Sayap pesawat jet bukan pribadi. Foto: Dok. R. Widiyartono

Tetapi, saya benar-benar pernah nebeng naik pesawat helikopter milik Penerbad, saat meliput bencana tsunami di Flores tahun 1992. Pangdam Udayana Mayjen TNI Suwardi (yang kemudian menjadi Gubernur Jateng) meminta wartawan untuk meliput di Pulau Pemana yang porak-poranda diterjang gempa dan tsunami.

Kami, para wartawan pun, nebeng pesawat heli itu dari Bandara Wai Oti (sekarang Frans Seda) ke Pulau Pemana. Karena diberi tebengan, ya kami tidak bayar, tetapi mendapat kesempatan meliput di pulau tersebut.

Saya juga pernah nebeng naik pesawat, tetapi bukan pesawat jet apalagi private jet. Pesawat yang saya tebengi itu dimiliki oleh sebuah perusahaan besar di Jateng. Ceritanya, waktu itu saya diajak melakukan liputan oleh Humas Pemprov Jateng dari Semarang ke Cilacap. Kami dan beberapa wartawan naik mobil ke Cilacap, yang waktu itu membutuhkan waktu perjalanan sampai tujuh jam.

Setelah menginap semalam, paginya diajak memantau kawasan Kampung Laut yang dikenal sebagai “permukiman terapung” di hilir Sungai Cintandui bersama Gubernur Jateng Mardianto. Saya waktu itu bersama teman, Teguh Hadi Prayitno, seorang wartawan televisi.

Kami diajak naik sebuah pesawat Piper Navayo bermesin dua propeller. Bukan pesawat besar, tentunya. Hanya bisa muat sekitar enam penumpang. Beruntung, pilot menawari duduk di sampingnya. “Biar bisa motret lebih leluasa,” ujar sang pilot.

Pilotnya asyik, bahkan menawari untuk mencoba “nyetir” juga, dengan memegang kemudi, sambil memberi arahan. Tetapi, saat menggoyangkan kemudi sedikit, lalu pesawat agak bergoyang saya takut, lalu saya bilang, “Nggak usah daripada bahaya.”

Setelah memantau Kampung Laut dari udara, lalu mengitari Pulau Nusakambangan, kami pun kembali mendarat di Bandara Tunggul Wulung. Setelah turun, kami pun kembali bersama rombongan lain dan mempersiapkan diri untuk pulang ke Semarang.

Nah, saat inilah, teman saya Teguh Hadi Prayitno bertanya kepada pilot, pesawat akan ke mana setelah ini. “Balik ke Semarang, Mas,” jawab pilot.

Teguh pun bertanya lagi, “Kami bisa nunut Mas?”. Dijawab, “Boleh.”

Maka kami pun pamitan pada pemimpin rombongan dan Pemprov Jateng untuk pulang ke Semarang naik pesawat. Jadilah, Piper Navajo buatan pabrik di Amerika Serikat ini membawa kami pulang ke Semarang. Penerbangan mulus nyaris tanpa guncangan, kami bisa memandang Gunung Sindoro-Sumbing dari udara, lalu melintasi Dieng, tiba-tiba saja sudah sampai Bandara Ahmad Yani, dan hanya butuh waktu sekitar 45 menit.

Sangat jauh waktunya bila dibandingkan dengan jalan darat. Mungkin rombongan yang naik mobil pun baru sampai Kroya atau Buntu, Ketika kami sudah mendarat di Ahmad Yani.

Makna Nunut-Nebeng

Itu cerita saya tentang nunut, atau nebeng. Nunut, atau nebeng itu maknanya menumpang tanpa bayar, karena diberi kesempatan atau diizinkan oleh yang ditumpangi, dinunuti, atau ditebengi.