WONOSOBO dulu dikenal sebagai “kota dingin”. Ya, pada masa itu tahun 70-80-an, masih banyak ditemukan pohon damar atau orang Wonosobo menyebut pohon “sepatudia” di tepi jalan.
Sungai di dalam kota pun masih terbuka, seperti di dekat Taman Kartini ada “gerojogan” yang dikenal sebagai kamar bola untuk mandi dan bermain anak-anak. Kemudian sepanjang Jalan Bhayangkara, Sungai terbuka di sisi kiri dan kanan jalan.
Tetapi semuanya memang kini tertutup, dan pepohonan meski masih ada tidak serindang dan berukuran besar seperti dulu. Karena perubahan iklim, Wonosobo memang tidak sedingin dulu lagi.
Tetapi, pastilah hawa sejuk masih terasa di Wonosobo, apalagi di pedesaan, terlebih yang berlokasi di kaki-kaki gunung. Misalnya Garung, Kejajar, Kertek, Watumalang.
Di Garung ada Telaga Menjer yang kini di kawasan dilengkapi dengan fasilitas wisata yang makin menarik. Naik sedikit Kejajar, ada kebun the Tambi yang menawarkan kesejukan. Naik lagi ke Dieng, pastilah lebih dingin lagi, apalagi bulan tertentu seperti Juli-Agustus, bahkan embun pun membeku.
Tetapi mungkin nama Watumalang masih belum begitu populer. Apalagi di jagat pariwisata. Padahal, wilayah di kaki Gunung Bismo di Kawasan Dieng ini, pemandangannya indah, hawanya sejuk.
Baca juga Umbul Ponggok, Wisata Bawah Air yang Instagramable dan Eksotik
Apalagi untuk menuju ke sana, ada tantangan menarik jalur jalan yang berkelok tajam dan menanjak. Dan, yang menarik lagi, khususnya di Dusun Depok, Desa Krinjing. Dusun ini dikenal sebagai penghasil kopi dengan citarasa yang khas.
Pejuang Lingkungan
Tanaman kopi dengan cita rasa khas ini tak lepas dari sosok bernama Hartoyo, lelaki berusia 60 tahun, yang aktif sebagai perinting, penjaga, dan pejuang lingkungan.
Baca juga Wisata Alam dan Budaya di Dusun Krecek, Nyadran dan Menikmati Kesejukan Air Terjun
Lelaki lulusan SD ini sudah punya visi lingkungan sejak mudanya warga Dusun Krinjing terjadi penjarahan hutan di daerahnya. Dia bertutur, tahun 1981 ketika usianya masih 17 tahun terjadi penjarahan hutan.
Tembakau Garangan
“Di sini dulu banyak petani tembakau garangan. Tembakau yang dipetik tidak dirajang lalu dijemur, tetapi digarang atau dikeringan menggunakan api. Dan warga membabat hutan untuk nggarang tembakau,” tutur Hartoyo.