blank
Predator terumbu karang Mahkota Berduri ( Foto : TNKj - Dr Emma Kennedy)

Oleh : Hadi Priyanto

blankATAS usulan Gubernur Jawa Tengah, pada tahun 1986 Karimunjawa ditetapkan menjadi kawasan Cagar Alam Laut dan kemudian pada tahun 1988, sebanyak 22  pulau dan kawasan perairan seluas 111.625  ha ditetapkan menjadi Taman Nasional Karimunjawa.  Selanjutnya untuk mencari jalan tengah atas konflik pemanfaatan pada tahun 2000 diterbitkan Surat Keputusan Bupati Jepara  tentang penataan batas kawasan konservasi perairan Taman Nasional.

Baru pada tahun 2001, kawasan Taman Nasional Karimunjawa  seluas 110.117 ha ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai Kawasan Pelestarian Alam Perairan, tanpa memasukan  pulau  Sambangan, Cendekian, Gundul, Seruni   dan pulau Genting.

Luas kawasan Taman Nasional Karimunjawa itu  terbagi menjadi tiga kawasan, yaitu wilayah daratan berupa ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah seluas 1285.5 ha, wilayah daratan berupa ekosistem hutan mangrove seluas 222.2 ha, dan wilayah perairan sebagai Kawasan Pelestarian Alam(KPA) seluas 110.117,3 ha.

Total luas kawasan pelestarian yang mencakup daratan dan perairan adalah 111.625 ha. Tentu  tidak mudah mengelola dan merawat  ekosistem kawasan dalam rangka konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya  yang oleh undang-undang diberikan kepada  Balai Taman Nasional Karimunjawa.

Oleh sebab itu, berdasarkan Keputusan Direktur  Jenderal PHKA tahun 2012 dilakukan pembagian zonasi kawasan yang terdiri dari kawasan inti seluas 444,629 ha, kawasan rimba seluas 1451,767 ha, dan kawasan  perlindungan bahari 2.599,770 ha. Sedangkan  zona pemanfaatan darat 55,003 ha, zona pemanfaatan wisata bahari seluas 2.733,735 ha, zona budidaya bahari 1.370,729 ha dan zona relegi, budaya dan sejarah seluas 0,859 ha, zona rehabilitasi seluas 68,329 ha dan zona tradisional perikanan  seluas 102.899,249 ha.

Zona inti yang mutlak harus dilindungi berada disebagian Pulau Kumbang, perairan Taka Menyawakan, Taka Malang, perairan Tanjung Bomang. Kawasan ini tidak boleh berubah karena aktivitas manusia dan  tertutup sama sekali untuk kegiatan  pariwisata. Kegiatan yang diperbolehkan hanya yang terkait dengan penelitian, pendidikan,pemantauan potensi, perlindungan dan pengamanan.

Juga zona perlindungan bahari, yang diperuntukkan untuk  melindungi zona inti berada di perairan P. Sintok, Gosong Tengah, P. Bengkong bagian utara, . Cemara Besar bagian selatan, P Cemara Kecilbagian utara, P. Geleang, P. Burung, perairan P. Menjangan Kecil, Timur P. Nyamuk, perairan Karang Kapal,  Karang Besi bagian selatan, krakal besar bagian utara, Gosong Kumbang, ;P. Kembar dan Gosong Selikur. Zona ini hanya dibuka untuk kegiatan yang terkait  ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan dan pemanfaatan terbatas dengan perijinan khusus.

Baca Juga: Ancaman Karimunjawa (1): Air Bersih Menjadi Persoalan Utama

Sementara zona pemanfaatan wisata bahari  terdiri dari P. Menjangan Besar, P. Menjangan Kecil, perairan P.  Menyawakan, perairan P. Kembar, perairan sebelah timur P.Kumbang, perairan  P. Tengah, perairan P.  Bengkoang sebelah selatan, Indonor, perairan P. Cemara Besar bagian utara, perairan Tanjung Gelam, perairan P. Cemara Kecil bagian utara, perairan.P Katang, perairan Krakal Besar bagian selatan, perairan Krakal Kecil dan perairan P. Cilik. Namun dikawasan ini yang boleh dikembangkan hanya wisata bahari dan wisata alam yang benar-benar ramah lingkungan.

blank
Terumbu karang di Perairan Karimunjawa dan merupakan habitat ikan.(Foto: dok)

Sedangkan zona rehabilitasi berada perairan sebelah timur P. Parang, perairan sebelah timur P. Nyamuk,perairan sebelah barat P. Kemujan,dan perairan sebelah barat P. Karimunjawa. Untuk zona tradisonal perikanan meliputi seluruh perairan diluar zonasi yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Sementara zona budidaya bahari ada di perairan P. Karimunjawa, perairan P. Kemujan, perairan P. Menjangan Besar, perairan P. Nyamuk, dan perairan P. Karang Besi bagian utara.

