blank
Ilustrasi. Foto: wied SB.ID

blankMEDIA sosial adalah dunia baru bagi manusia di abad-21. Sepanjang sejarah umat manusia, tak ada yang dapat melampaui keterbukaan informasi sedemikian brutal ketimbang abad ini. Ruang-ruang publik yang sebelumnya terbatas dan terasosiasi oleh kekuasaan, serta berjalan dalam lorong tradisi intelektual.

Kini batas-batas nilai dan moral dalam realitas dunia maya menjadi kabur. Orang tak lagi punya tradisi untuk mengedepankan literasi dalam bertindak menjentikan jari jemari. Akibatnya, ruang-ruang media sosial jadi makin sesak oleh ombak informasi yang rancu.

Beda hal dengan masa sebelumnya, ketika lingkar-lingkar publik menjadi ajang akrobat pengetahuan bagi para cendekia. Menampilkan perkumpulan intelektual yang menjadi garda terdepan penelitian dan eksperimen sosial. Tak perlu jauh-jauh, media massa koran saja dalam memuat suatu opini, perlu menilik kelayakan serta kapabilitas penulis secara ketat.

Berbanding terbalik dengan situasi hari ini, dimana setiap orang dapat leluasa mengemukakan segala hal di media sosial. Tentu benar demokrasi memungkinkan keadilan berpendapat sedemikian itu, namun apakah betul keterbukaan informasi ini membawa kemaslahatan?

Salah satu dampak media sosial yang ketara ialah maraknya penggunaan istilah baru, seperti Gen Z atau Milenial yang sedang hangat diperbincangkan. Gen Z atau generasi Z merupakan kelompok generasi yang lahir dalam rentang tahun 1997 – 2012.

Sementara Milenial adalah kelompok generasi tahun 1981 – 1996. Kedua kelompok ini kerap dikaitkan dengan berkembangnya teknologi digital sebab mereka lahir dan besar pada masa ketika dunia mengalami transformasi modern.

Menariknya, kedua generasi yang kerap dielu-elukan sebagai generasi indonesia emas ini, terpolarisasi dalam karakteristik tertentu. Gen Z diasosiasikan dengan karakteristik seperti manja, kreatif, idealis, individual dan bermental lembek, sedang Milenial identik dengan mandiri, realistis, keras kepala, dan konservatif.

Mengingat bahwa mayoritas pengguna aktif media sosial di Indonesia merupakan Gen Z dan Milenial, tentu persoalan publik yang menyeruak ke permukaan tak dapat lepas dari kedua generasi ini. Akibatnya isu-isu parsial semacam ini kerap menjadi isu nasional. Maka yang patut menjadi pertanyaan bersama adalah, apakah persoalan tersebut menyentuh aspek fundamental bangsa?

Barangkali tidak. Perdebatan perihal Gen Z dan Milenial adalah isu-isu dangkal yang tak berkaitan sama sekali dengan isu-isu krusial bangsa hari ini. Pertengkaran mereka di media sosial tak menunjukan apa pun kecuali perilaku reaktif dan sentimen sosial.

Mengarusnya perdebatan ini justru menunjukan polarisasi sosial yang tak perlu. Sementara perbedaan karakteristik yang mencolok antara Gen Z dan Milenial tak ayal hanyalah fase psikologis pada perkembangan usia, selebihnya adalah konsekuensi jaman.

Ya, konsekuensi zaman. Bahwa dunia telah tiba pada babak baru, sebuah masa dimana tradisi berabad-abad bergeser sedemikian lesat, karena penguasaan teknologi dan globalisasi yang praktis menyisir segala aspek kehidupan tanpa celah. Bukan tak mungkin perubahan itu membawa dampak yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Sebab masa depan bukan lagi lorong waktu yang dapat dituntun dengan narasi kearifan lokal. Masa depan adalah sesuatu yang lain. Dan anak zaman inilah yang harus menjawab tantangan itu.

Pada tahun 600 Masehi, jauh sebelum era kemajuan, Ali Bin Abi Thalib telah berpesan, “Didiklah anakmu sesuai zamanya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Dengan memahami bahwa setiap zaman mutlak memiliki konsekuensi nilai, maka sebetulnya perdebatan karakteristik antar generasi adalah isu yang konyol dan tak berujung.

Lantas mengapa isu parsial Gen Z dan Milenial selalu ramai di permukaan bahkan jadi perdebatan publik? Jawabanya ialah rendahnya literasi. UNESCO mencatat, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, artinya dari 1.000 orang, hanya 1 orang yang memiliki minat baca.

Rendahnya literasi bukan isu baru, Central Connecticut State University pada 2016 menyatakan Indonesia berada pada posisi ke-60 dari 61 Negara soal literasi. Apabila kemampuan kognitif mendasar belum lagi dimiliki, sedang keterbukaan informasi memungkinkan semua orang bersuara.

Sinyal yang teresonansi di langit-langit publik tak lain ialah gambaran masyarakat digital yang pincang, latah, serta berkubang dalam bias-bias kognitif.

Bahwa kemajuan teknologi digital tanpa bekal literasi yang cukup, tak cuma membuat kita berkutat pada isu-isu remeh, tapi juga riskan terombang-ambing dalam arus kepentingan. Dengan kata lain, bukanlah Gen Z dan Milenial yang menentukan arah perkembangan digitalisasi, namun merekalah sasaran objek eksploitasi industri digital.

Catur Pramudito D, mahasiswa UKSW yang saat ini praktik kerja di SuaraBaru.Id