blank
Jalan dusun di Desa Mertelu sudah dicor, dan bukit cadas yang gersang. Foto: Catur Pramudito

Seperti ritus-ritus berbasis pada keyakinan metafisika. Namun mbah Painten lain. Ia perempuan renta yang hidup dari cabang-cabang pohon jati, mengukus beberapa ubi rambat yang saban hari meniti lereng-lereng untuk berjualan dari dukuh ke dukuh.

Baginya hidup adalah menghadapi kenyataan sebenar-benarnya. Bukan berjuang demi impian. Bukan bocah-bocah sekolah yang menjawab dokter atau polisi ketika ditanyai apa cita-citamu. Mbah Painten tidak berangkat dari paradigma semacam itu. Ia sejati dikandung oleh ritme alam. Ia senyata-nyatanya menatap kenyataan.

Pada akhirnya, mbah Painten bukan siapa-siapa, ia adalah konstruksi masa lalu yang menyeberang batas-batas zaman. Meresonansikan jiwa masa silam yang masih sejati. Segala pengetahuan, ajaran dan idiom-idiom jawa itu terhubung melintas antargenerasi. Sekilas terasa ada dinding kebudayaan yang ketara memisah dunia mbah Painten dengan dunia luar.

Sehingga pertemuan dengan Mbah Painten jadi momen langka yang jarang dijumpai. Dan dari pertemuan yang sebentar ini, diinsafi bahwa peradaban Jawa sejati dalam diri mbah Painten. Setidaknya nilai-nilai itu tetap lestari sejak dahulu kala sampai ke seorang perempuan renta yang tak pernah menengok dunia selain batuan cadas Dukuh Mertelu.

Catur Pramudito Damarjati