Ilustrasi cawe-cawe dan becermin. Reka: wied SB.ID

JC Tukiman Tarunasayoga

BERKAITAN dengan kata cawe-cawe,  kiranya tidak perlu ada penjelasan panjang lebar baik terkait mengucapkannya maupun maknanya. Khalayak sudah sangat fasih dan tahu persis maknanya manakala kata ini terdengar, terbaca, atau pun tertulis. Dan mari kita bersiap-siap lagi  bergelut dengan cawe-cawe ini mengingat momentumnya telah tiba (lagi).

Bukankah cawe-cawe menjadi kata mutiara menjelang Pilpres lalu? Kini pilpres tinggal kenangan, segera datang Pilkada, nah ………….cawe-cawe akan ramai dibicarakan, dilakukan, dibuat skenario dan strateginya, dan seterusnya. Akahkah ada banyak protes juga jika pejabat Suta cawe-cawe terhadap usaha Naya agar menang dalam Pilkada?  Akankah Dhadhap kelak akan jadi pejabat  jika tidak ada cawe-cawe dari Waru? Seribu satu “analisis” akan muncul, dan pasti bakal ramai lagi nih.

Cawuh

Cawe-cawe intinya ialah melu ngrembug prekaraning liyan, yakni terlibat (secara aktif) ke dalam urusan orang lain. Keikutsertaan semacam itu terjadi karena (a) memang suatu keharusan agar pembahasannya semakin matang. Kalau Dhadhap mau nyalon bupati, ya Suta benar-benar melu ngrembug amrih dadine, Suta ikut terlibat langsung untuk “menjadikan” si dia bupati. Tegasnya, Suta bener-bener cawe-cawe secara moril maupun materiil. Ora dicawe-cawe, ya ora dadi tenan, mustahil jadi jika tidak ada cawe-cawe Suta.

Akan tetapi, (b) ada orang cawe-cawe karena nimbrung, melu rame-rame, yaitu ikut-ikutan saja dengan perhitungan nanti  jika si dia menang, nah ……….. akan memperoleh jipratan, akan ikut menikmati meski mungkin hanya remah-remahnya.

Baik atas alasan (a) maupun (b) kedua jenis cawe-cawe itu tetap dapat mendatangkan kondisi sarwa cawuh. Apa maksudnya? Ada dua makna cawuh penting kita ketahui bersama, yaitu (1) dhumpyuk, campuh, nganti angel dipilah-pilah maneh.

Baca juga Tanggung Jawab dan Nanggung Ngaras

Keterlibatannya dalam ikut cawe-cawe sedemikian aktif-menyatu, sehingga sulit dipisahkan atau dibedakan lagi: Bapak ini sekedar terlibat sebagai bentuk dukungan saja atau sebenarnya pemain utamanya?

Jika si Bapak ini seorang pejabat yang benar-benar sah menjabat, dan berlaku sebagai pemain utama, nah …. Di situlah kesulitan besarnya. Siapa yang sulit membedakan? Ya masyarakatlah.

Mengapa menyulitkan masyarakat? Karena dapat menimbulkan kebingungan, keragu-raguan, ketidakpastian: Bapak ini ngomong sebagai pejabat yang  harus melayani masyarakat, ataukah adol jamu?

Repotlah kalau pada kenyataannya dumpyuk, campuh karena sulit dipilah lagi meskipun mungkin si Bapak ini “hanya main” pada akhir pekan, misalnya.

Makna (2) cawuh ialah, awas hati-hati, karena berarti dibaleni maneh nganti gladrah agawe jeleh lan boseni. Makna kedua ini sangat berkaitan dengan makna pertama; yaitu karena seringnya cawe-cawe sampai-sampai tidak terasa sebagai  sutradara di balik layar; orang akan mencatat: “Lho…….begitu lagi…..begitu lagi, bosen ah!! Jeleh aku.”

Tegasnya, cawuh dapat membawa serta efek sampingan, yakni mendorong masyarakat bosan berhubung disuguhi yang begitu-begitu terus. Dalam omongan dan seloroh orang berkata G-4:  Gitu lagi….gitu lagi.

Becermin setiap saat

Seorang bernama Tonne berkisah: Di California, ada sebuah keluarga memiliki dua anak gadis, yang satu cantik, yang satu sangat biasa saja. Ayah kedua gadis itu selalu berpesan: Becerminlah setiap saat!”

Baca juga Ngegla, Banjur Egla-egle

Pada suatu hari,  gadis yang berwajah tidak cantik itu protes keras sambal teriak-teriak menangis, karena setiap kali ia berkaca, si gadis cantik  segera berdiri di sebelahnya. Gadis berwajah biasa-biasa itu merasa dihina setiap kali mengaca, padahal ayahnya selalu meminta agar mengaca setiap saat. Kedua gadis itu  hampir setiap saat bertengkar.

Si ayah tidak marah, bahkan tertawa menyaksikan ulah kedua gadisnya yang sering bertengar itu. Ia berkata: “Saya ingin kalian terus berkaca setiap saat. Bagi kamu Any, mengaca setiap saat untuk mengingatkan dirimu agar jangan pernah merusak kecantikanmu dengan kelakuanmu yang buruk.

Bagi kamu Anna, mengaca setiap saat agar kamu terus berusaha menutupi kekurangan daya tarik wajahmu dengan daya tarik kebajikan dan kelakuan baikmu.” Any dan Anna terdiam, dan sejak saat itu mereka hampir tidak pernah bertengkar lagi.

Wahai orang-orang yang sebentar lagi akan menempuh strategi cawe-cawe di Pilkada, ingatlah cawe-cawemu dapat menjadikan segalanya cawuh. Sayangilah masyarakat dan hendaklah jangan membuat masyarakat bingung, ragu-ragu.

Wahai, orang-orang yang menggantungkan diri agar ada pihak-pihak yang cawe-cawe;  bersama-sama dengan mereka yang mau cawe-cawe, mengacalah sesering mungkin sebagaimana dilakukan oleh Any dan Anna itu. Mengacalah, mengacalah, dan mengacalah.

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University