Ilustrasi. Reka: wied SB.ID

Oleh Marjono

KASUS program ferienjob di Jerman, dengan 1.047 mahasiswa Indonesia diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, kembali membuka kotak pandora kompleksitas permasalahan ketenagakerjaan migran (Kompas, 1/4/2024).

”Ferienjob” merupakan program kerja yang berfokus pada pekerjaan kasar yang mengandalkan tenaga fisik, bukan magang. Sayangnya, program ini masih kerap dilabel magang, belakangan sedang jadi perhatian banyak orang karena diduga menjadi ajang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO),

Bahasa riilnya, sepertinya kampus yang notabene dipenuhi orang-orang berintelektual sedang kena prank.

Menyoal prank, sekitar 1950-an Presiden Sokarno pernah mengalami prank atas tipu muslihat Raja Idrus dan Ratu Markonah dari Anak Dalam, Jambi. Keduanya dipercaya Presiden RI tersebut karena mengaku punya kekuatan besar yang bisa membantu pemerintah dalam pembebasan Irian Barat.

Raja dan Ratu akhirnya bisa masuk Istana, para pejabat antusias menyalami, publik pun ikut terkesima.

Keduanya diberi uang saku lumayan gede, menginap gratis di hotel mewah, hingga makan free di restoran elite. Bahkan, dikabarkan mereka dijamu bukan hanya sehari dua hari saja, tapi sampai berpekan-pekan lamanya.

Presiden Jokowi pun kena prank. Kala itu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan adanya aksi sosial keluarga pengusaha mendiang Akidi Tio asal Kabupaten Aceh Timur, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Bagaimana tidak, keluarga pengusaha mendiang Akidi Tio memberikan bantuan berupa dana segar sebesar Rp 2 triliun untuk penanganan covid-19. Tak terkecuali Presiden RI lainnya, Gus Dur, Pak SBY, Ibu Megawati pernah kena prank dengan modus beda.

Maka kemudian, bagaimana halnya kala prank itu berdesakan hingga ke desa-desa, misalnya iming-iming kerja di luar negeri dengan gaji tinggi, eh tahunya malah ke-prank hingga terjebak ke dalam kubanganm TPPO (juga). Ironis memang. Catatan dan kisah di atas bisa “menelikung kampus di urutan awal secara gradual” sesuai ke-up date-annya.

Narkoba

Menginjak telikung dua, yakni soalan narkoba. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Petrus Reinhard Golose menyebut terjadi penurunan angka penyalahgunaan narkoba selama 2 tahun terakhir. Petrus mengatakan angka pengguna narkoba turun  dari 1,95% ke 1,73% atau sebesar 0,22 persen (detiknews, 29/11/2023).

Namun, lagi-lagi kampus dengan berjubelnya orang pintar dan acap mengklaim cakap bermain logika maupun nalar, masih saja gampang diterobos atas praktik undergroud lain, sebut saja transaksi nakoba di kampus, bahkan di salah satu kampus di tanah air juga pernah menjadi base camp atau tempat berhepiria-nya para benalu masa depan.

Tahun lalu, polisi menemukan Bunker Narkoba di kampus  negeri di Makassar dan terhubung ke Lapas (suara.com, 11/6/2023), BNNP Sumut menggerebek FIB kampus plat merah di Medan (Kompas, 12/10/2021), Polres Jakarta Barat menangkap dua mahasiswa yang diduga menjadi bandar narkoba lintas kampus di salah satu universitas swasta (28/7/2019).

Kemudian Ditresnarkoba Polda Lampung pernah menangkap empat mahasiswa di Lampung yang kedapatan menyimpan narkotika jenis tembakau gorilla, Akhir tahun 2019, Kepala Biro Humas Universitas Pancasila (UP), Putri Langka, mengakui kampus kecolongan atas masuknya ganja dengan jumlah tak sedikit ke dalam lingkungan kampus (kumparan, 12/10/2021).

Selama ini kampus-kampus di Indonesia selalu berusaha menjaga lingkungannya dari paparan narkotika. Sebab, sudah seharusnya kampus aman dan nyaman untuk belajar dan pengembangan diri seluruh insan perguruan tinggi.

Pertanyannya, sejauh mana  efekifitas Artipena (Asosiasi Relawan Perguruan Tinggi Anti Penyalahgunaan Narkoba) maupun Duta Anti Narkoba yang berasal dari kampus-kampus. Barangkali secara incognito penting melakukan test  urine secara periodik  untuk mencegah intrusi narkoba di kalangan kampus.