Menjaga Rumah Ikan

Karimunjawa secara geografis letaknya cukup dekat dengan pulau Jawa yang memiliki kepadatan penduduk dan aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pulau lainnya, Taman Nasional  Karimunjawa juga memiliki keunikan tersendiri. Sebab didalam  terdapat lima tipe ekosistem yaitu hutan hujan tropis dataran rendah, hutan pantai, hutan bakau, ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang..

Namun diantara kelima ekosistem tersebut, terumbu karang yang berdasarkan citra satelit luasannya mencapai  7487,55 ha,  merupakan ekosistem utama yang memiliki daya tarik wisata sekaligus   sumber penghidupan nelayan. Sebab terumbu karang yang berdasarkan citra satelit luasannya mencapai  7487,55 ha, merupakan rumah nyaman bagi   ikan untuk berkehidupan dan juga bagi  biota laut lainnya. Terumbu karang juga  berfungsi sebagai pelindung utama  dari gelombang dan abrasi,  sumber plasma nutfah, sumber bahan baku obat, serta sumber ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat untuk pengembangan pendidikan.

Ekosistem terumbu karang di Karimunjawa terdiri dari 69 genera karang yang termasuk dalam 14 famili ordo scleractinian dan 3 ordo non scleractinian. Sedangkan jenis yang mendominasi kawasan ini adalah genera Acropora dan genera Porites dan sebagian berada dikedalaman 1-5 m.

Namun tidak mudah menjaga dan mengelola ekosistem terumbu karang. Sebab harus memadukan upaya konservasi sumber daya alam dengan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Tujuannya agar masyarakat dapat memanfaatkan kelestarian alam itu untuk meningkatkan kesejahteraannya.  Bukan saja untuk masa kini, tetapi juga untuk generasi  yang akan datang.

Melihat potensi yang ada di Karimunjawa, walaupun kawasan bukit dan hutan juga memiliki daya tarik, namun  daya tarik utama pariwisata di Karimunjawa adalah wisata bahari. Sedangkan aktivitas yang disukai wisatawan adalah  snorkeling, diving dan perjalanan laut. Dengan tingkat kunjungan wisatawan yang terus meningkat hingga mencapai 147 ribu lebih pada tahun 2019, menjaga kelestarian alam di Karimunjawa menjadi persoalan yang tidak mudah. Apalagi ada kecenderungan yang berkembang di Karimunjawa adalah wisata massal dengan tingkat kesadaran pengelolaan sampah  yang relatif rendah.

blank
Sebagian terumbu karang mulai rusak akibat terkena jaring perahu, kapal, obat-obatan, atau sebab lain.(Foto: dok)

Persoalannya menjadi serius karena pelaku wisata dan wisatawan sering kali abai saat menikmati dan memanfaatkan pesona bawah laut yang  tercipta ratusan tahun yang lalu. Karena minimnya kesadaran dan pengetahuan, kehadiran mereka justru merusak ekosistem terumbu karang. Mereka sering kali duduk atau menginjak terumbu karang hingga patah. Juga  kibasan sepatu renang yang bisa membuat terumbu karang terluka dan kemudian mati. Belum lagi berbagai jenis sampah   yang ditinggalkan. Seringkali, hanya untuk mendapatkan foto selfi dengan koloni ikan abudefduf, wisatawan meletakkan botol plastik  yang telah dilubangi  berisi nasi atau roti disela terumbu karang dan kemudian meninggalkannya. Padahal memberi makan ikan pada kawasan konservasi seharusnya dilarang.

Pemandu selam dan pemandu wisata yang jumlahnya kini mencapai kurang lebih  200 orang juga belum tersertifikasi menjadi pemandu dikawasan konservasi, walaupun telah dilakukan pelatihan tingkat dasar. Apalagi dengan jumlah wisatawan yang banyak, sehingga pemandu selam tidak bisa mengawasi dan mengedukasi  secara langsung aktifitas snorkeling.

