blank
Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H. resmi mendapat gelar Doktor

SEMARANG-Globalisasi membawa perubahan gaya hidup. Terutama bagi generasi milineal zaman now (sekarang). Pesatnya perkembangan teknologi membawa arus informasi demikian cepatnya. Sesuatu yang baru menjadi incaran. Akan tetapi berita, sejarah, cerita yang telah lampau menjadi sebuah masa lalu yang enggan untuk dijamah. Padahal dari sejarah kita dapat memetik hikmah dan pelajaran berharga. Meminjam istilah Presiden RI Pertama, Ir Soekarno, yang mengatakan jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah). Bahkan kitab suci Al-Qur’an, sebagian besar isinya adalah sejarah.

Ironinya, generasi zaman now nampaknya enggan untuk mempedulikan sejarah.  Terutama sejarah bangsa sendiri. Sejarah perjuangan bangsa hingga kemerdekaan Indonesia. Sejarah para founding fathers kita  dalam rangka mempertahankan kemerdekaan bangsa dari rongrongan pihak-pihak yang hendak merebut kembali kemerdekaan. Rongrongan juga datang dari penghianat yang hendak mengambil keuntungan sendiri dan kelompoknya. Tanpa mempedulikan kepentingan rakyat dan keselamatan bangsa.

Hal tersebut nampak dari sebuah pernyataan dalam sebuah pelatihan yang terlontar dari seorang profesor  Perguruan Tinggi Negeri (PTN) nomor wahid di negeri ini.  Ia menuturkan keheranannya atas ketidaktahuan generasi zaman now yang diwakili mahasiswanya akan Hari Kebangkitan Nasional. Apalagi sejarah di balik itu.

Mahasiswa PTN terkemuka ini tentunya merupakan mahasiswa pilihan sejagad Indonesia. Pintar, cerdas dan beruntung telah terpilih menjadi mahasiswa di universitas favorit dan terbaik melalui seleksi yang super ketat secara nasional.

Sang profesor ini pun tak habis pikir ada apa dengan generasi muda zaman now yang dangkal sekali pemahaman pengetahuannya tentang sejarah bangsa sendiri. Beliau pun melanjutkan dalam sebuah sesi ujian mata kuliah tertentu (sebut saja, Pendidikan Kewarganegaraan) dari 100 mahasiswanya hanya 2 orang yang bisa menjawab pertanyaan tentang Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei ini.

Senada dengan info di atas, mahasiswa lainnya pun tak banyak yang tahu ketika saya bertanya tentang salah satu peristiwa sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa yang telah “menguji” ideologi Pancasila dengan gugurnya 7 Pahlawan Revolusi. Peristiwa Pengkhianatan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia Tahun 1965 (untuk selanjutnya disingkat G 30 S PKI).  Ironinya, komentar mereka sungguh di luar dugaan dan lebih bernuansa politis dibanding fakta sejarah yang mengemuka di balik peristiwa tersebut.

Ketika saya lanjutkan bertanya lebih detil tentang kronologis,  korban para pahlawan revolusi dan pengetahuan latar belakang yang melatarbelakangi peristiwa tersebut, mereka hanya diam seribu bahasa. Artinya mereka lebih tertarik mengamati komentar orang lain dalam media sosial atas peristiwa G S PKI tanpa terlebih dahulu berusaha mengetahui peristiwa tersebut, menyerap informasi secara mendalam, obyektif, arif dan bijaksana. Nampaknya kemampuan analisis mahasiswa zaman now perlu dilatih.

Dialog singkat di awal kuliah Pendidikan Kewarganegaraan ketika membahas bab ideologi inipun membuat saya akhirnya menayangkan film G 3 S PKI. Ini merupakan trik jurus melawan lupa akan peristiwa G 30 S PKI yang telah menorehkan sejarah kelam perjalanan bangsa anak negeri.  Film yang berdurasi 3 jam 37 menit 15 detik ini ditayangkan di beberapa kali pertemuan. Tentunya tidak ditayangkan secara utuh. Mengingat keterbatasan waktu. Dengan disisipi berbagai pertanyaan dan diskusi terkait materi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.

Di akhir kuliah saya berusaha memberikan feed back terhadap pemahaman mereka terhadap peristiwa sejarah Penghianatan G 30 S PKI ini. Metode penyampaian materi melalui audio visual menonton film ini nampaknya cukup memberikan hasil positif. Terdapat perbedaan sikap dan jawaban dari mahasiswa yang semula “menolak” menjadi lebih arif dalam menanggapi.