Pinjaman Online

Pindar (pinjaman daring) atau pinjol (pinjaman online) di kampus, menjadi telikung ketiga dalam tulisan ini. Fenomena skema cicilan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) via pinjaman online (pinjol) mendapat kritik banyak pihak.  Dikutip dari laman resmi Danacita, Senin (29/1/2024) tercatat ada 85 kampus atau perguruan tinggi yang telah bekerja sama dengan fintech lending atau pinjaman online (pinjol) Danacita untuk pembayaran UKT.

Untuk mencegah praktik  masam tersebut, pengamat pendidikan Doni Koesoema, menyarankan penerapan model student loan yang dibiayai dengan dana-dana Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (Jawapos, 30/1/2024). Dulu ada namanya Student Loan KMI muncul pada 1982 untuk mendorong mahasiswa lebih cepat lulus dari perguruan tinggi, khususnya PTN yang notabene disubsidi pemerintah.

Kredit ini dibayar ketika mahasiswa sudah lulus dan bekerja, dalam kurun waktu maksimal 10 tahun. Namun, mahasiswa diharapkan sudah melunasi pinjaman dalam 5-7 tahun.

Cecep Darmawan dalam artikelnya, “Perguruan Tinggi Pindar,” (Kompas, 2/2/2024) menyatakan persoalan uang kuliah tunggal atau UKT serta hak pendidikan mahasiswa akan jadi isu yang terus berulang dan akan menjadi preseden buruk dalam penyelenggaraan perguruan tinggi. Kampus justru menawarkan skema pinjaman daring atau pindar—juga dikenal sebagai pinjaman online atau pinjol—dari pihak ketiga dengan bunga yang cukup tinggi guna menyelesaikan persoalan pembayaran UKT mahasiswa.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Bhimo Rizky Samudro, menyebut beberapa risiko yang perlu dipertimbangkan dalam skema pinjaman pendidikan. Jika pinjol ini kalau tidak ada garansinya, tidak dapat menjaminnya secara terstruktur, tidak resmi. Maka ada berisiko besar, misalnya terjerat pinjol. Menurut dia, perlu ada jaminan dari kampus untuk memperkecil risiko tersebut.

Problema UKT pun sampai sekarang menjadi isu viral, sampai mahasiswa turun ke kampus melawan tingginya UKT di kampus-kampus, seperti di UGM, UI, UNS, USU, UNSUD, dan masih banyak mahasiswa kampus lainnya. Jika tak mendapatkan perhatan pemerintah, soalan UKT ini akan memuarakan pertanyaan, dimanakah kampus kerakyatan itu?

Kekerasan seksual

Kekerasan seksual menempati telikung keempat. Praktik kusam ini dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, termasuk salah satunya di lingkungan kampus. Kampus yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu yang aman dan nyaman agar mahasiswa dapat belajar secara maksimal, justru menjadi salah satu tempat penyumbang terjadinya kekerasan seksual.

Pelecehan seksual dapat berupa pelecehan verbal maupun fisik. Pelaku pelecehan seksual sendiri tidak mengenal usia dan siapapun orangnya. Kebanyakan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus, yaitu perempuan.

Ketidakberdayaan dan kelemahan perempuan menjadi celah bagi para pelaku untuk membujuk korban agar menuruti hawa nafsunya. Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk dalam lingkup pendidikan. Di antara berbagai jenjang pendidikan, perguruan tinggi menempati urutan pertama dalam hal terjadinya kasus kekerasan seksual terbanyak antara tahun 2015-2021 (Komnas Perempuan, 2021).

Menurut pandangan Foucault (dalam Gordon, 2018), kekerasan seksual dapat terjadi karena adanya variabel penting, seperti kekuasaan, konstruksi sosial, dan target kekuasaan. Jika ketiga variabel tersebut disatukan, maka dapat menimbulkan suatu intensi terjadinya kasus kekerasan seksual. Apabila salah satu dari ketiganya ada yang tidak muncul, maka tindak kekerasan seksual tidak akan terjadi.

Peristiwa kekerasan seksual yang melibatkan pelaku dari kalangan mahasiswa, mahasiswi, dosen, tenaga kependidikan, pimpinan dosen, dan lainnya dapat terjadi dalam proses belajar-mengajar, pengabdian masyarakat, bimbingan, kuliah kerja nyata, dan magang. Kekerasan seksual di kampus seolah merajalela. Tidak bisa dimungkiri mahasiswa perempuan kampus, segalanya telah ia peroleh. Kecuali satu, speak up yang belum ia dapatkan, meskipun di kampus ada lembaga yang dapat membantu.