Letak geografis Karimunjawa yang terletak dijalur pelayaran  padat juga bisa saja menjadi ancaman. Walaupun Karimunjawa telah masuk dalam  Peta Pushidros  yang dikeluarkan oleh TNI AL  untuk kepentingan keselamatan pelayaran serta memiliki dua tempat tambat kapal di Karimunjawa dan Legon Bajak berdasatrkan SK Menteri Perhubungan, kasus kapal dan perahu kandas masih saja terjadi. Sebab Karimunjawa telah dikenal sebagai kawasansandar kapal yang aman dan terlindung dari hantaman gelombang saat  musim baratan tiba.  Apalagi dengan keberadaan PLTU Tanjungjati B yang suplay bahan bakar  batu bara diangkut  dari berbagai pulau di luar Jawa. Tentu  melewati perairan Karimunjawa.

Kasus kerusakan terumbu karang  di pulau Tengah  seluas hampir 755 m2  tahun 2017 akibat ditabrak 11 kapal penarik  tongkang batu bara  adalah contoh nyata. Juga 2 kasus pada tahun 2018.  Walaupun mereka tidak boleh memasuki kawasan taman nasional, tetapi dengan alasan keselamatan jiwa, apapun akan dilakukan oleh ABK. Bahkan bisa  saja mereka  bersandar tanpa ijin Syahbandar. Kasus kerusakan ini,  walaupun telah diselesaikan di Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan kawajiban membayar denda sebesar Rp. 7,16, milyar,  terumbu karang Karimunjawa tetap saja tercabik-cabik karena veesel grounding (kapal kandas). Sedangkan untuk proses pemulihan diperlukan waktu puluhan tahun.

Kerusakan terumbu karang juga bisa terjadi akibat penangkapan ikan. Apalagi Karimunjawa  menjadi salah satu pusat perikanan di Jawa Tengah. Karena itu kawasan ini menjadi kue manis bukan saja bagi nelayan Karimunjawa tetapi juga dari wilayah lain. Persoalannya adalah pola penangkapan yang digunakan, utamanya jenis pelagis kecil yang sering kali menggunakan alat atau bahan yang bisa merusak ekosistem terumbu karang.

Penataan pola pengelolaan pantai juga belum sepenuhnya memperhatikan kelestarian ekosistem terumbu karang. Ada sejumlah kawasan pantai yang dikelola namun tidak memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian alam dan bahkan bertentangan dengan konsep wisata alam dan eko turisme. Ada juga bangunan yang tidak mengikuti kaidah sempadan pantai wilayah konservasi.

Belum lagi tidak adanya pola pengelolaan limbah cair di Karimunjawa, membuat semua terbuang ke laut. Baik secara langsung maupun melalui tanah. Termasuk air limbah kolam renang dan air dari hotel  yang bukan lagi jenis air netral. Limbah yang dibawa gelombang dari luar pulau Karimunjawa juga jumlahnya tidak sedikit.

Ancaman terhadap ekosistem terumbu karang juga muncul karena sedimentasi, asupan unsur hara dari pemukiman, limbah budidaya udang maupun limbah kapal. Juga sampah laut berupa ghost netatau peralatan penangkap ikan yang kemudian  menjadi sampah dan menjerat terumbu karang. Juga pemanasan global dan pasang surut perairan yang sangat mempengaruhi ekosistem terumbu karang.

Disamping itu berkembangnya predator alami yaitu mahkota berduri atau bulu seribu juga merupakan ancaman bagi terumbu karang. Juga    alga yang berkembang karena ikan ijo atau kakatua yang dikenal sebagai pemakan alga menurun jumlahnya karena ditangkap nelayan. Karena harganya  murah, ikan ini justru hanya untuk ikan bakar.

Sementara, dalam penataan zonasi cenderung berubah-ubah. Paling tidak sejak awal telah dilakukan tiga kali perubahan dan revisi zonasi. Pada awalnya Taman Nasional Karimunjawa hanya memiliki 4 zonasi yang kemudian berubah menjadi tujuh  zonasi dan terakhir pada tahun 2012 ditetapkan menjadi sembilan zonasi.

Karena itu, dalam penyusunan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Karimunjawa dan sekitarnya, perlu mempertimbangkan evaluasi zonasi sehubungan dengan dinamika kawasan konservasi. Disamping itu,Rencana Detail Tata Ruang Karimunjawa perlu segera dihadirkan dengan memperhatikan aspek konservasi, Sebab  mengejar pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dengan mengabaikan aspek  konservasi, senyatanya sama  dengan menghancurkan masa depan Karimunjawa. Sebab jika kerusakan terumbu  terus terjadi, Karimunjawa akan kehilangan daya tarik utamanya.

Oleh sebab itu, kawasan konservasi baik yang berada di daratan dan  lautan Karimunjawa   harus dijaga dengan kekuatan dan kepastian hukum demi menjaga kelestarian ekosistem yang  ada, untuk masa depan bangsa.

Penulis adalah Wartawan suarabaru.id