blank
Ilustrasi. Tanam pohon dan ecobrick dalam program kampung iklim. Foto: wied

Oleh: Rubangi Al Hasan, MM Budi Utomo,
Levina Augusta Geraldine Pieter

PADA pertemuan COP 21 di Paris, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan hingga 41% dengan bantuan dan kerjasama internasional. Untuk mendukung upaya tersebut, pemerintah Indonesia menelurkan sejumlah langkah, khususnya dalam bentuk program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Dalam rangka mencapai target dengan kedua upaya tersebut, maka dibutuhkan peran tidak hanya pemerintah, namun juga sektor swasta, akademisi dan peneliti, NGO, serta komponen masyarakat di tingkat lokal. Untuk menggerakkan keterlibatan masyarakat dalam aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, maka pemerintah meluncurkan program kampung iklim.

Program kampung iklim (Proklim) diinisiasi pada tahun 2012, namun kemudian dicanangkan sebagai program nasional sejak tahun 2016. Proklim dilakukan oleh paling rendah komunitas masyarakat di tingkat Rukun Warga (RW) dan paling tinggi di tingkat desa.

Pada tahun 2016, komponen masyarakat yang terdaftar sebagai peserta Proklim tercatat sebanyak 292 lokasi, pada 45 kabupaten di 25 provinsi. Sampai dengan akhir tahun 2022, peserta Proklim telah melonjak sebanyak 4.715 lokasi di 34 provinsi. Dari data yang telah terverifikasi, Proklim telah berkontribusi dalam penurunan emisi GRK sebesar lebih dari 2 juta ton CO2e dari 1.595 lokasi di 32 provinsi (Arundhati, 2023).

Menggerakkan Partisipasi Masyarakat

Di sebuah desa di Jawa Barat yang mendapatkan penghargaan Proklim kategori utama, penulis melakukan observasi lapangan. Di sana penulis mendapatkan gambaran singkat bahwa masyarakat memang memiliki kesadaran lingkungan yang lebih baik dibandingkan dengan daerah lain.

Meskipun demikian, keberadaan Proklim semakin memberikan energi dalam menggerakkan partisipasi dan inovasi masyarakat sehingga lebih memiliki ketahanan terhadap terjadinya perubahan iklim. Setiap tahun kampung ini mengalami kekeringan sehingga mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih.

Ketika inisiatif Proklim hadir, masyarakat ditantang melakukan sesuatu yang dapat mengatasi kelangkaan air. Masyarakat dengan komponen penggeraknya kemudian membangun kesadaran bersama atas kondisi tutupan lahan yang semakin buruk akibat banyaknya aktifitas penebangan. Akhirnya dibentuklah gerakan bersama untuk melakukan penanaman di sekitar sumber air dan di sempadan sungai.

Pada bagian lain, masyarakat juga menyadari bahwa penanaman komoditas pertanian tertentu secara monokultur ternyata memberikan dampak buruk berupa ketahanan pangan dan lingkungan yang semakin menurun. Misalnya, banyak terjadi serangan hama yang dengan cepat menyebar sehingga menyebabkan gagal panen.

Sebagai bentuk langkah resiliensi, masyarakat kemudian melakukan penanaman di lahan mereka dengan jenis yang lebih beragam. Model penanaman kebun campuran (agroforestri) ini terbukti memberikan dampak berupa semakin resiliennya tanaman terhadap hama yang menyerang. Dampak ekonomi yang didapatkan pun nyata. Masyarakat memperoleh hasil panen yang lebih beragam dari lahan yang sama.

Secara kuantitas mungkin tidak terlalu banyak, namun memberikan tingkat pendapatan yang lebih stabil dan berkelanjutan. Ada semacam daur tanam dan panen yang terus-menerus sehingga dapat diharapkan petani pada setiap musim. Ini juga sekaligus menurunkan tingkat ketergantungan petani terhadap pasar.

Pemberdayaan Berbasis Gender

Dari hasil panen yang diperoleh, masyarakat kemudian melakukan inovasi dalam bentuk pengolahan menjadi penganan atau produk lain yang memiliki nilai tambah dan memberikan keuntungan bersama.

Pada beberapa komoditas, pengolahan dan pemasaran dilakukan secara kolektif sehingga meminimalkan biaya yang dikeluarkan dan memudahkan dalam distribusi, dan tentu saja memaksimalkan keuntungan yang didapatkan.

Menariknya, penggerak dalam upaya pemberdayaan ekonomi ini banyak dipegang oleh kelompok perempuan, yakni melalui kelompok wanita tani (KWT) dan koperasi. Melalui wadah KWT dan koperasi, masyarakat mendapatkan fakta bahwa bergerak bersama dalam wadah kelompok ternyata memberikan manfaat nyata secara ekonomi. Di samping itu, masyarakat, terkhusus kaum perempuan juga mengalami peningkatan dalam kapasitas manajemen dan skill teknis tertentu.

Dari sini terlihat bahwa peningkatan kapasitas berbasis jender tidak hanya memberikan dampak yang bersifat parsial. Peningkatan kapasitas perempuan memberikan dampak yang besar, tidak hanya bagi sektor domestik, namun juga pada sektor publik karena mereka terlibat dalam pemberdayaan ekonomi di tingkat komunal.