Plagiasi

Telikung lainnya yang menindih kampus, yaitu aras plagiasi. Dilansir Tekno.tempo (2/4/2024) FEB Unair memberikan pernyataan sikap atas viralnya kasus plagiarisme yang dilakukan oleh salah satu mahasiswanya, Safrina Putri dari Jurusan Manajemen 2023. Klarifikasi telah diperoleh, tuduhan tindakan plagiat terbukti, dan sanksi telah dilayangkan.

Dugaan plagiat skripsi menyeret pula, salah satu alumnus Universitas Negeri Jember, menyusul pula dugaan Rektor kampus keagamaan di Kota Semarang menjiplak tesis dosen lain. Tak luput juga, Profesor Antropologi Sastra Jawa pada kampus plat merah di Jogjakarta di medsos mengaku dirinya telah mengutip isi artikel karya orang lain tanpa mencantumkan sumber. Ia mengutip artikel di blog tertentu untuk terbitan bukunya tahun 2016.

Sebelumnya, dugaan plagiasi juga menimpa Dosen FEB UGM atas opini “Gagasan Asuransi Bencana” yang diduga jiplakan artikel yang berjudul “Menggagas Asuransi Bencana”, yang dipublikasi di Kompas pada 21 Juli 2006. Kasus dugaan plagiasi terdahulu, yakni tahun 1979 Dosen UI yang dituduh melakukan plagiat karya tulis ilmiah dari berbagai kalangan, bahkan dari mahasiswanya sendiri. Dia disinyalir mencaplok karya intelektual pakar lain. Apa yang dilakukannya itu dalam rangka meraih gelar profesor.

Plagiarisme mesti dicegah, karena praktik tersebut sebagai pengingkaran bahkan pengkhianatan diri sendiri dan yang pasti mereka ini tak mau berlelah-lelah, hanya ingin jalan pendek. Praktik ini bisa disebut pelacuran intelektual. Maka, kemampuan apalagi kinerjanya perlu dipertanyakan lanjut.

Soal plagiasi, membawa konsekuensi seorang ilmuwan maupun pejabat harus ksatria. Hal ini ditunjukkan oleh Mendiknas Jerman yang mundur karena skandal plagiat (unipasby.ac.id, 12/2/2013), Rektor Harvard University, Claudine Gay mengundurkan diri pasca menghadapi tuduhan atas plagiarism (detik.com, 3/1/2024), Presiden Hongaria Pal Schmitt meletakkan jabatan pada Senin (2/4/2012) setelah gelar doktornya pada 1992 dicabut sesudah adanya pernyataan ia menjiplak sebagian dari disertasi setebal 200 halaman (Kompas, 3/4/2012). Juga Menhan Jerman mundur karena plagiarism (bbc.com, 1/3/2011).

Ijazah Palsu

Telikung kesekian yang menjajah kampus adalah soal Ijazah palsu. Beras palsu, uang palsu, dan ijazah palsu. Ijazah palsu dan jual beli ijazah bukan hal baru dalam dunia pendidikan kita. Ia kejahatan luar biasa yang sulit dihilangkan seperti halnya korupsi dan narkoba.

Penjual ijazah tumbuh subur karena melihat peluang dan permintaan yang tinggi dari masyarakat. Dilansir uinjkt.ac.id, Jejen Musfah menjelaskan praktik transaksi ijazah palsu, lebih disokong keadaan, seperti masyarakat kita yang gila pekerjaaan (ASN).

Menyusul adanya gila jabatan, karena tanpa ijazah tinggi maka jabatannya pun hanya di level pelaksana/staff, gila gelar yang acap cuma sekadar biar kelihatan intelek atau terpelajar, dan kemudian ada juga karena gila uang, hal ini kerap menjadikan uang segala-galanya dengan perolehan secara pintas dan instan. Bahkan tak jarang produsen ijazah palsu ini dianggap sebagai dewa penolong, penyelamat atas nasib dan masa depan seseorang.

Fenomena semacam itu, menunjukkan betapa rapuhnya karakter dan moral akademik seseorang, integritas mereka berantakan. Maka kemudian arah pendidikan tinggi bukan semata soal angka, masalah pengetahuan maupun teknologi tapi lebih menekankan atas nilai-nilai sikap, karena  kehidupan itu bukan cuma bagaimana menemukan diri sendiri, tapi bagaimana kita mampu menciptakan diri secara personal. Dulu seperti apa, sekarang bisa apa dan bagaimana berani mengabil keputusan atas masa depannya.

Melihat dan membaca kampus kita hari ini, semoga kampus mampu menghalau dan tidak mempan “glembuk,” Raja Idrus dan Markonah zaman ini.

Marjono, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah