Oleh: Gatot Eko Yudhoyono
AKHIR Akhir tahun 2023 ditutup dengan gelombang kedatangan etnis Rohingya melalui perairan Indonesia menggunakan kapal kayu berukuran sedang yang baru saja mendarat membawa 174 orang sekitar pukul 23.00 WIB di pesisir Desa Kwala Besar, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Detik News, Senin 1 Januari 2024).
Konflik agama di Myanmar antara Islam dan Buddha, dikenal dengan konflik etnis Rohingya dan Rakhine. Dengan eskalasi konflik yang terus meningkat dari tahun ke tahun di negara Myanmar membuat etnis Rohingya sebagai minoritas harus terpinggirkan dan terpaksa berpindah tempat tinggal dari tempat asal mereka berada. Meskipun konflik terjadi di internal Myanmar, konflik ini membawa dampak bagi dunia internasional.
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) selaku otoritas resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menempatkan mayoritas etnis Rohingya tinggal di kamp pengungsi Kutupalong dan Nayapara di Cox’s Bazar, Bangladesh. Tak terkecuali negara tetangga seperti Malaysia yang juga turut menampung, disusul Thailand dan Indonesia.
Kedatangan etnis Rohingya di Indonesia awalnya mengalami sambutan hangat dari masyarakat Indonesia terkhusus Aceh, pada saat kapal yang mereka gunakan rusak lalu terdampar oleh pasang air laut.
Juga karena kesamaan kepercayaan agama dan ketidak beruntungan nasib yang sedang dialami. Penerimaan masyarakat Aceh lambat laun berubah menjadi penolakan dikarenakan terus berdatangannya etnis Rohingya ke Indonesia disertai perilaku yang tidak menghormati aturan-aturan daerah.
Total pendatang ilegal etnis Rohingya yang mendarat ke Aceh sejak pertengahan November 2023 lalu tercatat mencapai 1.649 orang. Data itu diperoleh per 30 Desember 2023. Selain pendatang ilegal yang datang ke Indonesia sejak bulan November, ternyata ada 140 orang etnis Rohingya lain yang sebelumnya sudah menempati kompleks Yayasan Mina Raya Kabupaten Pidie.
Sehingga total keseluruhan etnis Rohingya di Indonesia mencapai 1.789 orang. Dari jumlah tersebut rata-rata pendatang ilegal didominasi oleh Perempuan dan anak di bawah umur.
Pendatang Ilegal
Aspek hukum nasional, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian mengatur setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku. Serta wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat imigrasi setempat.
Hukum Internasional juga memberikan landasan melalui Konvensi Tahun 1951 tentang Pengungsi yang memberikan kriteria tertentu bagi pengungsi, yaitu orang yang berpindah disebabkan persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik.
Tiga alasan mengapa etnis Rohingya dikatakan pendatang ilegal dan bukan pengungsi. Pertama, etnis Rohingya yang sudah mendapatkan tempat penampungan (Bangladesh) sengaja keluar untuk mencari penghidupan yang lebih baik di negara-negara sekitar seperti Malaysia, Thailand dan Indonesia.
Sehingga kriteri pengungsi menurut Konvensi di atas tidak lagi terpenuhi untuk memberikan keistimewaan hak pengungsi. Kedua, belum adanya verifikasi yang dilakukan UNHCR kepada etnis Rohingya untuk mendapatkan status sebagai pengungsi. Ketiga, Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Tahun 1951 tentang Pengungsi, sehingga membuat Indonesia seharusnya tidak terikat pada perjanjian yang tertulis di dalamnya.
Sikap Asertif Negara
Pemerintah selaku pembuat dan pelaksana kebijakan tertinggi bagi berjalannya suatu negara musti mengambil langkah konkrit untuk menuntaskan masalah pendatang ilegal. Etnis Rohingya yang masuk secara ilegal atas dasar menyelematkan hidup tidak serta merta dapat diasosiasikan sebagai pengungsi.
Seakan menjadi penjajah kemanusiaan lambat laun dengan semakin bertambah banyaknya pendatang ilegal etnis Rohingya memasuki Indonesia, dikemudian hari akan menimbulkan gejolak nasional baru. Dalam jangka waktu dekat akan menimbulkan konflik horizontal yang tak terelakkan antara masyarakat dengan etnis Rohingya dimulai dari perbedaan ras, budaya dan bahasa. Dan apabila pembiaran ini berkepanjangan akan menggerus berbagai aspek penghidupan sosial masyarakat, seperti lapangan pekerjaan, sumber daya alam serta perekonomian daerah.
Penyikapan terhadap pendatang ilegal di Indonesia berperan penting dalam menjaga keutuhan suatu negara, termasuk meramukan bagaimana cara menyelesaikan permasalahan etnis Rohingya baik yang sudah ada maupun yang akan datang ke Indonesia. Indonesia sebagai negara berdaulat memiliki cara tersendiri yang harus dilakukan dengan mengupayakan sikap asertif:
Pertama, menempatkan instansi Angkatan Laut, Polair dan Bakamla di perbatasan laut Indonesia untuk memberikan keamanan sekaligus penegakan hukum sebagai upaya menekan bertambah masuknya kapal asing.
Kedua, melakukan diplomasi untuk mendorong negara-negara peratifikasi Konvensi Tahun 1951 tentang Pengungsi menaati aturan yang telah disepakati dan tidak melakukan turn back pada kapal-kapal etnis Rohingya.
Ketiga, menyediakan tempat penampungan yang terisolir dari masyarakat setempat, bagi etnis Rohingya yang sudah berada di Indonesia.
Diharapkan para pengambil kebijakan selaku nahkoda yang mengemudikan kapal besar bernama Indonesia mampu untuk menjunjung tinggi kedaulatan di darat, laut dan udara. Sehingga dapat membedakan antara national interest dan human interest demi terwujudnya ketahanan nasional sebuah negara berdaulat.
Gatot Eko Yudhoyono, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum UNDIP