SUATU saat saya ke padepokan. Pimpinan padepokan itu mengatakan, dia tidak percaya tenaga dalam itu berfungsi untuk beladiri. Dia meyakini, hanya daya linuwih (metafisika) yang diolah dengan tirakat dengan lelaku batin yang terbukti jika ada bahaya.
Sedangkan tenaga dalam yang dilatih dengan pernapasan itu bohong-bohongan, tidak bisa diandalkan jika ada bahaya yang sesungguhnya. Dia hanya meyakini, pernapasan itu untuk kebugaran. Guru itu mengatakan, adalah bodoh mereka yang mengolah tenaga dalam untuk kepentingan beladiri. Bahkan dia tidak keberatan kalau saya ulis nama perguruannya.
Semestinya saya tersinggung dengan ucapannya. Apalagi saat itu saya aktif di perguruan tenaga dalam dan kolumnis di sebuah harian tentang tenaga dalam. Saya merenungi pendapat itu namun memilih diam. Itu karena saya juga aktif di perguruan tenaga dalam yang metode pelatihannya seimbang antara teknik pernapasan, jurus dan unsur metafisik.
Pemikiran saya tentu berbeda dengan mereka yang tidak menggeluti tenaga dalam. Saya meyakini tenaga dalam itu ada dan berfungsi, tentunya ini berdasarkan pengalaman dalam keseharian saya. Diantaranya, sesekali menghadapi masalah dijalanan juga memanfaatkan tenaga dalam untuk penyembuhan.
Yang mengesankan, ketika saya diminta warga satu desa yang perutnya bengkak dan sudah hampir satu tahun tiduran diranjang. Saya tidak tahu pasti, itu karena faktor alamiah yang semestinya ditangani secara medis, atau karena ada unsur lain.
Saat itu (Kelas II SLTA) saya belum memiliki banyak referensi, tentang apa dan bagaimana yang harus saya lakukan, apakah itu faktor fisik atau metafisik. Dalam kondisi terpaksa karena terus didesak keluarganya, saya bersedia. Saat itu saya menggunakan jurus tenaga dalam “tarik-buang.”
Proses itu dilihat keluarga yang sakit, tetangga dan beberapa teman seperguruan. Berbagai benda juga ada yang mengendap dalam perut karena tidak bisa keluar melalui proses “pintu belakang”. Kabar keluarnya benda dari “perut” itu sempat booming.
Ada juga yang dialami anggota perguruan yang berprofesi sebagai sopir. Saat menuggu penumpang didepan pasar, sopir itu dikejutkan beberapa penumpang yang semula sudah duduk di dalam mobil, tiba-tiba berhamburan turun. Itu karena ada orang sakit jiwa berbadan kumuh naik ke mobil, sehingga penumpang yang sudah duduk di mobil berhamburan turun.
Melalui bujuk rayu dari yang halus hingga yang agak kasar, tidak berhasil menurunkannya dari mobil. Upaya terakhir, oleh sopir lalu diseret paksa dengan cara yang agak kasar. Dan setelah berhasil diturunkan, orang sakit ingatan itu menyerang sopir.
Jika sebelumnya orang yang sakit ingatan itu yang diseret, setelah di luar mobil, giliran sopir yang ditarik-tarik. Kejadian itu mempengaruhi keyakinan sopir.
Dia berpikir, ketika di gelanggang latihan, penyerang tidak berhasil mendekat dan memegang tubuhnya, namun pada saat ada bahaya yang sesungguhnya, di luar gelanggang, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Tangannya bisa dicengkeram, lalu ditarik-tarik dan hampir terjatuh.
Saat itu, dalam keputusasaan dengan tenaga dalam, dia pasrah lalu bersandar pada bak mobil dengan tetap menjaga tubuhnya jika ada serangan susulan. Dan dugaan itu benar terjadi. Gelandangan itu menyerangnya namun pukulannya meleset dan mengenai bak mobil.