Usai menyeduh teh panas, ia bercerita soal bantuan, bencana dan masa lalu Mertelu sebagai sebuah desa yang tertinggal. “Kula nggih ngopeni musola ten ngrika (Saya juga merawat musala di sana),” ujarnya sambil menunjuk arah, yang jaraknya sekitar 500 meter dari rumahnya.
Dia telah merasa semuanya cukup. “Kula empun sepuh, mboten gadhah angen-angen liya kejawi golek dalan padhang (Saya sudah tidak tidak punya cita-cita apa-apa lagi, kini yang saya lakukan mencari jalan terang),” ujar dia.
Sekali lagi, Mbah Painten memang lain, perempuan itu dapat sebegitu jelas dan detail bagaimana menjelaskan realitas. Ia paham bagaimana mengambil sudut pandang terhadap kenyataan, barangkali sebagian besar orang desa setidaknya menganut dua sikap, yakni rendah diri dan merasa remeh di hadapan orang kota.
Atau sebaliknya, merasa besar sebagai orang desa yang masih memegang erat nilai-nilai. Tapi mbah Painten lain, dengan tenang ia bercerita soal-soal kesulitan masyarakat dukuh, namun baik gestur atau mimik muka tidak menyiratkan apa pun selain ketenangan. Ia seperti berjarak terhadap realitas, dengan kata lain ia bisa berupaya objektif terhadap realitas.
Kemudian sebentar-sebentar ia mengungkapkan peribahasa-peribahasa Jawa setempat yang terdengar asing, namun mudah dipahami. Perihal nilai-nilai hidup, watak manusia dan siklus psikologis seiring fase perkembangan usia.
Tidak Muluk-Muluk
Tentunya mbah Painten tidak menjelaskan dengan bahasa muluk-muluk dan runyam. Tidak! Ia bertutur dengan idiom-idiom atau falsafah Jawa yang gampang sekali dimengerti. Dia yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, bertahun-tahun terputus dengan dunia luar, tapi dapat begitu luas dan tangkap terhadap berbagai gejala alam dan sosial.
Ia dapat meringkas kompleksitas diri manusia dalam idiom-idiom sederhana dan menunjukan bahwa jiwa manusia senantiasa menempuh perjalanan, melewati pos demi pos pemberhentian.
Tapi sayangnya orang-orang seperti mbah Painten tidak punya arti lebih bagi pembangunan bangsa, kecuali produk sejarah yang tersisih dan memerlukan “Pendidikan”.
Padahal sesungguhnya Mbah Painten adalah aset penting sejarah tempat jati diri sebuah bangsa bersemayam. Tapi entah, mbah Painten dan yang lain selalu dekat dengan konotasi, “Polos, lugu dan tidak tahu”. Bukan dipandang sebagai akses bagi bangsa untuk terkoneksi dengan peradaban silam.
Ujungnya, manusia hari ini adalah kumpulan orang yang terputus dan gagap menentukan arah nasibnya sendiri. Maka tak berarti lain kecuali mengikut pada arus global yang tak tahu jua kemana segalanya bermuara.
Maka tidak bisa tidak, aku selalu merasa beruntung ketika dapat berjumpa dan mengakses segala hal tentang masa lalu. Bagiku mbah Painten lebih berharga dari segala kisah tentang pembangunan hari ini, sebab nyatanya kemajuan tidak pernah menghormati sejarah dan para penyintasnya yang masih tegak pada nilai dan harga diri sebuah bangsa berperadaban luhur.
Dari mbah Painten, kita bisa renungkan kembali bahwa sebagai orang kota, begitu banyak hal yang kini hilang atau setidaknya luput disadari. Makin hari, semakin sempit kita menatap kenyataan, semakin buta dan tidak mengerti bahwa wajah kekotaan menatap pada arah yang keliru.
Diilhami oleh hasrat naif akan kuasa manusia terhadap alam. Pada akhirnya, manusia berada pada sebuah persimpangan zaman, saat kita membangun peradaban baru dengan meruntuhkan nilai-nilai lama. Dengan congkak dan sembrono lihai menjejakan kaki di atas puing-puing kebudayaan. Menginjak-injak martabat dan identitas diri demi angan soal kemajuan ala mitos-mitos modern.
Sebelum pertemuan dengan mbah Painten, aku pikir peradaban jawa tak lebih reruntuhan candi atau transkrip kuno yang tinggal sebagian. Pengetahuan tentang jawa hanya puing-puing kecil yang disalahpahami oleh penganut aliran tradisional.