sudah mengembangkan program tanaman kelapa di pedesaan, dan memberi bentuan bibit gratis kepada kepada warga.

Wahono-trs