blank
Ilustrasi. Reka: SB.ID

blank

ORANG yang zikir ada empat golongan. Pertama, waktunya hanya dikhususkan untuk mengingat Allah, ini disebut kalangan muqarrabin. Kedua, yang ingatnya lebih besar dibanding lupanya, dan ketiga, orang yang imbang antara lupa dengan ingatnya, dan yang keempat, orang yang hanya Allah yang diingat.

Saya pernah bertanya kepada sahabat tentang apa yang dirasakan pertama  kali masuk kelompok tarekat. Menurutnya, jika tarekat itu dijalani dengan penghayatan, insya Allah jiwanya lebih tenang, dan berkurang sifat yang kurang terpuji, terutama ghibah (Jawa : ngrasani).

Perubahan itu logis, karena mereka punya tugas rutin, yaitu zikir sirri (rahasia). Ketika dia sibuk mengingat Allah, maka perhatiannya kepada selain Allah semakin berkurang. Sesuai hadis “Siapa yang memandang Allah besar, maka dia memandang yang selain Allah itu kecil.

Baca juga Bertarekat Sambil Menanti Guru – I

Dengan berzikir, menyebabkan hati memiliki ketahanan menolak bisikan setan. Disebutkan, setan yang bertugas menggoda ahli zikir itu lambungnya kurus-kurus. Dan bagi mereka yang mengedepankan akalnya, zikir itu menyita waktu, sehingga urusan dunia pun kacau.

Padahal, tidak seperti itu yang terjadi. Misalnya, zikir setelah salat, tidak sampai tiga atau lima menit. Waktu tiga menit hanya sepersepuluh dari waktu nonton sepak bola di televisi. Selebihnya dapat dilakukan sambil bekerja.

Sebenarnya sebagian dari kita ini banyak membuang waktu untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Padahal, sesuai janji-Nya, orang yang menyediakan waktu untuk-Nya, maka Dia pun menyediakan waktu untuknya.

Buktinya? Ada guru yang mengamalkan lima aliran tarekat, namun aktivitas bisnisnya tetap berjalan dan rezekinya lebih berkah dibanding mereka yang bekerja siang malam yang sampai melupakah ibadahnya.

Lalu bagaimana cara Allah menyediakan waktu bagi yang menyempatkan waktu zikir kepada-Nya? Caranya, ajaib. Waktu yang singkat namun berkah, urusan yang sulit mudah diselesaikan. Dengan kesibukannya mengurus masalah spiritual, ternyata tidak menghambat urusan sosialnya.

Bagi yang beriman, tentu percaya  firman-Nya,  “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertakwa, diberi jalan keluar dari urusannya, dan dilimpahkan rezeki dari pintu yang tidak diduga-duga.” (At-Thalaq (65) : 2 – 3.

Belajar Tarekat

Orang yang mengikuti ajaran tarekat atau yang belajar tasawuf, tidak harus meninggalkan urusan duniawi. Sahabat Nabi, Abdurrahman bin Auf, adalah saudagar besar dan sekaligus Sufi. Begitu juga Abu Hasan Al-Syadzili.

Karena yang dimaksud menjaga dari dunia itu, menjaga jangan sampai hati melekat pada dunia sehingga melalaikan Allah. Dan bagi mereka yang bekerja dilakukan  bersamaan dengan zikir lisan atau zikirnya hati, dan itu lebih sempurna.

Oleh sebagian orang, ada yang menduga, tarekat itu berkaitan dikaitkan ajaran mistik. Tentu saja tidak! Melalui tarekat, terkadang ada bias atau “pantulan” yang hampir selalu ada, walau itu tidak dikehendaki. Dan mistik itu bukan tujuan bertarekat.

Orang yang bertarekat dengan tulus ikhlas, maka Allah membersihkan hatinya. Dengan bertarekat bisa menjadi sebab menipisnya hijab (dinding) dengan Allah.  Bahkan ada yang karena banyak zikir sehingga   jazab atau “mabuk spiritual”,  suatu kondisi yang menurut mata lahir, dianggap  “gila.” Misalnya, azan dan salat di jalan raya.

Orang jazab biasanya menjauhi urusan dunia. Karena itu, jika ada orang  nyleneh lalu meminta-minta uang, yang seperti itu itu tidak benar. Termasuk  tanda dari  jazab yang asli itu tenaganya luar biasa, terutama  jika dia melakukan sesuatu yang disenangi. Misalnya, saat asyik zikir, hujan panas tidak dihiraukan,  jika ingin zikir bisa dilakukan sambil berjalan sepanjang jalan raya.

Dalam dunia sufi, jazab bukan hal aneh. Sebagian dari para sufi besar mengalami proses itu, walau dalam bentuk “kegilaan” yang berbeda. Setelah proses jazab disebut salik atau sampai tujuan.

Karena itu, jika ada orang nyleneh, jangan langsung menganggap  gila.

Sedangkan orang  yang dianggap gila itu, bisa jadi sebentar lagi mencapai  kesempurnaan spiritual. Karena itu berbaik sangkalah.

Tentang yang nyleneh, secara batin tergantung dari nur atau hidayah dari Allah. Dan secara lahir, tergantung bagaimana menata hati. Jika hati bersih dan niatnya sungguh-sungguh, insya Allah tarekatnya berhasil. (Tamat).