PEREMPUAN ini berusia sekitar 75 tahun, tidak mengenal bangku sekolah, tidak bisa baca tulis, atau ruang pendidikan formal lainnya. Ia juga tidak punya televisi, cuma setiap seminggu sekali dirinya rutin mendengar ceramah lewat siaran radio, itu pun setelah ia tidak lagi berdagang.
Ubi rebus hasil tanam di lereng curam pegunungan Dukuh Mertelu, Kapanewon Gedangsari, Gunung Kidul, Daerah istimewa Yogyakarta, dibungkus pada helai-helai daun jati. saban hari meniti batuan setapak dari pedukuhan satu ke yang lainya. Berpuluh tahun lamanya ia hidup semacam itu, jalan batu yang disusun nenek moyang terdahulu selalu menjadi titian penghidupan buat menimba air di kaki bukit sekaligus satu-satunya jalan penghubung antardukuh.
Perempuan ini Bernama Painten Almanto Wiharjo, benar-benar berasal dari dunia yang sama sekali lain dengan zaman yang telah akrab dengan serba serbi kemajuan. Ia hidup dan besar di tepian tebing cadas, dan selama berpuluh tahun hidup bertaruh pada keberanian untuk bertahan di bawah ancaman longsor yang sewaktu-waktu terjadi.
Mbah Painten menuturkan, pertengahan 2014, bencana itu datang. Kemudian bantuan turun sesaat setelah media setempat meliput kejadian tersebut. Rumah, jalan serta akses antarpedukuhan dibangun secara besar-besaran oleh pemda setempat.
Painten Almanto Wiharjo, perempuan renta yang hidup menggantungkan diri pada batuan cadas tebing pegunungan Gunung Kidul. Dalam pertemuan yang hanya sebentar dengannya, mengantarkan pada sebuah kesadaran terhadap kilas balik peradaban jawa.
Bahwa ternyata orang-orang yang punya akses kuat terhadap masa lalu adalah mereka yang bertahan di pelosok daerah, di tebing curam pegunungan dimana serba-serbi kekotaan tak cukup mampu meraba mereka hingga ke akar.
Mbah Painten, menggaris takdir di atas terjal jurang-jurang. “Kula mboten saged maca-tulis. Kula naming ngertos napa sing diajarke kalih tiyang sepuh,” tuturnya.
Dia tidak kenal baca, apalagi soal pembangunan. Satu-satunya kamus yang ia serap tiap hari adalah tutur ajaran orang tua dan para sepuh yang ditularkan dari generasi ke generasi.
Tidak Asal Bicara
Dalam perbincangan dengan Mbah Painten, tampak nyatabahwa dia bukan orang yang asal bicara. Saat saat tertentu ia diam dan memperhatikan. Lantas selesai sesi wawancara, ia lantas memegang lengan kiri dan meminta tidak terburu-buru. Dia tidak seperti kebanyakan orang tua yang banyak bicara ngalor ngidul agar didengarkan. Mbah Painten memang lain.