Oleh: Amir Machmud NS
// sampai kapan rasisme membayangi/ kita takkan pernah tahu/ : hingga seluruh penduduk bumi/ berpadu dalam kesetaraan/ tak terbedakan/ oleh sekat apa pun/ dan, sepak bola seharusnya memelopori//
(Sajak “Rasisme Sepak Bola”, 2025)
CATATLAH nama ini: Vinicius Jose Paixao de Oliveira Junior.
Baru saja dia dinobatkan sebagai Pemain Terbaik FIFA 2024, gelar prestisius yang setara dengan Ballon d’Or.
Penghargaan itu memupus kekecewaannya gagal meraih Ballon d’Or, yang Oktober lalu dimenangi Rodri, penggawa Manchester City.
Vini adalah simbol permainan agresif Real Madrid, dan dikenal gigih melawan rasisme. Selama bermain di La Liga, dia kenyang menghadapi olok-olok, hinaan, cercaan, dan perlakuan buruk di lapangan.
Dia melawan. Dengan sikap, opini, dan ekspresi bermain dalam kualitas yang memberi kekuatan “pembeda”.
Pemain asal Brasil itu menyuarakan perlawanan setiap kali ada yang mengalami diskriminasi, baik dari sesama pemain di lapangan, maupun dari tribune suporter. Sudah sekitar 20 kali dia bersinggungan dengan insiden rasisme, dalam bentuk olok-olok yang menginsinuasi secara verbal “gerakan monyet”, “koor suara monyet”, dan “lemparan pisang”.
Lalu bagaimana reaksi orang-orang rasis itu ketika Vini Junior meraih pengakuan dari FIFA?
Tidak Menyurut
Hinaan rasis sudah lama menjadi penyakit dalam kompetisi sepak bola. Di zaman kejayaannya, George Oppung Weah yang meraih Ballon d’Or 1995 juga kerap mengalami. Pemain asal Liberia itu pernah menjadi bintang utama di Paris St Germain, lalu AC Milan.
Pola hinaan yang dia terima mirip dengan yang sekarang dihadapi oleh Vinicius.
Banyak pemain yang merasakan. Liga-liga seperti Spanyol, Italia, Inggris, dan Jerman diwarnai “virus” serupa, yang mendorong FIFA mengetengahkan “ritual” menjelang pertandingan. Selembar kain dibentangkan di tengah lapangan, bertuliskan “No Racism”.
Kampanye antirasis FIFA bertemakan “Kick It Out”, faktanya belum melenyapkan perilaku diskriminatif. Sepak bola yang seharusnya menyemaikan kesetaraan dan menghapus sekat perbedaan bagi umat manusia, justru menjadi lahan subur bagi eksploitasi warna kulit.
Pada titik ini, apa makna keterpilihan Vinicius Junior sebagai Pemain Terbaik FIFA?
Banyak yang menganalisis, Vini gagal menjadi pemenang Ballon d’Or lantaran bersikap vokal terhadap realitas La Liga yang masih meruapkan rasisme.
Reuters yang dikutip cnnindonesia.com (29/10/2024), memaparkan pernyataan Vinicius di akun X-nya, “Saya akan melakukannya 10 kali jika memang harus. Mereka tidak benar-benar siap”.
Manajemennya mengatakan, unggahan itu bermakna perjuangan melawan rasisme. Faktor itulah yang diyakini menyebabkan Vini tidak memenangkan Ballon d’Or. Menurut Reuters, dunia sepak bola belum siap menerima pemain yang melawan sistem.
Keistimewaan
Dibandingkan dengan rata-rata maestro sepak bola Brasil, Vinicius menonjol bukan karena permainan sebagai “seniman Samba”.
Dia adalah tipe pekerja keras yang ngotot, dengan kekuatan fisik menonjol. Permainannya sebagai gelandang serang sayap efektif untuk bermanuver menuntaskan setiap peluang di depan gawang.
Narasi menarik dia sampaikan saat menerima trofi itu, “Saya bahkan tidak tahu harus mulai dari mana. Itu begitu jauh, sehingga tampaknya mustahil untuk sampai ke sini. Saya adalah seorang anak yang hanya bermain sepak bola tanpa alas kaki di jalan-jalan Sao Goncalo, dekat dengan kemiskinan dan kejahatan. Menuju ke sini adalah sesuatu yang sangat penting bagi saya”.
Pemain yang lahir di Sao Goncalo, 12 Juli 2000 itu mengawali karier di kampung-kampung. Pelatih masa kecilnya, Cacau, ingat betul talenta Vinicius di laga-laga usia dini.
“Ketika kami membawanya ke beberapa turnamen antara usia delapan dan sembilan, kami menyadari dia memiliki sesuatu yang istimewa,” kenangnya.
“Bahkan lawan-lawannya akan mengatakan, untuk menjaga Vini, Anda perlu sepeda motor!” candanya.
Bakat saja tak cukup. Vinicius Junior juga punya tekad untuk mewujudkan impian menjadi pesepak bola ternama. Pamannya, Ulysses ingat bagaimana Vini melakoni perjalanan jauh dan sulit untuk berlatih.
“Transportasi adalah masalah nyata baginya karena dari Sao Goncalo ke tempat latihan Ninho do Urubu yang jauh,” kata Ulysses.
“Selalu sulit untuk latihan, sekolah, dan kembali ke rumah. Setelah beberapa saat, dia mulai tinggal di rumah saya. Dia tidak bisa terus ketinggalan sekolah di Sao Goncalo karena latihan di Vargem Grande lagi,” katanya.
Flamengo kemudian mengajak bergabung pada 2007. Awalnya Vini bermain di tim futsal. Klub kemudian melihat bakatnya di sepak bola.
Ditempa di Flamengo, Vinicius memetik hasilnya pada 2017. Dia diminati Real Madrid, yang menebusnya 46 juta Euro. Saat itu dia menjadi pemain Brasil termahal kedua setelah Neymar.
Lantaran usianya masih 17 tahun, Vini Junior harus menunggu setahun untuk gabung ke Madrid. Dia kemudian benar-benar pindah pada 2018.
Pada awal kedatangannya ke Spanyol, Vinicius sempat memperkuat tim Castilla Madrid. Sesekali dia dimainkan di tim senior. Vini akhirnya permanen pindah ke tim utama sejak musim 2019/2020.
Bersama Madrid, dia memenangi 13 trofi, termasuk tiga gelar La Liga dan dua Liga Champions. Dalam empat musim terakhir, performanya meningkat pesat, membukukan 82 gol. Total, Vinicius mencetak 96 gol untuk Los Blancos. Pelatih Carlo Ancelotti banyak disebut punya pendekatan tepat untuk mengeluarkan seluruh potensi Vini Junior.
Selama tiga tahun bersama Madrid, pemain kelahiran 12 Juli 2000 itu kenyang dengan serangan rasisme, yang tentu menguatkan mentalnya. Vinicius melawan, dengan menunjukkan kualitas permainan level atas.
Pengakuan sebagai Pemain Terbaik FIFA 2024, apakah itu akan memperkuat perlawanan terhadap rasisme, hipokritas, dan diskriminasi dalam sepak bola?
Atau ini adalah ekspresi perjuangan kemanusiaan yang hakikatnya tak mengenal akhir?
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —