Ilustrasi. Reka: wied

MEMBAHAS masalah pelet tampaknya kurang lengkap jika tidak langsung bertemu dengan para pelakunya. Dari sekian orang yang saya kenai memiliki pelet, mereka mengakui pelet itu bukan sekadar disimpan, melainkan pernah dipraktikkan.

Keempat teman itu adalah SNI (29 tahun) asal Magelang, AH  (29 tahun) Ciamis, (Jawa Barat tahun), serta YHM (35 tahun) dan A Djati (40 tahun) asal Subang. Keempatnya memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda.

Ada yang sudah berguru 10 tahun dan menghabiskan waktunya untuk berguru di Jawa Barat, khususnya di Cirebon dan Banten.  Sementara AL Djati belajar pada banyak guru, salah satunya, H. Syar’i atau dikenal dengan sebutan si Bulu Waja di Ciomas, Banten.

Djati setelah membaca mantra, lalu tertidur. Dia baru bangun esok paginya, pukul 05.30, dan dia dibangunkan wanita yang dipeletnya. Berbeda dengan SNI, Asep, Ari dan YH, mendapatkan ilmu pelet bukan kesengajaan.

Ari mendapatkan ilmu ketika ziarah ke Gunung Srandil, Cilacap. Dia bertemu Pak Eeng, salah satu petugas jaga Gunung Srandil, yang memberi ilmu tanpa diminta oleh Ari. Sedangkan YH mendapatkan ilmu dari kerabat sendiri.

Walau memiliki sejarah panjang dalam percintaan (sudah menikah empat kali), Djati  termasuk yang perlu diragukan peletnya. Karena wajah dia terlalu tampan untuk seorang dukun. Logikanya, tanpa pelet pun, dia mudah menggaet wanita.

Sedangkan Ari yang mantan pemain debus keliling itu punya pengalaman unik terkait pelet saat dia menggoda wanita cantik. Namun, dia yang kembang desa itu menunjukkan sikap acuh tak acuh, bahkan meludah di depannya.

Pada saat dilecehkan itu, Ari langsung ingat, dia punya ilmu pelet Semar Mesem yang dipelajari dari Pak Eeng. Malam hari, ajian itu dibaca. Walau dari petunjuk guru cukup dibaca sekali, karena sakit hati, dia membaca mantranya berulang kali, dari pukul 22.00 hingga pukul 02.00.

Setelah membaca mantra, Ari tertidur. Dia baru bangun esok paginya, pukul 06.30, dan tenyata, dia dibangunkan perempuan yang dipeletnya.

Ketika kembang desa itu lengket dengan Ari, kegaduhan pun terjadi di lingkungan mereka yang semula sama-sama bersaing.

Orang pun bertanya-tanya bagaimana Ari bisa menaklukkan kembang desa itu, padahal pesaingnya adalah orang-orang  yang secara fisik dan atau materi jauh lebih unggul. Orang pun mulai mengaitkan apa yang terjadi pada Ari dan kembang desa itu karena faktor pelet.

Bahkan, dari kalangan pesaing asal luar desa, ada yang datang kepada Ari dengan membawa uang dalam jumlah besar dan meminta agar Ari mundur dan minta bantuan untuk memikatkan perempuan itu.

Terhadap banyak orang yang mempermasalahkan percintaannya dengan wanita itu, Ari merahasiakan, dia menggunakan pelet. Hanya kepada teman-teman dekatnya dia mengaku menggunakan Aji Semar Mesem.

Setelah dua bulan pacaran, Ari dan wanita itu pun menikah. Pada bulan-bulan awal, keduanya hidup rukun dan mesra. Pada bulan kedua masa pernikahan itu, tiba-tiba Ari berniat menghilangkan ilmu peletnya.

Hal itu dilakukan karena dia sudah bersyukur dapat istri yang cantik dan khawatir ilmu itu tak sengaja digunakan untuk menggaet orang lain. Malam hari ketika sang istri terlelap dalam tidur, Ari melakukan prosesi pembuangan pelet.

Sebagaimana yang diajarkan sang Guru, dia membacakan mantra Semar Mesem sambil meletakkan garam dengan jari kelingking di ujung lidahnya.

Pagi hari, terjadilah prahara. Ketika terbangun pada pagi hari, istri Ari tampak tak acuh terhadap suaminya. Siang harinya, terjadi pertengkaran. Hari kedua, istrinya pergi ke rumah orang tuanya.

Dan bulan kedua, istrinya mengajukan gugatan cerai. Ari tidak menyadari,  dengan membuang ilmu yang dimiliki itu menyebabkan pengaruh pelet terhadap istrinya itu menjadi hilang. Setelah positif cerai, mantan istri Ari menikah lagi dengan mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi di Indonesia.

Suaminya anak pejabat yang secara fisik dan materi lebih unggul dibandingkan  Ari. Ternyata, dulu anak pejabat yang kemudian menikahi kembang desa itu juga ikut bersaing  dengan Ari untuk memperebutkan kembang desa itu.

Profil ketiga biasa dipanggil Suto.  Pada zaman bujang dulu, soal menggaet wanita dia termasuk jagonya. Dia mengaku memiliki dua ilmu pelet versi Jawa dan ajian “Gulung Ukur” yang untuk menguasainya cukup puasa sehari semalam.

Cara menggunakan ajian ini unik, harus mengetahui tinggi badan yang akan dipelet. Untuk mengetahui, harus mendekati lalu mengukur secara tradisional dengan menggunakan ukuran anggota badan orang yang mengukur, apakah sama, lebih pendek sedikit seukuran telinga, atau lebih pendek lagi seukuran pundak.

Jika ukurannya sudah diketahui, baru dicarikan benang seukuran tinggi badan orang yang mau dipelet. Benang itu lalu digulung pada batang kayu seukuran jari kelingking sambil membaca mantranya : … nyawane padah karo nyawaku, karepe padha karo karepku, aku gulung ukur, sing tak gulung, dst.

Bersambung