Ilustrasi foto Sunan Kalijaga (Foto: (Ils: Soedonowonodjoio.family).

JEPARA (SUARABARU.ID)- Ratusan tahun yang lalu tembang ‘Lir ilir’ diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga sebagai media dakwah. Tembang yang dianggap sebagai tembang dolanan anak ini ternyata sarat makna, dan sangat populer di tengah masyarakat Jawa. Tembang Lir ilir pun seperti tidak lekang oleh zaman.

Ya, tembang Lir ilir merupakan salah satu tembang yang penuh dengan renungan agama Islam di saat agama Hindu Budha menjadi agama mayoritas. Agama Islam pada saat itu merupakan agama baru di Nusantara. Kanjeng Sunan Kalijaga sebagai anggota Walisongo terkenal menyebarkan Islam dengan jalan seni dan budaya. Salah satunya melalui tembang Lir ilir  yang bisa diterima oleh masyarakat Jawa pada waktu itu. Berikut makna di balik tembang Lir ilir.

Lir ilir, lir ilir / Tandure wis sumilir / Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar / Cah angon-cah angon / Penekno blimbing kuwi / Lunyu-lunyu penekno / Kanggo mbasuh dodotiro /Dodotiro-dodotiro / Kumitir bedhah ing pinggir / Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore / Mumpung padhang rembulane / Mumpung jembar kalangane / Yo surako, Surak iyo.

Dikutip dari chanel youtube keluargaarif.com Lir ilir artinya adalah berkipas-kipas atau mencari kesejukan dari kondisi panas. Ketika suasana sudah sejuk atau adem maka diri kita akan mudah untuk menyerap ilmu, bertaubat dan siap menjalankan perintah Nya dan menjauhi larangan Nya.

Tandure wis sumiler. Tanamannya sudah mulai bersemi, tunas-tunas baru mulai tumbuh. Atau generasi baru telah lahir. Dalam hal ini digambarkan sebagai tanaman padi yang lazim ditanam oleh masyarakat Jawa pada zaman dulu yang masih percaya dengan Dewi Sri atau Dewi kemakmuran.

Tak ijo royo-royo, hijau melambangkan kondisi masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, adil makmur dan sejahtera.

Tak senggoh Temanten anyar, yang artinya adalah “saya kira seperti pengantin baru”. Tumbuhnya tunas (generasi) baru, negara yang makmur, adil dan sejahtera diibaratkan seperti pengantin baru yang bahagia.

Cah angon-cah angon. Wahai seorang penggembala. Cah angon atau seorang penggembala adalah diri kita sendiri. Yang bisa mengangon/menggembala nafsu dalam diri kita. Jika ini bisa kita jalani maka kita akan menuju jalan keselamatan (Islam).

Penekno blimbing kui. Panjatkan blimbing itu. Sebuah isyarat yang menunjukan bahwa jika ingin mencapai sesuatu harus bersungguh-sungguh untuk memanjat dan mendapatkan. Mendapatan apa? Yaitu buah blimbing. Mengapa harus blimbing, karena buah blimbing mempunyai bentuk unik bersisi lima yang melambangkan rukun Islam. Syahadat, sholat, puasa, zakat, haji. Lima itu juga sholat lima waktu Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh.

Lunyu-lunyu penekno, walaupun licin tetap panjatlah. Sebuah ikhtiar atau usaha dalam hidup untuk mencapai hasil yang maksimal.

Kanggo basuh dhodotiro, artinya untuk mencuci pakaianmu. Jadi, dirimu diibaratkan pakaian yang harus dicuci dengan “buah blimbing” itu yang bersisi lima. Yaitu, rukun Islam, dan sholat lima waktu.

Dodotiro-dodotiro, artinya pakaianku dan pakaianmu (diriku dan dirimu).

Kumitir bedhah ing pinggir, pakaianku dan pakaianmu (diriku dan dirimu) yang sudah mulai sobek di bagian pinggir diibaratkan sebuah dosa kecil yang dianggap sepele dan dilakukan terus menerus.

Dondomono jlumatono. Artinya, Jika sobek dipinggir tersebut tidak segera didondomi (dijahit) lama kelamaan akan menjadi dosa bessar. Bagaimana cara menambal sobekan itu, yakni dengan cara taubatan nasuha. Bertobat dengan sungguh-sungguh.

Kanggo sebo mengko sore. Artinya untuk kita menghadap nanti sore. ‘Sebo’ adalah ‘menghadap’ kepada sang maha pencipta. Sore diibaratkan setelah kita tua nanti saat akan menghadap kepada sang pencipta.

Mumpung padhang rembulane / Mumpung jembar kalangane,Mumpung masih ada kesempatan, mumpung mash sehat, mumpung masih kaya masih mampu menjalankan ibadah kepada Allah Swt.

Yo surako, Surak iyo. Mari kita bergembira.

ua