DUSUN Krecek Desa Getas di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung merupakan tempat yang menarik. Dusun ini memang cukup terpencil, berada di perbatasan Kabupaten Semarang yaitu wilayah Kecamatan Sumowono dengan Kabupaten Temanggung yaitu Kecamatan Kaloran dan Pringsurat.
Menuju ke sana bisa menyusuri jalur Bandungan-Temanggung. Sebelum samai Kaloran belok kiri, menyusuri pedusunan dan ladang yang sunyi tetapi menyejukkan. Jalannya sudah bagus, dengan cor semen. Tetapi, hati-hati ada tanjakan dan tikungan ekstremnya. Jadi kalau ke sana, setidaknya mobi atau motor harus prima.
Memasuki Kawasan Dusun Krecek, kita akan tertegun dengan keberadaan vihara, dan bangunan rumah di bagian depan berhiaskan stupa. Menurut Kepala Desa Getas, Dwiyanto, memang, warga Dusun Krecek lebih dari 95 persen beragama Buddha.
Warganya taat menjalankan ibadahnya, dan di sebuah lapangan tapak pemandangan patung Buddha tidur yang cukup besar. Dusun ini memang sudah cukup dikenal, karena tradisi budaya yang dijalankan. Misalnya, tradisi nyadran kali.
Nyadran kali, seperti dituturkan Masykur Hasan, aktivis Asian Moslem Action Networks, bukan sekadar euphoria atau kegiatan budaya biasa. “Dalam acara ini juga ada menanam pohon, kelas memahami alam dan budaya yang diikuti peserta dari luar daerah,” ujar Masykur.
Para peserta tak sekadar belajar tentang alam, tetapi juga memaknai peristiwa budaya ini lebih dalam. Misalnya tentang sesaji dan peranti lainnya yang ada dalam ritus nyadran ini.
Memelihara Mata Air
Adalah Sukoyo, seorang lelaki kelahiran 60 tahun lalu. Sejak muda, Sukoyo sudah berpikir bahwa air merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan. Maka sudah lebih dari 20 tahun lalu, dia merawat mata air yang ada di dusunnya.
“Mata air yang ada saya tanami pohon beringin, karena pohon beringin sangat bagus untuk menyimpan air. Dan setiap mata air ada patung Dewi Tara,” ujar Mbah Koyo.
Sekurangnya ada empat mata air utama yang dirawat oleh Mbak Koyo dengan penanaman beringin. Keberadaan mata air ini juga menjadi daya Tarik bagi pengunjung. Lokasinya tidak terlalu jauh dari dusun, kitab isa menuju ke sana melewati pematang. Pemandangan indah berupa tebing dan pepohonan hijau serta gemericik air menjadikan kesan tersendiri.
“Saya merawat mata air karena menyadari betapa pentingnya air bagi kehidupan. Dan, bersyukurnya warga juga mendukung,” kata Mbah Koyo.
Perjalanan melihat mata air atau sendang ini dilanjutkan ke sebuah bangunan besar yang juga sering digunakan untuk samadi umat Budha. Bangunan itu ada di Tengah kebun manggis juga kokosan tanaman yang berkerabat dengan duku tetapi rasa buahnya masam.
Beristirahat di bangunan berbentuk joglo terbuka itu, kami disuguhi manggis yang dipetik langsung. “Manggis ini bisa dipetik siapa saja. Lahan dan bangunan ini milik Yayasan, buahnya bisa dimanfaatkan warga,” ujar Mbah Koyo.
Air Terjun Krecek
Dusun yang kaya air ini juga memiliki curug atau air terjun yang bernama sama dengan dusunnya, yaitu Curug Krecek. Curug Krecek ini, konon dulu digunakan untuk pertapaan.
Menurut warga, sejak zaman dulu, curug yang digunakan untuk pertapaan ini sudah digunakan untuk laku spiritual bagi mereka yang mencari kedamaian.
Jaraknya sekitar 500 meter dari permukiman warga, dan jalurnya sangat bersahabat tidak ada yang ekstrem. Jadi pengunjung bisa datang ke sana dengan gampang.
Selain curug ada juga spot untuk meditasi seperti di bebatuan yang banyak terdapat di sana. Juga ada kayu growong atau pohon berlubang yang juga menjadi ikn Curug Pertapan.
“Kami juga menyertakan kelas meditasi untuk mereka yang hadir dalam acara nyadran kali. Meditasi biasa diikuti peserta live in yang datang dari berbagai daerah di Indonesia,” tutur Masykur.
Memang, Desa Getas, khususnya Dusun Krecek belum berstatus sebagai desa wisata. Tetapi potensi wisata dan budayanya memang sudah menarik pengunjung. Bahkan, kegiatan live in pada masa nyadran kali yang diikuti oleh peserta dari berbagai daerah menunjukkan daya tarik ini.
Dusun ini juga menghasilkan kopi, yang bisa menjadi teman berbincang Ketika berada di sana, dan juga bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
R. Widiyartono