blank
Ilustrasi. Reka: wied

blank

SELAIN yang versi Jawa, Suto juga punya jenis pelet versi Arab (mahabbah). Efeknya tidak untuk urusan asmara, dan lebih ke arah menumbuhkan simpati pada seseorang yang menaruh rasa benci.

Menurutnya, pelet itu lebih cepat bereaksi, tetapi juga mudah luntur. Dan yang versi doa reaksinya perlu waktu lebih lama, namun  jika sudah “masuk” cenderung lebih awet. Sayangnya, Suto tipe orang yang tertutup.

Seperti halnya Asep, Ari, dan Suto, awalnya lebih mengoleksi ilmu yang terkait dengan pelet dari berbagai versi, ilmu hikmah, kejawen, dan buhun tanah pasundan. Yang namanya uji coba pelet itu bukan sekali dua kali dilakukan.

Pada 2002, dia mulai iseng dengan ilmunya ketika dia disumbari perempuan, “Lelaki model kamu banyak, Mas ….” Karena hatinya panas, dia  menggunakan ilmu pemberian Mbah Jami’in.

Ilmu yang didapatkannya melalui puasa seminggu tanpa buka dan sahur makanan atau minuman yang mengandung ruh, itu membuat perempuan yang menghinanya datang sambil menangis.

Baca juga Kalah Rupa, Menang Dupa – I

Berbeda dengan Semar Mesem versi Ari, yang dilakukan Manto baru bereaksi dua bulan kemudian. Belakangan, Manto mulai mengistirahatkan kegiatan peletnya pada usia menjelang 29 tahun.

Namun dia tidak melepas ilmunya. Ilmu itu dia simpan dan digunakan sewaktu-waktu jika ada yang perlu. Berbeda dengan kebanyakan orang yang menganggap pelet itu negatif, menurut saya tergantung apa tujuannya.

Ilmu yang sifatnya tradisional bisa digunakan berdampingan dengan yang versi doa. Namun, pelet yang digunakan secara berlebihan dapat menimbulkan mudarat. Karena itu, lebih baik dilarutkan dengan sejenis amalan hizb barqi, hizib bukhori, hizib Jaelani, dsb.

Kajian Pelet

Berbicara tentang pelet, bahasan dalam buku ini tentu tidak meninggalkan bahasan tentang perangkat pelengkapnya. Hingga kini, jimat, susuk, minyak wangi, mantra, dan perangkat lain-baik yang bersifat alami atau perangkat yang sudah ada unsur “rekayasa” manusia-semua itu masih dianggap bermasalah.

Dalam istilah agama Islam, disebut khilafiyah. Bahkan, ada sebagian yang berpendapat bahwa memanfaatkannya berarti menyekutukan Tuhan. Namun demikian, ada sebagian pihak tidak mempermasalahkan karena azimat (susuk, mantra, atau amalan tertentu) itu sebagai ikhtiar.

Karena itu, azimat diperkenankan dimanfaatkan sepanjang aturan mainnya tidak keluar dari garis agama yang diyakininya. Antara pendapat yang pro dan kontra, tentunya didukung argumentasi (dalil) yang diyakininya.

Sebagai contoh, orang-orang yang menolak azimat berdasarkan pada hadis Nabi Saw, yang mengisahkan ada seorang yang akan berbaiat (berjanji setia) kepada beliau, tetapi di lengannya masih tergantung gelang yang oleh bangsa Arab diyakini memiliki kekuatan magis.

Saat itu, Nabi  menolak baiat sebelum dia menanggalkan azimatnya. Sabda Nabi yang dijadikan pedoman mereka yang menjaga jarak dengan urusan per-azimatan, ….dan barangsiapa menggantungkan azimat, maka ia telah menyerahkan (keselamatannya) pada sesuatu itu. (H.R. An-Nasai dari Abu Hurairah RA).

Dalam hadis lain, disabdakan: “Dan seseorang yang menyerahkan keselamatan dirinya pada selain Tuhan, berarti dia sudah jatuh pada hukum menyekutukan Allah (syirik). Suatu dosa yang termasuk tujuh besar, sebagaimana disabdakan Nabi Saw.: Jauhi tujuh dosa yang menjatuhkan pelakunya ke neraka.

Para sahabat bertanya : Apa sajakah dosa itu? Nabi bersabda,  menyekutukan Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang hak, makan harta riba, harta anak yatim, melarikan diri dari barisan perang, dan menuduh wanita baik dan beriman yang memelihara kehormatannya dari berbuat zina. (H.R. Abu Hurairah RA)

Selain hadis yang dijadikan pedoman mereka yang menolak pemanfaatan azimat, tentu ada hadis yang tidak melarang penggunaan azimat. Dalam Kitab At-Thibbun Nabawi oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuthi, sahabat Ahmad meriwayatkan:

Rasulullah  pernah menderita demam, dan  seseorang menulis azimat sebagai pelindung melawan demam untukku. Dengan nama Allah, Hai api, menjadi dinginlah dan keselamatan Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang merugi (QS 21:)

Obatilah siapa pun yang mempunyai tulisan ini dengan kekuatan-Mu dan kekuasaan-Mu, dan dengan kekuatan- Mu, Ya Tuhan semesta alam.  Amin, Amin.

Para ahli hikmah menyikapi pertentangan pendapat itu lebih bersifat kondisional. Ketika Nabi berhadapan dengan kalangan awam, Nabi mengharamkan azimat karena khawatir keberadaan azimat itu dapat menggelincirkan iman bagi orang yang tauhidnya belum lurus.

Sebaliknya, terhadap orang yang tauhidnya sudah kokoh dan menempatkan azimat sebagai sarana ikhtiar (saja), azimat tidak lebih dari obat. Azimat tidak “memiliki” kekuatan, melainkan “diberi” kekuatan. Siapakah yang memberi? Tentu saja Allah yang Mahakuat dan  Mahamelindungi.