JC Tukiman Tarunasayoga
UCAPKAN jinja ini seperti Anda sedang belajar berhitung dalam Bahasa Jawa krama bersama anak atau cucu: “satunggal, kalih, tiga.” Boleh juga pas Anda sedang agak kecewa, lalu mengatakan kepada teman: “Wis, ora sida; aku ora trima.” Begitulah mengucapkan jinja, seperti mengatakan tiga, sida, trima. Mengapa?
Banyak orang mengartikan jinja secara kurang pas, tidak tepat; karena jinja diartikan sama dengan takut. “Aku jinja yen karo ula,” saya takut berhadapan atau melihat ular. Pemakaian kata jinja di ungkapan rasa takut itu kurang tepat, dan yang tepat ya wedi atau gila, bukannya jinja.
Untuk lebih tepatnya, cerita berikut semoga menjelaskan makna jinja secara lebih pas. Ada seorang lurah, telah bertahun-tahun menjabat sebagai lurah. Di tahun-tahun awal beliau menjabat, masyarakat senang karena pak lurah ini bekerja keras membangun desa, banyak terobosan, dan sangat mengenal warganya berhubung pak lurah ini suka mendatangi tempat umum mana pun: ya ke pasar, ke puskesmas, kondangan, melayat, dan sebagainya. Wis ta, pokoke lurahe jozzzzz gandhos.
Sayang, akhir-akhir ini citra jozzz gandhos pak lurah merosot karena sejumlah pihak ada saja yang kecewa bahkan jinja terhadap beliau. Mengapa? Ternyata, banyak janji tinggallah janji tanpa terpenuhi.
Di sana-sini ada saja warga masyarakat yang mengadu dan mengaku kecewa: “Jebule, pak lurah mung api rowang, tampaknya suka menolong ternyata tidak; jebule mung api tambuh, tampaknya tahu ternyata tidak dan selalu mengatakan: ‘”Jangan tanya saya……..’
Baca juga ‘Dolanan’ Jabatan
Pertanyaannya, mengapa ada saja yang jinja? Jawaban yang terucap, antara lain, (1) pak lurah tuh suka makakake wong liya, menjadikan pihak lain sebagai bemper.
Pak Carik diminta membereskan semua urusan; kasi kesra disuruh tanggung jawab dan nomboki kalau ada yang tidak beres pada kegiatan pembagian beras untuk warga. Ada juga jawaban lain, (2) saya diminta jungkir-jempalik, pontang-panting berusaha agar kemenakannya lolos nyaleg. Dan setelah benar-benar lolos, “Saya diperintah mengorbitkan budhenya yang mau ikut pemilihan ratu kebaya se jagad. Wegah aku, kapok!!”
Jinja
Nah, ……………seperti itulah gambaran jinja. Ada dua makna jinja, yaitu pertama, kapok, emoh mara utawa ketemu maneh. Orang kapok itu adalah orang yang wis ora wani maneh, tidak berani untuk mengerjakan lagi. Orang kapok juga berarti sudah tidak mau menemui lagi, tidak mau berjumpa lagi.
Pertanyaannya, mengapa kapok? Sangat boleh jadi karena kapusan, merasa hanya ditipu atau diperalat. Mungkin juga karena bosan.
Kedua, jinja itu berarti kanji, yaitu wis ora wani maneh. Kanji ini, wis ora wani maneh ini, kadarnya lebih tinggi dibanding dengan kapok, Kanji mengandung nuansa fobi, trauma.
Baca juga Koja, Pinter Kojah
Pertanyaannya, mana mungkin kanji terhadap pak lurah yang dulunya begitu jozzz gandhos? Sangat mungkin orang itu berubah 180 derajat: dulunya senang, mengagumi; namun sekarang prettttt. Bagaikan Romi dan Yuli yang dulunya saling memuja-memuji; ehhhh lha koq sekarang saling membenci. Mengapa? Ya, karena Romi dan Yuli tidak lagi seperti merpati karena sekarang banyak ingkar janji. Ingkar janji bikin jinja
Ending dari cerita pak lurah tadi demikian: Kaisar Iskandar Agung marah-marah karena setiap kali menyuruh pasukannya maju berperang, ada seorang prajurit yang menyelinap pergi dari medan perang. Prajurit itu bernama sama dengan kaisarnya, Iskandar; dan ia selalu menghilang dari medan perang karena tidak ingin ada berita besar: Iskandar Agung mati terbunuh.
Suatu hari sang kaisar memanggil prajurit Iskandar, dan memerintahkan: Sekarang kamu harus pilih salah satu: Hentikan tindakan pengecutmu dengan sering ingkar janji dalam berperang; atau ubah namamu sekarang juga.
Pesan moralnya jelas: siapa pun dan apa pun jabatanmu, janganlah mudah ingkar janji karena bikin jinja. Apalah artinya jabatan kalau banyak orang semakin jinja. Jabatan habis/hilang dalam hitungan jari, tetapi jinja dibawa seumur hidup.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University