Jurus melawan lupa dengan menyaksikan film Pengkhianatan G 30 S PKI ini tentunya bukan tanpa alasan. Prof. Dr. Nugroho Notosusanto selaku editor yang menyusun ide dan garis besar cerita bersama Amrin Imran; Rokhmani Santoso; Sutopo Sutanto; dan Suranto Sutanto merupakan tim yang bekerja ekstra keras melakukan riset mendalam sebelum film ini dibuat skenario oleh Arifin C. Noer. Riset juga dilakukan dengan melibatkan saksi pelaku atas peristiwa yang melatarbelakangi.

Animo mahasiswa ketika melihat film G 30 S PKI beragam. Ada yang sangat antusias namun ada juga justru menolak dengan bahasa tubuh yang enggan melihat film tersebut. Film G S PKI yang telah melalui riset sekian tahun dan akhirnya sutradara memfilmkannya cukup memberikan gambaran kronologis latar belakang sejarah di balik peristiwa tersebut.

Film diawali lokasi monumen Pancasila Sakti lengkap dengan patung ketujuh Pahlawan Revolusi beserta  sumur lubang buaya dan relief di dinding museum kekejaman PKI saat mengeksekusi para para Pahlawan Revolusi. Adegan di museum lubang buaya diakhiri dengan sumur kecil tempat para Pahlawan Revolusi dikuburkan oleh PKI dengan sebuah pernyataan yang berbunyi, “Cita-cita perjuangan kami untuk menegakkan kemurnian Pancasila, tidak mungkin dipatahkan hanya dengan mengubur kami dalam sumur ini.”

Aksi-aksi kekejaman PKI sebelumnya dalam sejarah Indonesia juga dimunculkan dalam film ini. Antara lain, ketika ribuan orang PKI menyerang jamaah seusai sholat subuh dan menginjak-injak kitab suci Al-Qur’an di sebuah Islamic Center di desa Kanigoro, Kediri, Jawa Timur pada tanggal 13 Januari 1965. Kemudian dilanjutkan dengan bukti klipingan koran yang memberitakan beberapa tindakan sadis PKI di beberapa wilayah di Indonesia. Lengkap dengan informasi tanggal dan lokasi kejadian. “Ipda S. Soedjono Tewas, Kepalanya Petjah Ditjangkul,” tulis judul salah satu kliping koran.

Latar belakang sosiologis juga cukup digambarkan dalam film ini. Mulai dari kemiskinan yang melingkupi sebagian besar rakyat Indonesia. Digambarkan dengan antri membeli minyak tanah dan kelangkaan beras melalui dialog salah satu keluarga.

Kondisi sakitnya Ir. Soekarno pemimpin besar revolusi yang juga Presiden pertama Indonesia  pun digambarkan secara gamblang dalam film tersebut.  Tim medis dari RRC dalam salah satu dialog dengan D.N. Aidit, hasil analisis medisnya menyimpulkan sakit Bung Karno dengan dua kata singkat, yakni dapat menyebabkan kelumpuhan atau kematian. D.N. Aidit ini  dalam film ini kemudian dikenal sebagai lakon utama di balik peristiwa Pengkhianatan G 30 S PKI dan terbunuhnya para Pahlawan Revolusi.

“Jika presiden sakit, maka negara ikut sakit,” kata Aidit dalam sebuah dialog di film tersebut. Kondisi sakit permimpin nomer satu negeri ini dimanfaatkan oleh beberapa pentolan PKI  untuk membuat isu “Dewan Jenderal’. Hingga akhirnya terbunuhnya para jenderal putra terbaik bangsa dan dikubur dalam sebuah sumur di lubang buaya.

Minimal dari film tersebut kita bisa melihat latar belakang sosiologis yang ditandai dengan kemiskinan rakyat Indonesia, presiden yang sedang sakit yang kemudian didaulat negara pun ikut sakit, semakin memuluskan PKI menjalankan rencananya. Berbagai rapat internal pentolan PKI di tanggal sebelum peristiwa 30 September 1965 tertulis jelas di film tersebut. Hingga hari “bertindak” pun (30 September 1965) ditayangkan dari kediaman 7 Pahlawan Revolusi (Jenderal Ahmad Yani, Jenderal R. Soeprapto, Jenderal M.T. Harjono, Jenderal S. Parman, Jenderal D.I. Panjaitan, Jenderal Soetojo Siswomihardjo, Perwira Pertama Pierre Tendean). Turut pula gugur dalam peristiwa tersebut putri Jenderal Abdul Haris Nasution, Ade Irma Suryani.

