blank
Berfoto di depan pesawat Piper Navajo. Saya nebeng pesawat ini dari Bandara Tunggul Wulung Cilacap ke Bandara Ahmad Yani Semarang. Foto: Dok Pribadi

Oleh R. Widiyartonoblank

NEBENG, kata ini menjadi trending belakangan ini. Nebeng, menjadi trending karena ucapan Kaesang yang baru saja datang ke KPK.

Kaesang mencerikan, bahwa perjalanan naik jet pribadi atau private jet itu dia hanya nebeng, pesawat milik teman.

Maka kata nebeng pun makin banyak dibincangkan, dan menjadi polemik, sampai televisi pun menggelar talkshow atau dialog bertema turun kata “nebeng” tadi.

Kemudian saya teringat zaman sekolah dulu, tahun 70-an sampai 80-an awal. Saat itu, sarana transportasi belum sebaik sekarang. Soal nunut atau nebeng sudah pernah saya jalani.

Dari nebeng bonceng sepeda, nebeng mobil dinas camat, nebeng truk tangki, sampai nebeng heli, dan nebeng pesawat pernah saya jalani. Hanya saja, saya nebeng karena terpaksa. Tak ada kaitan dengan gratifikasi, sogokan, suap, atau apa pun.

Bonceng Sepeda

Inilah rentetan cerita nebeng saya. Semasa SMP saya nglaju dari Soropadan ke Magelang yang berjarak sekitar 13 kilometer. Setiap pagi naik bus, dan kadang bus tak mau berhenti karena penumpang penuh. Akhirnya saya harus bolos sekolah karena tidak dapat bus.

Kemudian semasa SMA di Wonosobo, saya juga sempat nglaju, ketika duduk di kelas 2. Sekolah saya memang di kota, tetapi sekolah kami punya kelas jauh di Klerang (Kalierang), yang mengharuskan naik angkutan umum untuk pulang-pergi.

Banyak pengalaman menyenangkan kala itu, karena ternyata tidak setiap hari naik kendaraan harus bayar. Semasa SMP, misalnya, saya sering dapat tumpangan membonceng sepeda. Memang tidak sampai ke tujuan, hanya sampai Secang sekitar 3 km dari tempat saya biasa menunggu bus.

Tetapi ini sangat bermanfaat, karena di Secang angkutan umum lebih banyak, sehingga kemungkinan saya terlambat masuk sekolah menjadi lebih kecil. Masih saya ingat, Mas Mad suami sepupuku yang kerja di Patal Secang, setiap hari naik sepeda untuk bekerja. Dia sering menawariku membonceng, dan saya terima dengan bahagia.

Juga Mas Totong, putra pakdhe yang sekolah di STN Magelang, dia biasa naik sepeda dari rumahnya ke sekolah yang jaraknya hampir 15 km. Dia sering memberikan tumpangan dengan membonceng di planthangan atau pipa yang ada di bawak sadel sampai stang sampai Secang.

Mas Totong memang naik pit lanang yang ada planthangan-nya itu. Saya tidak ikut numpang sampai Magelang, karena sekolah Mas Totong di Tuguran dan saya di Jalan Veteran. Jaraknya cukup jauh, sehingga saya nunut sampai Secang saja.

Oh ya, naik sepeda kala itu merupakan hal yang biasa. Bahkan sebuah kemewahan bisa naik sepeda yang ada “persnelingnya” yang bunyi cik.. cik… cik…. saat berjalan.

Nebeng VW Safari

Pengalaman lain semasa SMA. Saya dan teman-teman biasa naik Colt pikap bak tertutup yang memang saat itu masih boleh untuk mengangkut penumpang. Tetapi, beberapa kali menikmati naik mobil VW Safari, mobil dinas seorang camat. Pengemudi VW Safari itu tiap pagi mengantarkan anak Pak Camat sekolah di Wonosobo. Setelah mengantar anak bosnya sekolah, mobil itu balik lagi ke rumah dinas Pak Camat di desa.

Nah, rupanya si sopir orang baik. Tahu kami sedang menunggu angkutan umum, dia menawari untuk bareng, karena untuk Kembali menuju rumah dinas Pak Camat melewati sekolah kami. Jadilah kami nebeng. Tentu ini kebahagiaan, karena mengurangi ongkos, yang bagi kami waktu itu sangat berharga. Ternyata kejadian serupa tak hanya sekali, Pak Sopir ini bisa sampai seminggu tiga kali memberikan kami nunutan.

Ketika berangkat dapat nunutan mobil keren VW Safari. Bagaimana Ketika pulang? Sama saja, namanya anak sekolah, kalau ada nunutan yang diiyakan saja. Dan, kami sering iseng, ada truk lewat disetop. Ada yang berhenti tetapi banyak yang tetap jalan.