Para isteri pahlawan revolusi, anak-anak mereka, dan penghuni rumah lainnya menjadi saksi proses pembunuhan atau diculik para jenderal ini. Jenderal A. Yani ditembak mati di depan anak laki-lakinya. Demikian pula dengan Jenderal D.I Panjaitan yang ditembak di bagian belakang kepalanya oleh PKI di teras depan rumahnya yang disaksikan oleh Catherine, putri beliau. Isteri salah satu Pahlawan Revolusi pun menjadi saksi suaminya ditembak mati hingga ia sendiri yang membersihkan genangan darah suaminya di lantai dan pintu kediaman mereka dan berbagai kebiadaban PKI tergambar dalam film ini. Termasuk penyiksaan dan eksekusi kepada para Pahlawan Revolusi di lubang buaya. Dengan diiringi tarian genjer-genjer dari Gerwani, 4 Pahlawan Revolusi mengalami penyiksaan yang luar biasa sadisnya. Sementara 3 Pahlawan Revolusi sudah ditembak mati di kediaman masing-masing.

Potret kebiadaban komunis juga ditorehkan pada sejarah dunia. Dalam tulisannya, Adian Husaini (Republika, 17/9/2018), tokoh komunis dunia, Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870- 1924) menyatakan: “Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah.” Satu lagi tulisannya: “Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang.”

Adian Husaini melanjutkan Lenin bukan menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjutkan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987).

Kembali menyoal fakta sejarah yang ditampilkan di film Pengkhianatan G 30 S PKI  diakhiri dengan proses pengangkatan jenazah para Pahlawan Revolusi dari sumur tua dan sempit di lubang buaya. Jenazah ketujuh Pahlawan Revolusi diangkat oleh tim amphibi. Beberapa petugas yang berada di sekitar sumur terlihat dalam film itu menutup hidung mereka. Terlihat pula lalat yang hinggap di jari salah satu jenazah. Ini menunjukkan bagaimana kondisi jenazah. Ditambah dengan penyiksaan sebelum dimasukkan dalam sumur di lubang buaya ini.  Pemirsa ditampilkan secara utuh dan gamblang bagaimana kondisi jenazah para Pahlawan Revolusi yang sudah tidak dikenali kecuali dari pakaian yang mereka kenakan terakhir kali. Dalam film juga ditampilkan suara asli Mayjen Soeharto saat jenazah diangkat dari sumur di lubang buaya 4 Oktober 1965.

Tepat Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang diperingati tanggal 5 Oktober 1965, ketujuh Pahlawan Revolusi dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan. Ribuan orang turut menyertai proses pemakaman dalam suasana penuh duka. Jenderal Abdul Haris Nasution mengiringi dengan pidato perpisahan dengan suara tersekat menahan haru. Beliau menyuarakan seruan untuk terus menegakkan kejujuran, keadilan dan kebenaran.

Pesan moral inilah yang hendak disampaikan pada generasi muda Indonesia selanjutnya. Agar terus MENEGAKKAN KEJUJURAN, KEADILAN DAN KEBENARAN. Terdapat hikmah dan pelajaran yang luar biasa dari peristiwa Penghiatan G 30 S PKI ini bagi kita yang berpikir.

Termasuk sejarah negeri ini terutama golongan Islam yang melakukan perlawanan habis-habisan melawan komunisme. Dalam Muktamar Ulama se-Indonesia tanggal 8-11 September 1957 di Palembang, para ulama memutuskan: (1) Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya; (2) Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran Komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, maka kafirlah dia dan tiada sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka-mempusakai dan haram hukumnya jenazahnya diselenggarakan secara Islam; (3) Bagi orang yang memasuki organisasi/Partai yang berideologi komunisme (PKI, Sobsi, Pemuda Rakyat dll; tidak dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut; (4) Walaupun Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/ memilih kepala negara yang berideologi Komunisme; (5) Memperingatkan kepada pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/Atheis Indonesia, (6) Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia. (Lihat buku Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957, yang disusun oleh H. Husin Abdul Mu’in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia, 1957)(suarabaru.id/Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung /UNISSULA, Semarang)